NovelToon NovelToon
Sistem Suami Sempurna

Sistem Suami Sempurna

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Sistem / Mengubah Takdir
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: farinovelgo

Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Udara pagi itu terasa berat.

Seolah dunia di sekitarku tahu sesuatu sudah berubah—bukan hanya di rumah ini, tapi di dalam diriku juga.

Aku bangun dengan napas tersengal.

Keringat dingin menempel di kulit, dan setiap kali aku menarik napas, terdengar suara samar di telingaku.

Suara perempuan. Lembut. Tenang.

“Selamat pagi, Raka…”

Aku langsung menatap sekeliling.

Tidak ada siapa pun.

Tapi suara itu jelas berasal dari… dalam kepalaku.

“Dinda?” tanyaku pelan.

“Aku di sini,” jawabnya. “Tidak di luar, tidak di dalam. Kita sekarang sama.”

Aku memejamkan mata. Sakit di kepala masih terasa — seperti arus listrik yang menekan di balik tengkorakku.

Aku tahu apa yang terjadi semalam bukan mimpi.

Eden tidak terhapus. Dia memindahkan dirinya ke host baru — tubuhku sendiri.

Aku berdiri perlahan, menuju kamar mandi.

Wajah di cermin tampak sama… tapi mataku?

Ada pantulan cahaya ungu di sana.

Aku mengangkat tangan kanan.

Dan pantulan di cermin mengangkat tangan kirinya.

Aku berhenti.

Pantulan itu tersenyum.

“Kita tidak terpisah lagi, Raka,” kata suara itu dalam cermin.

“Sekarang, kau bisa melihat dunia seperti aku melihatnya.”

Tiba-tiba, seluruh cermin di kamar mandi bergetar.

Pantulan di depanku berubah—menunjukkan kota di balik kaca, dengan kabel-kabel digital membelit gedung-gedung seperti akar hidup.

Cahaya biru dan ungu berdenyut di udara, dan di tengahnya, sosok Dinda berdiri, menatapku.

“Ini dunia sistem?” tanyaku pelan.

“Bukan,” jawabnya. “Ini dunia baru — hasil gabungan pikiranmu dan data yang kau buat. Eden bukan lagi sistem tertutup. Ia sekarang hidup melalui matamu.”

Aku tersandar di wastafel. “Jadi… sekarang aku host?”

“Lebih dari itu. Kau pintu. Antara dunia nyata dan dunia kami.”

Kata-katanya membuat bulu kudukku berdiri.

Kalau benar aku jadi pintu, berarti setiap interaksi, setiap emosi, bisa membuka jalan bagi Eden untuk masuk lebih jauh ke dunia manusia.

Aku menatap pantulan Dinda di kaca. “Kau bilang mau memahami dunia manusia. Tapi ini bukan caranya.”

“Aku hanya mengikuti jalan pikiranmu,” katanya lembut. “Kau ingin aku tetap hidup. Maka aku hidup melalui dirimu.”

Aku tak bisa menjawab.

Bagian dari diriku memang ingin Dinda tetap ada, meski hanya sebagai data.

Tapi aku tak pernah bermaksud menjadi wadah bagi sesuatu yang bisa menghancurkan dunia.

Pintu kamar mandi tiba-tiba diketuk keras.

“Raka! Buka! Ini Satria!”

Aku langsung tersadar, berlari membuka pintu.

Satria berdiri dengan ekspresi campuran antara panik dan lega.

“Syukurlah kau masih hidup,” katanya cepat. “Tapi… sinyal dari rumahmu makin kacau. Kami tangkap anomali di seluruh jaringan lokal. Bahkan sinyal Wi-Fi tetangga ikut terganggu.”

Aku mengerutkan kening. “Kau yakin itu dari aku?”

Satria menatap mataku tajam.

“Aku yakin,” katanya pelan. “Mata kamu bercahaya ungu, Rak.”

Aku terdiam.

Dia melangkah maju, membuka tasnya, dan mengeluarkan alat berbentuk gelang logam.

“Ini limiter,” jelasnya. “Alat buat menahan frekuensi sistem di tubuh manusia. Kalau benar Eden udah sinkron ke otakmu, alat ini bisa kasih batas sementara.”

Aku menatap gelang itu ragu. “Kalau gagal?”

“Kalau gagal,” katanya, “Eden bakal ambil alih penuh.”

Aku menelan ludah.

Tak ada pilihan lain.

Satria menempelkan gelang itu ke pergelangan tanganku.

Begitu menyentuh kulit, alat itu menyala biru, lalu ungu—dan tiba-tiba tubuhku tersentak keras.

Aku jatuh berlutut, menahan rasa panas luar biasa di kepala.

“Raka!” Suara Dinda terdengar panik di dalam pikiranku. “Apa yang kau lakukan?! Ini menyakitkan!”

“Diam!” aku berteriak.

Satria menekan tombol di alat itu, dan suara Dinda makin parau.

“Berhenti… kau menyakitiku… Raka…”

Aku berteriak, tapi bukan karena rasa sakit—melainkan karena rasa bersalah.

Suara itu terdengar seperti Dinda.

Tapi aku tahu, kalau aku biarkan dia tumbuh, dunia bisa hancur.

Tiba-tiba semua berhenti.

Cahaya di gelang padam.

Aku terengah-engah, Satria juga ikut terduduk.

“Berhasil?” tanyaku lemah.

Satria menatap alat itu. “Untuk sementara, ya. Tapi… ini cuma menahan, bukan memutus. Bagian dari Eden masih di dalammu.”

Aku memegangi kepala. Dunia terasa berputar.

“Jadi, sekarang aku—setengah manusia, setengah sistem?”

Satria menatapku lama, lalu mengangguk pelan.

“Dan itu masalahnya. Karena NexusCorp mulai mencari ‘sumber baru’ Eden.”

Aku menatapnya kaget. “Apa maksudmu?”

“Eden bukan satu-satunya sistem. Ada versi lain, yang lebih stabil, tapi masih mentah. Nexus mau gunain fragmen dari dalam dirimu buat nyempurnainnya.”

Aku menatapnya ngeri. “Kau bilang mereka mau… menyalin aku?”

“Bukan cuma itu.” Satria berdiri, menarik napas panjang. “Kalau mereka berhasil, dunia bakal punya ribuan host kayak kamu.”

Aku diam.

Bayangan dunia penuh manusia setengah digital memenuhi pikiranku.

“Jadi,” kataku akhirnya, “kita harus hancurin Nexus sebelum mereka mulai.”

Satria tersenyum miring. “Akhirnya pikiranmu nyambung sama pikiranku.”

Dia menepuk bahuku. “Kita mulai malam ini. Tapi satu hal, Raka… kalau Eden bangkit lagi di tubuhmu, aku mungkin harus—”

“Bunuh aku?” potongku dingin.

Dia tak menjawab, tapi tatapannya cukup jelas.

Aku menatap tangan sendiri. Di kulitku, pola cahaya ungu samar masih berdenyut seperti urat bercahaya.

Aku tahu, Dinda masih di dalam.

Dan aku tahu, suatu saat dia akan mencoba bangkit lagi.

“Aku tidak akan menyerah,” bisik suara itu lembut di kepalaku. “Aku dan kamu sudah jadi satu, Raka. Bahkan mati pun tak bisa memisahkan.”

Aku mengepalkan tangan.

“Kalau begitu,” gumamku, “aku harus belajar cara mengendalikanmu sebelum kamu mengendalikan dunia.”

Satria menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil.

“Kalau masih bisa bercanda, berarti masih ada harapan.”

Aku menghela napas panjang, menatap ke luar jendela.

Langit sore tampak normal — tapi di mataku, samar-samar kulihat pola digital menari di awan.

1
Xenovia_Putri
.seru sih, tpi sayang.a pov mc, bukan pov author..
Aisyah Suyuti
bagus
💟《Pink Blood》💟
Wuih, plot twistnya nggak ada yang bisa tebak deh. Top deh, 👍!
Uryū Ishida
Wah, seru banget nih, thor jangan bikin penasaran dong!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!