Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Rasa yang Tak Disadari
"Ivy?" Gwen memindahkan tubuhnya agar Ivy bisa melewatinya. Kedatangannya yang tiba - tiba menimbulkan kecurigaan terhadap keluarganya, terutama Larissa yang langsung menghampirinya.
Aneh sekali jika wanita ini datang tanpa dipanggil lebih dulu. Padahal Ivy selalu membuat alasan untuk tidak pulang ke rumahnya sendiri.
"Ada apa?"
"Apa? Memangnya tidak boleh jika aku pulang?" Ivy menjawab ketus.
"Kau bertengkar dengan suamimu?" Carol di kursi tunggalnya angkat suara.
"Tidak," jawabnya berbohong.
"Jangan berbohong padaku! Suamimu sudah sebaik itu memanjakanmu. Jangan membuatnya kesulitan," hardik Carol.
Selalu saja. Selalu saja menyalahkannya! Keluarganya mana peduli padanya. Hanya takut membuat keluarga kaya suaminya mengabaikan mereka.
"Pulanglah. Minta maaf pada Calix," desak Larissa, mencengkeram lengan putrinya.
Ivy menyentak tangan ibunya. "Aku tidak bersalah, Mom! Kenapa kalian menyalahkanku padahal tidak tahu apa yang terjadi," cerca Ivy. Rasanya ingin sekali ia berteriak, membuktikan bahwa dirinya bukan boneka yang bisa ditarik - tarik sesuka hati.
"Ivy." Gwen menyentuh tangannya. "Kita ke kamarku saja," kata kakak iparnya tersebut.
Ivy menurut begitu saja saja Gwen menariknya. Ia juga lelah harus bertengkar dengan keluarganya setiap kali bertemu.
Ivy hanya mendudukkan dirinya dalam diam di tepi ranjang dan menatap kosong ke arah jendela yang tirainya terbuka sehingga cahaya menerobos masuk, menyinari debu - debu yang beterbangan di udara.
"Ceritalah padaku, apa yang terjadi?" Gwen bertanya tanpa menghakimi, bersikap layaknya kakak yang akan mendengarkan keluh kesah adiknya.
Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. "Kau tidak takut?" tanya Ivy, menatap wanita itu dalam.
"Takut dengan apa?" Gwen bertanya kembali seraya menghapus air mata yang tumpah di pipi Ivy.
"Jika suatu hari Alec mencampakkanmu dan memisahkanmu dari anakmu."
"Calix ingin mencampakkanmu?"
"Aku menanyakanmu!"
"Calix mencampakkanmu?" tanya Gwen sekali lagi.
Ivy terdiam sesaat. "Seharusnya begitu, kan?" Ivy menggerutu pelan.
"Kenapa? Apa karena anak?" Gwen bertanya lagi, meski ia tahu pasti bukan itu masalahnya. Mengingat temperamen Calix, Gwen tahu Calix bukan pria yang menuntut sesuatu.
Ivy mengatup mulutnya, tidak mau menjawab. Entah mengapa ia tidak ingin memberitahukan hal yang telah terjadi pada siapa pun.
Gwen menghela nafasnya pelan. Sejauh ia mengenal wanita ini, Ivy adalah wanita keras kepala, impulsif, dan terkadang kekanakan. Saat marah, Ivy akan mengatakan hal buruk apa pun yang terbesit di kepalanya tanpa ragu.
Hanya satu hal yang bisa menekannya, sebuah kelembutan, karena ia sebenarnya memiliki hati yang lemah.
Gwen berpindah duduk di sofa. Duduk hati-hati sambil menompang perutnya yang besar.
"Kau bertanya bagaimana jika Alec mencampakanku, kan? Jawabannya — aku sudah bersiap - siap untuk itu," ujarnya. Ivy hanya menatapnya tanpa bicara.
"Aku mencintai kakakmu, Ivy. Akulah yang menyuruh ayahku untuk bicara dengan keluargamu." Gwen terhenti sejenak. "Ku pikir cinta akan timbul karena terbiasa, tetapi jika aku salah ... aku hanya perlu mempersiapkan diriku, menjaga perasaanku agar tidak jatuh semakin dalam. Perlahan dan perasaan itu hilang."
"Lalu, bagaimana dengan sekarang?" Ivy bertanya.
"Entahlah. Aku tidak memikirkan tentang perasaanku lagi. Hidup dan menikmati momen yang ada sudah membuatku senang. Kita akan baik-baik saja tanpa laki-laki, Ivy, asal kita tidak mencintai orang yang salah. Coba pikirkan hal itu."
"Anggap saja kita sedang menunggu waktu untuk dibebaskan." Dibebaskan untuk mencintai dan dicintai kembali, kemudian mencoba berbahagia dalam kondisi apa pun.
...***...
Semua seperti biasa saja saat ia turun. Bahkan ia berniat pulang seolah tidak terjadi apa pun. Benar, bukankah sejak awal ia sudah tahu akhirnya? Lalu, mengapa ia menggila seolah takut kehilangan suaminya.
Lagipula benar yang dikatakan keluarganya. Calix sudah sangat baik pada dirinya yang merepotkan agar tetap bahagia. Seharusnya ia senang saat pria itu menemukan kebahagiaannya juga.
Calix pasti khawatir, kan? Dia mungkin merasa bersalah sekarang.
"Ivy." Gwen menunjuk dengan dagunya.
Baru saja dipikirkan, pria itu rupanya sudah menunggunya sejak tadi. Duduk bersama keluarganya, terasa seperti saat mereka pertama kali diperkenalkan sebelum menikah.
Tanpa memperdulikan yang lainnya, Ivy berjalan untuk masuk ke pelukan suaminya, menyembunyikan wajahnya di dada kokoh pria itu. Tangan Calix juga bergerak untuk memeluknya juga, membantu untuk menyembunyikan tubuh kecil tersebut.
"Maaf. Aku tidak akan seperti itu lagi," kata Ivy menyesal.
"Kita bicarakan di rumah," ujar Calix. Ivy hanya mengangguk patuh. Saat melepas pelukannya, Calix langsung memeluk pinggangnya, seolah ia akan lari lagi.
Aku tidak akan ke mana-mana!
Gwen hanya berdiri diam di ujung tangga. Ia memperhatikan interaksi antara Ivy dan suaminya. Cara pria itu menatapnya, menyentuhnya, tidak terlihat seperti pria yang akan menceraikan istrinya. Pria itu terlihat — tulus?
Mungkin kau sudah salah mengira, Ivy.
Pernikahan yang diatur itu mungkin saja telah mengikat perasaan keduanya tanpa mereka sendiri sadari. Ivy tanpa sadar pun telah hidup bergantung pada suaminya. Itu sebabnya wanita itu tampak begitu emosional mengenai pria itu.
Ivy — telah mencintai pria itu tanpa sadar. Gwen terpaku dengan pengamatannya sendiri. Sejak awal, nasib mereka sangat berbeda. Ivy salah mengira jika mereka memiliki nasib yang sama.
Tentu saja berbeda. Cintamu berbalas, Ivy. Pria itu akan melindungimu dan berusaha mempertahankanmu, sementara Alec ... mungkin tidak akan begitu.
"Calix ... maaf sudah merepotkanmu. Terima kasih juga sudah menjaga Ivy," ucap Larissa merasa bersalah.
"Ivy tidak merepotkanku. Dia bebas melakukan apa pun yang dia mau." Calix menjawab dengan nada tegas seperti biasa.
Iya, dia memang tidak pernah melarangku asal aku meminta izin!
"Jangan terlalu membebaskannya, Calix. Dia bisa saja berada di luar kendalimu." Carol angkat bicara.
Lagi-lagi begitu! Keluarga mana yang akan menyindir putrinya sendiri pada pihak suami! Itu sama saja seperti mempermalukannya, bukan?
Ivy mengerucutkan bibirnya kesal. Mulutnya bergumam pelan, mengejek.
Hening. Ivy mulai menyadari tidak ada suara lagi. Rupanya semua orang sudah menatapnya dengan pandangan yang berbeda-beda. Saat mendongak untuk melihat wajah Calix, pria itu pun rupanya sedang menatapnya tanpa ekspresi.
"Aku lebih suka melihatnya begitu." Calix berkata tanpa mengalihkan pandangannya.
Kenapa? Kenapa kau melihatku begitu?
Mungkin wajahnya sudah memerah sekarang. Rasanya sejak tadi pria ini terus berkata manis meski ekspresi wajahnya berkata lain.
"A — ayo pulang." Ivy memalingkan wajahnya.
Baru saja ia menyebut pria itu manis, Calix sudah menekannya di kursi penumpang. Menciumnya cukup liar seperti binatang buas yang baru saja mendapat mangsa untuk dimangsa. Seharusnya ia sudah menduga saat Trevor tidak masuk ke mobil dan menunggu di luar.
Ivy menahan dada pria itu setelah ciumannya terlepas. Nafasnya sedikit terengah-engah karena pria itu tidak memberinya ruang untuk bernafas, bahkan ia merasa bibirnya sedikit membengkak.
"Kita belum meninggalkan halaman mansion, Calix. Kita selesaikan di rumah." Pria ini, kenapa sangat tidak sabaran!
Mungkin memang terdengar tidak masuk akal, tapi melakukan kontak fisik tidak dapat keduanya abaikan. Pada dasarnya mereka berdua adalah wanita dan pria dewasa yang telah terikat status dan memiliki nafsu. Ivy sendiri tidak masalah dengan hubungan seperti ini selama pernikahan yang hanya akan dilakukannya sekali seumur hidupnya.
Ayah dan ibunya juga berhasil melahirkan dirinya dan Alec meski tidak ada perasaan cinta di antara mereka. Begitu pula dengan Gwen yang sedang mengandung anak Alec.
Realitanya seperti itulah pernikahan. Bukan bagaimana cinta hidup di dalamnya, tapi bagaimana kewajiban dan tanggung jawab berjalan. Sebagian besar orang telah mengabaikan perasaan tersebut demi pernikahan yang layak dan materi yang mumpuni.
...~o0o~...
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu
pliss thor jangan sampai hiatus lagi yaa and jaga kesehatan selalu
smangat 💪💪💪