NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32

Keesokan paginya, Satria tiba di kantor, tapi bukan di kantornya sendiri. Mobilnya berhenti di halaman gedung lain, jauh dari ruangan yang biasanya ia masuki setiap hari. Suasana pagi begitu berbeda—matahari baru saja menanjak di ufuk timur, menyebarkan cahaya hangat ke gedung-gedung tinggi di sekitarnya, namun bagi Satria, semuanya terasa hambar.

Ia keluar dari mobil dengan langkah cepat namun tertahan, wajahnya tetap dingin dan ekspresifnya nyaris tak berubah. Sesekali, matanya menatap jam tangan, memastikan waktu berjalan sesuai jadwal, tapi pikirannya jelas jauh dari urusan pekerjaan.

Langit biru pagi kontras dengan perasaan yang masih bersarang di dadanya. Rumah, Amira, dan malam kemarin yang masih terus menghantui.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Sapa resepsionis itu dengan senyum ramah, suaranya ringan dan penuh sopan santun.

“Saya ingin bertemu dengan Pak Surya Sasongko Atmadja. Saya Satria.” Jelas Satria dengan tegas, nadanya penuh wibawa.

"Sudah membuat janji sebelumnya?"

Satria mengangguk. "Kami bertemu di jam setengah sembilan pagi ini."

"Tunggu sebentar ya, Pak." Jawab wanita itu, sambil menekan beberapa tombol di komputer untuk memastikan jadwal dan menyiapkan informasi yang diperlukan.

Satria mengangguk lagi, tetap berdiri tegap di depan meja resepsionis yang menjadi sekat perbincangannya dengan wanita itu. Wanita itu menutup sambungan teleponnya dengan cepat, lalu melirik Satria sekali lagi, matanya menyiratkan ramah tapi tetap profesional.

“Silakan ke ruangan Pak Surya sekarang, Pak. Biar saya antar,” Ujar wanita itu.

“Terima kasih,” Jawab Satria singkat, suaranya datar, namun nada hormatnya tetap terasa.

Satria mulai mengikuti langkah resepsionis itu, berjalan di lorong yang cukup panjang, dikelilingi dinding kaca dan interior kantor yang modern. Setiap langkahnya mantap, tapi pikirannya jelas masih tersangkut pada urusan yang jauh lebih berat daripada urusan meetingnya hari ini. Amira.

“Ini, Pak, ruangannya,” Kata wanita itu, lalu membuka pintu setelah diketuknya, tepat saat terdengar suara respon dari dalam yang memanggil. “Silakan,” Ujarnya, menyingkir sedikit untuk memberi jalan.

“Pak Satria,” Sapa seorang pria paruh baya dengan suara hangat namun tegas. Wajahnya akrab, usianya tampak tak jauh berbeda dari Hendra, sang ayah, sorot matanya menunjukkan pengalaman dan kewibawaan yang telah terasah selama bertahun-tahun.

Satria membalas sapaan itu dengan anggukan singkat, tetap menjaga ketegasan tubuhnya meski ada sedikit rasa cemas yang samar di matanya. Sebab, ini juga adalah pengalaman pertamanya sebagai seorang direktur yang terjun langsung ke dunia bisnis dalam membangun kolega, menegosiasikan kesepakatan, dan menghadapi dinamika yang selama ini hanya ia pelajari dari balik meja kerja.

“Silakan duduk, Pak Satria,” Lanjut pria itu setelah ia sendiri mengambil tempat duduk di sofa yang menghadap Satria. Ia menyingkirkan sedikit, memberi ruang agar Satria bisa duduk dengan nyaman di depannya.

Satria mengangguk singkat, lalu melangkah ke sofa yang tersedia. Ia duduk dengan tegap, tangan diletakkan di atas lutut, matanya menatap lurus ke arah pria paruh baya itu. Suasana ruangan terasa hangat namun tetap profesional, cahaya pagi menembus jendela besar, menerangi interior yang rapi dan tertata, seakan menegaskan keseriusan pertemuan ini.

“Baik, Pak Satria,” kata pria itu, suaranya hangat namun tegas. “Sebelum kita membahas lebih jauh, izinkan saya memperkenalkan diri saya dan perusahaan kami. Mungkin Bapak sudah sedikit tahu tentang saya?”

“Se-sedikit, Pak,” Jawab Satria.

Pria itu, Surya, tertawa renyah, namun masih mempertahankan aura wibawa yang jelas terasa. “Sebenarnya, saya juga masih rekan kerja dengan Ayah Anda, Pak Hendra. Kami sudah bekerjasama selama bertahun-tahun, jadi Bapak bisa sedikit merasa familier dengan cara kerja saya dan nilai-nilai yang kami pegang di perusahaan ini.”

Satria mengangguk, menelan rasa gugupnya, lalu berkata pelan, “Senang bertemu dengan Anda, Pak. Saya berharap bisa belajar banyak dari pengalaman Bapak, sekaligus menyesuaikan diri dengan ritme kerja di sini.”

Surya tersenyum, menepuk pelan meja di depannya. “Itu sikap yang tepat, Pak Satria. Mari kita mulai dengan visi dan misi perusahaan, serta struktur tim kami, supaya Bapak bisa mendapatkan gambaran lengkap sebelum masuk ke proyek-proyek yang sedang berjalan.”

Satria mengangguk lagi, tubuhnya lebih tegap, siap menyerap setiap informasi yang disampaikan, sambil menyesuaikan diri dengan peran barunya sebagai direktur yang kini benar-benar terjun langsung ke dunia bisnis.

"Nama perusahaan ini adalah Surya Prima Group, bergerak di bidang distribusi komponen teknologi yang dibutuhkan dalam kebutuhan properti. Kami sudah berdiri selama lebih dari dua dekade, dan jaringan kami mencakup beberapa kota besar di Indonesia.” Jelas Surya. "Kami dengan perusahaan yang dulu di bina—"

“Ayaaah!” Seru seseorang tiba-tiba, suaranya memecah keheningan ruangan tanpa mengetuk terlebih dahulu.

Sontak, Satria dan Surya seketika menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita yang usianya tak begitu jauh dari Satria—cantik, anggun, cerdas, dan familiar. Tania. Begitu Satria menyebut namanya dalam hati.

Menyadari ada seseorang di ruang itu, Tania menoleh perlahan ke arah Satria. Matanya yang tajam seketika fokus, dan senyumnya yang awalnya manja mengendur sedikit, digantikan oleh ekspresi terkejut yang sulit disembunyikan. "Mas Satria?!" Sapanya mendekat.

Satria menahan napas sejenak, matanya menatapnya kembali dengan campuran keterkejutan dan pengenalan yang tak bisa dihindari. Ada jeda singkat di antara mereka—hening yang sarat dengan makna, di mana dunia seolah berhenti berputar hanya untuk menempatkan mereka berdua dalam momen itu.

“Ka-kalian saling kenal?” Ucap Surya, nada suaranya terkejut, matanya bergeser cepat antara Satria dan Tania.

Tania mengangguk cepat, wajahnya masih bercampur antara lega dan antusias. “Ayah, ini pria yang aku ceritain kemarin, yang nolong aku dari penjahat,” Jelasnya, suara penuh keyakinan.

Satria menatap Tania sebentar, mengangguk pelan sebagai tanda pengakuan.

Surya mengernyit sedikit, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Oh… begitu, ya? Jadi ini yang kamu maksud?” Katanya, suaranya penuh rasa ingin tahu namun tetap tenang. "Nak Satria,"

Satria tersentak sejenak. Panggilan “nak” itu terdengar akrab di telinganya, hangat dan berbeda dari interaksi formal yang biasanya ia terima. Sebuah perasaan aneh muncul di dadanya—seperti adanya kedekatan yang tak ia sangka akan terasa di tengah pertemuan profesional ini.

"Panggil saja saya, Om. Kebetulan, kami ini kan masih relasi dengan Ayahmu juga, bahkan kedekatan di antara kami cukup dekat." Lanjut Surya dengan mata penuh permohonan.

Satria hanya menundukkan sedikit kepala sebagai tanda hormat, membiarkan kata itu mengalir tanpa memberi komentar, sambil matanya tetap menatap Surya dengan tenang. Ada getaran kecil di hatinya—antara rasa hormat, sedikit canggung, dan rasa hangat yang samar, yang membuat suasana di ruangan itu terasa lebih manusiawi daripada sekadar urusan bisnis biasa.

"Bagaimana kalau kita ngobrol sambil brunch di restoran hari ini?" Kata Tania.

Surya tertawa lagi. "Nak Satria, Om harap kamu tidak menolaknya."

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!