Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lulus
Aula pabrik siang itu terasa lebih padat dari biasanya. Udara hangat menggenang, bercampur bau tinta dari kertas pengumuman yang baru saja diprint. Kursi-kursi plastik berderet rapat di atas panggung kecil, panitia berdiri dengan map tebal, siap membacakan nama-nama yang lolos. Suara dehaman, helaan napas, bisik-bisik resah, semuanya menyatu jadi dengung yang membuat waktu terasa lebih lambat.
Di baris tengah, Laras Maya duduk tegak, map biru tipis miliknya dipeluk di pangkuan. Kedua tangannya saling menggenggam, jempol kanan mengusap pelan ruas jari kiri. Kebiasaan yang selalu muncul saat ia menunggu sesuatu yang penting. Ia menatap ke depan, matanya jernih, membawa harap yang sederhana. “Ya Allah, semoga Laras diterima. Bismillah, untuk masa depanku dan Bapak.” Laras tidak henti-hentinya memanjatkan doa pada Yang di atas.
“Baik,” suara panitia terdengar keras dari balik microfon. “kami bacakan nama-nama yang lulus seleksi karyawan baru.”
Nama pertama dipanggil. Satu orang berdiri lalu tepuk tangan terdengar. Nama kedua, ketiga, ke empat begitu seterusnya. Irama kecil dari harap dan kecewa mulai mengisi ruangan. Laras menarik napas yang ia tahan terlalu lama. Ketika beberapa nama berikutnya lewat tanpa menyebut namanya, dadanya kembali mengencang.
“Laras Maya.”
Waktu seakan berhenti di satu titik cahaya. Kepala Laras terangkat, matanya membesar penuh binar. Ia butuh sedetik untuk memastikan itu bukan khayalannya. Senyum merekah terbit di bibir Laras. Ia berdiri hati-hati, menunduk sopan, melangkah maju menerima lembaran hasil. Kertas itu ringan, tetapi nyaris tak mampu ia genggam karena terlalu gemetar. Di dalamnya, ada satu kalimat yang menenangkan seluruh kegundahan beberapa minggu terakhir, DITERIMA.
Ia kembali duduk. Suara-suara lain kembali bergerak di sekelilingnya, ada orang yang bersorak kecil, orang yang tertawa pahit dan ada orang yang tak bisa menyembunyikan kecewa. Namun semua itu terasa jauh. Yang dekat hanyalah napasnya sendiri, berkejaran dengan debar yang hangat.
Pengumuman berakhir. Tepuk tangan penutup terdengar. Para peserta mulai berhamburan keluar, membawa cerita masing-masing. Laras berdiri, merapatkan map birunya ke dada. Satu-satunya yang melintas di kepalanya adalah segera pulang dan membagi kebahagiaan ini pada Bapak.
Di gerbang pabrik, Mas Jaya sudah menunggu di atas maticnya dengan atasan berkerah sederhana. Begitu melihat Laras keluar, ia menurunkan kedua kakinya dari pijakan motor lalu menegakkan tubuh seolah menyambut sinar matahari yang baru saja keluar.
“Laras!” serunya, lebih seperti sapaan yang lama ditahan daripada panggilan. “Gimana?”
Laras berhenti satu langkah dari motor, senyumnya pecah tanpa bisa ditahan. “Alhamdulillah, Mas… aku lulus,” katanya pelan, tapi bahagia itu membuat suaranya berkilau.
Jaya menghela napas yang tidak ia sadari sejak tadi ia tahan. “Syukurlah,” katanya, ada kelegaan yang begitu jujur di sana. Ia mengangguk, menepuk pelan jok motor. “Selamat ya, Ras. Mas ikut senang.”
Laras menunduk cepat, kikuk oleh rasa senang yang terlalu besar. “Maaf ya Mas jadi repotin, padahal Laras bisa pulang sendiri.”
“Repot apanya,” Jaya menimpali tanpa jeda, menatap Laras dengan lembut. “Aku malah seneng bisa jemput kamu, Ras. Kasihan sudah capek ujian harus pulang jalan kaki.”
Kata-kata itu sederhana, tapi menenangkan seperti angin yang lewat di tengah terik. Laras mengangguk, memeluk mapnya lebih erat. “Kalau gitu kita langsung ke ladang ya, Mas? Bapak pasti lagi di sana.”
Jaya hendak menjawab, namun langkah-langkah datang dari sisi kanan. Sepasang sepatu kulit mengilat berhenti tidak jauh dari mereka. Oliver Alexander berdiri di situ, tinggi dan rapi, dingin seperti permukaan logam yang baru diasah. Roni berjalan bersisian dengannya.
Laras refleks menoleh. Bahagianya tidak berkurang seujung kuku pun ketika matanya menemukan Oliver. Tulus adalah satu-satunya bahasa yang ia kenal. Ia mengangkat tangan kecilnya, melambai pendek, dan kalimat itu lolos begitu saja, murni seperti air yang jatuh dari bambu.
“Om! Aku lulus.”
Sejenak, halaman pabrik mematung. Alis Oliver terangkat, menahan rasa geli akibat gadis itu masih dengan polosnya memanggilnya Om. Ia tidak tahu bahwa Oliver juga terlibat dalam kelulusannya hari in. Ia mengangkat dagu sedikit, menatap gadis di hadapannya angkuh seperti biasa.
“Jangan panggil aku begitu lagi,” katanya datar. Nada itu bukan amarah, tapi dinginnya cukup untuk membuat rerumputan di tepi trotoar ikut menahan gerak.
Laras mengerjap, sedikit kebingungan karena baginya panggilan itu adalah bentuk sopan santun pada orang yang lebih tua. “Maaf, Pak…” Ia memperbaiki sebutan secepat kilat, dan tersenyum tipis lagi.
Roni menundukkan kepala sedikit, bibirnya menahan sudut yang hampir naik. Ia melihat semua yang bosnya tidak mau akui, kejanggalan kecil yang justru menarik. Sejak kapan Oliver berbicara dengan nada itu pada orang lain. Jangankan pada karyawan, bersikap sopan padanya saja Oliver tidak sudi. Anehnya pandangan mata Oliver belum bisa beralih dari Laras.
Ia melihat pria di ladang kemarin berdiri di samping Laras. Membayangkan Laras memeluknya dari belakang membuat sesuatu yang ia tidak kenali muncul di dalam dadanya. Entahlah, rasanya tidak nyaman.
“Cih kau sangat manja, ujian ringan begini saja harus dijemput. Memang kau tidak punya kaki?”
Pertanyaan yang seperti ejekan itu membuat Jaya sedikit tersinggung. Tapi senyuman Laras yang seolah sudah biasa membuatnya menahan diri.
“Pak,” Roni bersuara pelan memecah kecanggungan, profesional seperti biasa, “agenda dengan bagian pembelian dimajukan lima belas menit. Kita perlu bergerak sebentar lagi.”
Oliver tidak menoleh. “Aku dengar,” jawabnya pendek.
Roni mengangguk sembari tersenyum tipis menyadari sesuatu.
“Mas,” Laras berbalik pada Jaya, seperti diingatkan kembali oleh tujuan awalnya, “ayo ke ladang. Aku pengen Bapak denger kabar ini sekarang juga.”
Jaya mengangguk. “Siap.”
Laras menaiki boncengan. Sebelum melaju Laras menoleh sekali lagi, melambaikan tangan kecilnya yang kali ini tanpa suara. Roni membalas anggukan tipis. Oliver tidak bergerak, hanya memalingkan wajah seperti tidak melihat mahluk hidup yang perlu ditanggapi di sana.
Motor pun meluncur, angin sore menerbangkan rambut Laras. Begitu memasuki desanya, jalan yang dipenuhi tanah berdebu langsung menyambut. Di sisi kanan dan kiri hamparan sawah membentang luas. Beginilah jalan disini, saat hujan berlumpur dan saat kemarau akan berdebu.
Di sepanjang jalan Laras memeluk map birunya, di dalam sana ada tanda resmi atas kerja kerasnya. Tanda ini membuat laras berani untuk bermimpi kuliah lagi. Seorang anak petani tebu seperti dirinya mana berani bermimpi dulu, bisa makan setiap harinya saja mereka sudah sangat bersyukur.
Suatu saat, Bapak akan hidup enak dan tidak perlu banting tulang ke ladang lagi di masa tua. Ibu... Laras udah gede, udah keterima kerja Bu. Laras janji akan jaga Bapak di sini.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀