Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 – Retakan di Dunia
Reruntuhan Menara Tenebris masih bergetar ketika mereka keluar. Udara malam terasa dingin menusuk, tapi bukan dingin biasa—ini adalah hawa yang menindas, membuat bulu kuduk berdiri.
Langit yang biasanya berbintang kini penuh retakan hitam, seperti kaca pecah yang menggantung di angkasa. Dari celah-celah retakan itu, sinar merah gelap berkilau, menjalar ke awan seperti luka di tubuh langit.
Soren memandang ke atas dengan mulut ternganga. “Apa yang… terjadi dengan langit?”
Elira menggenggam buku sihirnya erat, wajahnya pucat. “Ini efek dari ritual yang hampir selesai. Meskipun kita menghancurkannya, sebagian kekuatan sudah lolos. Retakan itu… tanda bahwa batas antara dunia kita dan kegelapan mulai melemah.”
Lyra menahan napas, lalu menatap Kael. “Berarti… dunia lain, dunia tempat Erebos terkurung… mulai bocor ke dunia kita.”
Kael menatap retakan itu dengan rasa bersalah yang menusuk. Hatinya masih terngiang suara Erebos: “Kau sudah membukanya.”
“Ini salahku,” gumamnya lirih. “Kalau saja aku tidak…”
“Cukup.” Lyra memotongnya dengan suara tegas, meski matanya lembut. “Ini bukan salahmu, Kael. Kita semua ada di sini. Kita semua yang melawan. Dan kita semua yang akan menutup retakan itu.”
Kael menatapnya, sedikit lega. Tapi dalam hatinya, ia tahu Erebos sudah menanamkan sesuatu di dalam dirinya.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di perbatasan Kerajaan Ardelia. Bukannya ketenangan yang menyambut, mereka malah menemukan desa-desa kosong, rumah terbakar, dan ladang-ladang layu seakan ditelan musim dingin.
Di alun-alun sebuah desa kecil, mereka melihat mayat-mayat yang terbungkus kabut hitam tipis. Wajah mereka beku dalam ekspresi ketakutan.
Soren memukul dinding dengan marah. “Bangsat! Bayangan itu sudah sampai sejauh ini?!”
Elira berlutut di samping salah satu tubuh, matanya berkilat sedih. “Bukan hanya bayangan. Aku bisa merasakan… sebagian jiwa mereka ditarik keluar. Mungkin ke arah retakan itu.”
Lyra menunduk, jemarinya gemetar. “Berarti… Erebos mulai mengumpulkan kekuatan, menggunakan jiwa-jiwa ini.”
Kael mengepalkan pedangnya. Suaranya rendah tapi tegas. “Kalau begitu kita harus bertindak sebelum retakan itu melebar. Kalau tidak, seluruh dunia akan jadi seperti desa ini.”
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah reruntuhan rumah. Api unggun kecil berusaha melawan hawa dingin yang menekan.
Suara-suara aneh terdengar dari kejauhan—bisikan yang sama seperti di Menara, tapi lebih pelan, menyusup ke telinga.
Lyra menggigil. “Bisikan itu… semakin kuat setiap hari.”
Elira membuka bukunya, membalik halaman dengan cepat. “Aku menemukan sesuatu. Legenda kuno menyebutkan tentang Tiga Pilar Cahaya—artefak yang dibuat oleh para Archmage untuk menahan kekuatan Erebos ribuan tahun lalu.”
Soren menoleh cepat. “Kalau itu nyata, berarti kita bisa menggunakannya untuk menutup retakan itu?”
Elira mengangguk pelan. “Ya… tapi masalahnya, tidak ada yang tahu di mana ketiga Pilar itu sekarang. Mereka mungkin tersebar di seluruh benua, atau bahkan dilupakan.”
Kael menatap ke arah retakan di langit, yang masih berdenyut samar meski jauh. “Kalau begitu, kita harus menemukannya. Itu satu-satunya jalan.”
Lyra menatap Kael lama, lalu tersenyum tipis. “Kau terdengar seperti pemimpin sekarang.”
Kael menghela napas kecil, mencoba menyingkirkan keraguan dalam dirinya. “Aku bukan pemimpin. Aku hanya seseorang yang tak ingin dunia ini jatuh ke tangan bayangan.”
Namun, jauh di dalam kegelapan retakan, Erebos tertawa.
“Ya… carilah Pilar itu. Semakin kau mendekatinya, semakin kau terjerat dalam takdirku. Karena untuk menutup retakan… kau harus membuka jalan bagiku.”
Kael merasakan bisikan itu samar, bahkan dalam tidurnya. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa pertempuran ini bukan hanya melawan bayangan di luar—tapi juga melawan kegelapan yang terus tumbuh di dalam dirinya sendiri.