Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Mencari Yang Menjauh
“Icha, kamu yakin gak mau ikut jalan ke taman kota bareng kita sore ini?” tanya Dinda sambil memasukkan buku ke dalam tas.
Icha geleng pelan. “Lo aja deh, Din. Gue pengen langsung pulang.”
Dinda menatap sahabatnya itu dengan tatapan curiga. “Lo bukan langsung pulang. Lo mau cari tahu soal Albar, kan?”
Icha buru-buru menunduk. “Enggak…”
“Cha, lo tuh emang gak jujur sama mulut, tapi ekspresi lo gak bisa bohong.” Dinda mengangkat alis. “Ngaku deh.”
Icha mendesah, akhirnya berkata jujur, “Gue cuma pengin tahu dia kenapa. Gue gak ngerti... kenapa dia tiba-tiba menjauh.”
“Karena lo juga yang selama ini nyuruh dia pergi, Cha.”
Icha terdiam. Dinda tidak sedang menyalahkan, hanya menyampaikan kenyataan yang pahit.
Setelah beberapa menit, Icha berkata, “Lo tahu tempat dia biasa latihan musik sekarang?”
Dinda tersenyum kecil. “Gue udah nunggu lo nanya itu. Di kafe kecil belakang gedung bioskop lama. Dia latihan sama band baru dari sekolah lain buat lomba tingkat provinsi.”
“Lo bisa temenin gue ke sana?”
“Bisa.”
Sore itu, langit redup dan angin berhembus pelan. Dinda dan Icha berdiri di seberang kafe kecil dengan papan kayu bertuliskan “Notasi Kopi.” Dari luar, suara musik samar terdengar—gitar, ketukan drum, dan satu suara yang sangat dikenali Icha.
Suara Albar.
“Lo mau masuk?” tanya Dinda pelan.
Icha menggeleng cepat. “Belum. Gue liat dari sini aja.”
Dari balik jendela kaca, Icha melihat Albar sedang duduk di kursi tinggi, memegang gitar akustik. Ia tersenyum, tertawa lepas bersama dua cowok dan satu cewek lain yang duduk di sekelilingnya.
Hati Icha nyeri. Ia belum pernah melihat Albar tertawa sebebas itu sejak mereka dekat.
“Dia keliatan... bahagia,” gumam Icha.
Dinda melirik, lalu menjawab, “Mungkin karena dia lagi gak mikirin lo.”
Icha menoleh cepat, memelototi Dinda.
“Eh, gue bercanda!” ujar Dinda cepat sambil tertawa kecil. “Tapi serius, Cha. Lo harus mulai jujur sama diri sendiri. Lo nyari dia, lo mikirin dia, lo kepo dia di balik jendela kayak detektif gagal—dan lo masih bilang gak suka?”
Icha tak menjawab. Matanya terpaku pada satu sosok perempuan yang tiba-tiba mendekat ke arah Albar dan duduk di sebelahnya.
Cewek itu berambut sebahu, berponi, mengenakan jaket hitam oversized dan mengenakan earphone di salah satu telinganya. Wajahnya ceria, dan ia menepuk bahu Albar sebelum tertawa—tertawa yang dibalas Albar dengan senyum.
“Siapa tuh?” tanya Icha cepat.
Dinda ikut melihat. “Gak tahu. Kayaknya salah satu anggota band.”
“Deket banget…” gumam Icha dengan nada yang bahkan tidak ia sadari terdengar cemburu.
“Cha... itu bukan urusan lo lagi, ingat?” goda Dinda sambil tersenyum jahil. “Lo yang mau dia pergi. Lo yang gak pernah ngaku suka.”
“Ya, tapi...”
“‘Tapi’ apa?”
Icha tak bisa menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatap Albar yang tampaknya sudah memiliki dunia baru tanpa dirinya.
Dan untuk pertama kalinya, Icha merasakan sesuatu yang benar-benar tidak nyaman.
Takut kehilangan.
Saat malam tiba, Icha membuka galeri ponselnya. Ia memperbesar foto yang diam-diam ia ambil tadi—Albar sedang memetik gitar, dan di sebelahnya cewek berjaket hitam itu tertawa sambil memiringkan kepala.
Ia memperhatikan cewek itu lebih lama dari yang seharusnya.
Lalu membandingkannya dengan dirinya sendiri.
“Apa dia selera lo yang baru, Bar?” bisiknya pelan.
Ia menyentuh layar, mencoba memperbesar ekspresi Albar.
Senang.
Bebas.
Dan itu membuat Icha makin yakin bahwa cowok itu benar-benar menjauh.
Mungkin bukan hanya karena kecewa padanya.
Tapi mungkin... karena Albar memang sedang membuka hati untuk yang lain.
Dan Icha terlalu lama menyangkal.