NovelToon NovelToon
Gadis Centil Milik CEO Dingin

Gadis Centil Milik CEO Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: siti musleha

Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.

Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.

Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20 Ancaman Baru

Rumah besar itu kembali tenang malam ini. Setelah kejadian di Hotel Imperial yang membuat Seto kalah telak, atmosfer di kediaman Adrian terasa sedikit lebih ringan. Namun, ketenangan itu tak sepenuhnya membuat Alira bisa santai. Bayangan wajah Adrian yang begitu kejam pada Seto masih menempel di pikirannya.

“Mas itu… kalau lagi dingin sih udah biasa, tapi kalau lagi marah… ngeri banget,” gumam Alira sambil tiduran di sofa ruang tamu. Ia menutup wajah dengan bantal, lalu menoleh ke arah Adrian yang sedang duduk di meja kerjanya.

Adrian tidak menanggapi. Matanya fokus pada dokumen di tangan, pena bergerak menandai beberapa baris penting.

Alira mengangkat kepalanya, mendengus kesal. “Mas, tahu nggak? Istrimu ini lagi trauma berat, tapi suamiku malah sibuk kerja. Aku nggak dianggap sama sekali.”

“Kalau kau bisa bicara sepanjang itu, artinya kau baik-baik saja,” jawab Adrian datar tanpa mengangkat kepala.

Alira ternganga. “Astaga, Mas! Kok jawabannya nyebelin banget sih?”

Adrian menutup dokumen, akhirnya menoleh. “Apa yang kau harapkan saya lakukan? Menemanimu berbaring sambil mendengarkan kau mengulang cerita yang sama lima kali?”

Alira langsung menegakkan tubuhnya, matanya membulat. “Itu romantis namanya, Mas! Namanya juga suami-istri, harus saling mendukung, saling mendengarkan, saling—”

“Saling membuat kepala pusing?” sela Adrian.

Alira mendengus, lalu melempar bantal ke arahnya. Adrian mengangkat tangan, bantal itu tertangkap dengan mudah. Tanpa ekspresi, ia meletakkannya kembali di sofa.

Alira memelototinya. “Mas ini… benar-benar suami dinginku!”

Adrian menghela napas, lalu berdiri. Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan Alira yang kini mendongak menatapnya.

“Kalau begitu, karena saya memang dingin, jangan salahkan saya kalau keputusan saya juga dingin.”

Alira mengedip. “Maksudnya?”

Adrian menunduk sedikit, menatap matanya tajam. “Mulai malam ini, kau pindah ke kamar saya.”

“Apa?!” Alira sontak berdiri. Wajahnya langsung merona, seolah seluruh darah naik ke pipi. “P-pindah kamar? Maksud Mas… aku… aku tidur bareng Mas?”

Adrian menatapnya datar. “Apalagi maksudnya? Kau pikir saya minta kau pindah ke gudang?”

“Mas!” Alira menutupi wajah dengan kedua tangannya. “A-aku kan masih gadis polos. Aku bisa… bisa gugup kalau tidur bareng Mas.”

Adrian mengangkat alis. “Bukankah setiap hari kau selalu mencari cara untuk menggoda saya dengan panggilan centilmu? Tapi sekarang disuruh pindah kamar saja kau kelabakan?”

“Itu beda, Mas!” Alira buru-buru menggeleng. “Kalau aku panggil Mas ‘suamiku’ kan cuma bercanda. Tapi kalau tidur satu kamar…”

Ia menunduk, wajahnya makin merah. “…itu serius.”

Adrian berjongkok, sejajar dengan wajahnya yang menunduk. Dengan satu jari, ia mengangkat dagu Alira perlahan hingga mata mereka bertemu. “Justru karena serius, saya tidak mau ada lagi jarak. Kau istri saya. Mulai malam ini, kau tidur di kamar saya. Titik.”

Alira tercekat. Ia menelan ludah keras-keras, lalu tiba-tiba berkata, “Mas… kalau aku ngorok gimana?”

Adrian terdiam tiga detik, lalu mengusap wajahnya sendiri. “Kau memang tidak bisa diajak serius.”

Alira terkekeh, mencoba menutupi rasa gugupnya. “Hehehe… yaudah deh. Tapi Mas jangan kaget kalau aku tiba-tiba tidur sambil ngomong ya. Soalnya dulu kata mama aku suka ngomel dalam tidur.”

“Kalau begitu, saya akan pasang earplug.”

“Mas!”

Akhirnya, dengan wajah setengah malu, Alira menyiapkan barang-barangnya. Beberapa baju, skincare, dan boneka kesayangannya ia masukkan ke koper. Adrian hanya berdiri di pintu kamar Alira, bersandar dengan tangan terlipat, memperhatikan tingkah polos itu.

“Mas, boneka ini harus ikut. Kalau nggak, aku nggak bisa tidur.” Alira mengangkat boneka beruang besar berwarna pink.

Adrian mengangkat alis. “Beruang itu lebih penting dari saya?”

Alira tersenyum centil. “Ya… tapi kalau Mas mau gantikan posisinya, aku nggak keberatan kok.”

Adrian menatapnya tanpa ekspresi, tapi telinganya memerah samar. “Cepat selesaikan.”

Setelah semua siap, Adrian sendiri yang menarik koper itu ke kamarnya. Alira mengikuti dari belakang, wajahnya setengah malu setengah antusias.

Begitu masuk kamar Adrian, Alira langsung terperangah. “Mas! Kamarmu gede banget! Ini mah bukan kamar, ini aula!”

Adrian menutup pintu. “Kalau menurutmu terlalu besar, berarti kita punya banyak ruang untuk…” Ia berhenti, menatapnya lama. “…untuk tidur dengan tenang.”

Alira langsung salah tingkah. “M-mas, jangan bikin jantungku deg-degan gitu dong.”

Malam semakin larut. Alira sudah mengenakan piyama, duduk di tepi ranjang sambil memeluk bantal. Adrian keluar dari kamar mandi dengan piyama satin abu-abu.

Alira menatapnya lama, lalu menutup wajah dengan bantal. “Mas… kenapa kelihatan ganteng banget kalau pakai piyama gitu sih? Aku nggak bisa tidur nanti.”

Adrian menghela napas. “Kau berlebihan.”

“Beneran, Mas! Aku kan gadis polos. Kalau lihat Mas jalan keluar kamar mandi gitu, aku bisa mimisan.”

Adrian menoleh, menatapnya tajam. “Kalau mimisan, jangan tumpahkan di kasur saya.”

“Mas!” Alira tertawa terbahak-bahak. “Ya ampun, suamiku dingin ini bener-bener nggak bisa diajak romantis.”

Adrian naik ke ranjang, duduk di sisi lain. Ia menatap Alira yang masih gelisah. “Tidurlah. Kau butuh istirahat.”

Alira menggeliat, lalu pelan-pelan berbaring. Namun jarak mereka cukup jauh, seolah ada garis tak terlihat di antara sisi ranjang.

“Mas…” bisiknya.

“Hm?”

“Boleh aku… agak deket dikit?”

Adrian menoleh. “Kenapa?”

“Soalnya… aku takut kalau mimpi buruk. Kalau deket Mas, aku ngerasa aman.”

Adrian terdiam sebentar, lalu bergeser sedikit, mengurangi jarak. “Sudah cukup?”

Alira tersenyum manis. “Cukup banget.”

Beberapa menit kemudian, lampu kamar sudah padam. Hanya ada cahaya redup dari lampu tidur di meja. Alira memejamkan mata, tapi hatinya berdebar keras.

Pelan-pelan, ia merasakan sesuatu menyentuh punggung tangannya. Ia membuka mata—Adrian sedang menggenggam tangannya di bawah selimut.

“Mas…” suaranya lirih.

“Tidurlah. Kau aman.”

Pipinya langsung panas. Alira menutup wajah dengan selimut, menahan senyum dan rasa gugup yang bercampur.

Namun tepat saat ia hampir terlelap, ponsel Adrian di meja bergetar pelan. Notifikasi masuk dengan nama pengirim yang tak dikenal.

Adrian meraih ponsel itu, matanya menyipit membaca isi pesan:

“Kau kira Seto satu-satunya lawanmu? Permainan baru saja dimulai.”

Adrian menoleh sekilas ke arah Alira yang sudah terlelap, menggenggam tangannya erat, lalu menatap layar lagi dengan tatapan penuh tekad.

Malam itu berakhir dengan suasana ambigu: hangat, lucu, tapi bayangan badai baru sudah menanti.

Alira belum bisa benar-benar tidur. Ia masih bolak-balik di tempat tidur, sesekali menarik selimut sampai ke hidung lalu menurunkannya lagi.

“Mas…” bisiknya pelan.

Adrian yang sudah berbaring dengan mata terpejam bergumam. “Apa lagi?”

“Kalau aku kebangun tengah malam, boleh aku ngetok pundak Mas biar aku bisa balik tidur lagi?”

Adrian membuka mata, menoleh dengan wajah datar. “Alira, kau tidak sedang indekos. Tidak perlu izin untuk mengetuk pundak saya.”

Alira terkekeh, menutupi mulutnya. “Hehe… iya juga ya. Tapi Mas, jangan kaget kalau tiba-tiba aku meluk Mas dalam tidur. Itu spontan, bukan disengaja.”

Adrian menghela napas panjang. “Kalau itu terjadi, saya tidak akan mengusirmu ke sofa. Jadi berhenti khawatirkan hal-hal aneh.”

Alira menoleh cepat, matanya berbinar. “Maksudnya Mas… nggak keberatan kalau aku meluk Mas?”

Adrian menatapnya lama. “…Selama kau tidak merusak tulang rusuk saya, tidak masalah.”

Alira langsung terbahak, tapi kemudian buru-buru menutup mulut dengan selimut saat Adrian mengerling datar. “Ya ampun Mas, gaya ngomongmu tuh… bikin aku susah berhenti ketawa, tapi sekaligus bikin jantungku berdebar.”

Adrian menutup mata lagi. “Tidurlah. Kau sudah bicara lebih banyak daripada seharusnya.”

Namun beberapa menit kemudian, tepat ketika Adrian hampir terlelap, Alira tiba-tiba bergeser. Ia benar-benar menyandarkan kepala di bahu Adrian, tubuhnya gemetar halus karena gugup.

“Mas…” suaranya lirih.

“Hm?”

“Aku serius, ini pertama kalinya aku tidur satu ranjang sama laki-laki. Jadi… kalau aku tiba-tiba gugup banget, Mas jangan marah ya.”

Adrian membuka mata, menatap wajah Alira yang merona dalam cahaya lampu temaram. Ada sisi polos yang membuat hatinya hangat, meski ia tidak menunjukkannya secara gamblang. Ia hanya mengangkat selimut, menutupi tubuh mereka berdua, lalu berbisik pendek, “Kau aman bersamaku.”

Alira membeku beberapa detik. Ia menggigit bibir, lalu menutup wajah dengan bantal kecil. “Mas, jangan ngomong manis gitu dong… aku bisa nggak tidur semalaman.”

Adrian menahan senyum tipis, namun memilih bungkam.

Sampai akhirnya, ponselnya bergetar lagi. Kali ini lebih lama, tanda panggilan masuk. Adrian cepat meraihnya, melihat nomor asing tanpa nama.

Alira yang setengah sadar mendengar dering itu bergumam pelan, “Mas, siapa sih? Malam-malam gini…”

“Tidur lagi.” Adrian menepuk lembut punggung tangannya, lalu keluar sebentar ke balkon kamar untuk mengangkat telepon.

Suara di seberang terdengar rendah, penuh ejekan.

“Adrian… kau kira setelah Seto tumbang, semuanya selesai? Kau salah besar. Seseorang dari masa lalu akan segera datang, dan dia lebih berbahaya dari siapapun.”

Adrian menggenggam ponsel erat, matanya menajam. “Siapa kau?”

“Tunggu saja. Sebentar lagi kau akan tahu. Dan jangan lupa, wanita yang selalu di sisimu itu—” suara lawan tertawa lirih, “—akan jadi kelemahan terbesarmu.”

Klik. Telepon terputus.

Adrian menatap jauh ke kegelapan malam. Ia menggenggam ponsel erat, lalu melirik ke dalam kamar—di sana, Alira sudah tertidur pulas, memeluk boneka pink di sampingnya, wajahnya damai seakan tak ada bahaya yang mengintai.

Adrian mengepalkan tangan. Dalam hati ia bersumpah, *Siapapun yang mencoba menyentuh Alira, akan saya hancurkan tanpa ampun.*

Namun tanpa ia sadari, dari kejauhan, sepasang mata mengawasi rumah itu melalui teleskop kecil…

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!