NovelToon NovelToon
Simpul Yang Terurai

Simpul Yang Terurai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Persahabatan / Pihak Ketiga
Popularitas:810
Nilai: 5
Nama Author: Simun Elthaf

Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wanita Penjaga Kitab Suci

Doa kafaratul majelis baru saja dibaca, mengakhiri pengajian malam itu dengan damai. Ayat-ayat penutup menggema pelan di aula jadid (baru) pesantren, menandakan sesi telah usai. Para santri dan santriwati bangkit dari duduk mereka, beriringan meninggalkan aula dengan langkah tenang. Pak Kyai, dengan sorban putih yang melingkar rapi di kepalanya, melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul setengah sepuluh malam. Cahaya rembulan mulai mengintip dari balik awan, menambah sejuk suasana malam. Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran itu menutup kitab tipis yang baru saja ia uraikan isinya kepada para santri. Kitab itu, yang berisi hikmah dan ajaran, kini kembali terbungkus kain sutra hijau. Dengan langkah mantap, ia bergegas menemui istrinya, Bu Nyai, yang sudah menunggunya di kediaman mereka. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan.

"Mi, Umi sudah menelepon Haisya?" tanya Pak Kyai, duduk di sofa empuk ruang keluarga. Kerutan di dahinya sedikit menunjukkan kerinduan. "Sudah berapa bulan ini Abah belum mendengar suaranya, Abah kangen ingin dengar kabarnya di negeri gurun itu," lanjutnya, matanya menerawang jauh, seolah membayangkan putrinya di Mesir.

"Nggih, Bi," jawab Bu Nyai dengan suara lembut, tangannya masih sibuk mengaduk sesuatu di dapur yang harum. "Nanti Umi telepon Haisya setelah Umi selesai memasak ya, Bi. Sebentar lagi masakannya matang."

Bu Nyai memasak dengan sangat terampil. Aroma rempah dan bumbu khas masakan Jawa tercium semerbak di setiap penjuru pesantren, menggoda indra penciuman. Dua puluh menit kemudian, Bu Nyai sudah membereskan dapurnya, memastikan semuanya rapi dan bersih. Ia mengeringkan tangannya dengan serbet, lalu mengambil telepon dan memasukkan sebuah nomor yang sudah hafal di luar kepala. Panggilan telepon itu tersambung dengan cepat, suara nada sambung terdengar sebentar sebelum akhirnya terhubung.

"Abah… ini Haisya!" seru Bu Nyai, bergegas menghampiri Pak Kiai dengan senyum mengembang. Wajahnya berseri-seri mendengar suara putrinya.

"Tunggu sebentar!" Pak Kyai menghela nafas lega. Ia menyeruput secangkir kopi hitamnya yang masih hangat, menikmati tegukan terakhir, lalu meletakkannya dengan hati-hati di atas nakas di sampingnya. Ia mengambil telepon dari tangan Bu Nyai, hatinya diliputi kerinduan yang membuncah.

***

Obrolan via Telepon

"Halo, Assalamualaikum…." Suara Pak Kiai terdengar bergetar, menahan haru.

"Waalaikumsalam… Alhamdulillah, bagaimana kabarnya, nduk?" tanya Pak Kyai, sapaan sayang untuk putrinya.

"Alhamdulillah sae, Bah, Abah lan Umi pripun?" (Alhamdulillah baik, Bah, Abah dan Umi bagaimana?) Suara Haisya terdengar ceria, mengobati kerinduan kedua orang tuanya.

"Alhamdulillah pados sae, nduk." (Alhamdulillah baik-baik saja, Nak.) Pak Kyai tersenyum, hatinya menghangat.

"Salam kangge sedoyo nggih Bah, Haisya kangen suasana pondok, hehehe." (Salam untuk semuanya ya, Bah, Haisya kangen suasana pondok.) Terdengar tawa kecil Haisya dari seberang telepon.

"Nggih, Insya Allah nanti Abah sampaikan ya… makanya cepat-cepat lulus, cepat pulang ke Indonesia," nasehat Pak Kyai, berharap putrinya bisa segera kembali ke pelukan keluarga dan pesantren.

"Hehehe njih Bah." (Iya, Bah.) Haisya mengiyakan dengan tawa renyah.

"Pripun mpun dugi pundi setorane?" (Bagaimana sudah sampai mana setorannya?) Pertanyaan tentang hafalan Al-Quran selalu menjadi prioritas utama.

"Tesih sekedik, Bah." (Masih sedikit, Bah.) Haisya menjawab dengan nada rendah hati, padahal ia sudah mencapai banyak kemajuan.

"Pinten juz malih?" (Berapa juz lagi?)

"Wonten gangsal juz malih, Insya Allah." (Ada lima juz lagi, Insya Allah.) Haisya menjawab penuh keyakinan.

"Alhamdulillah… pun kathah, sekedap malih dugi khatam, sing istiqomah nggih nduk, ampun bosen-bosen ngaos." (Alhamdulillah… sudah banyak, sebentar lagi sampai khatam, yang istiqomah ya, Nak, jangan bosan-bosan mengaji.) Pesan istiqamah tak pernah absen dari Pak Kyai.

"Insya Allah Bah, nyuwun pandongane mawon." (Insya Allah Bah, mohon doanya saja.)

"Nggih, mugi-mugi cepet apalane, diparingi dalan kang terang kangge nuntut ngelmu kang manfaat lan barokah dunya akherat!" (Iya, semoga cepat hafalannya, diberi jalan yang terang untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dan berkah dunia akhirat!) Doa yang tulus meluncur dari bibir Pak Kyai.

"Aamiin… matur suwun Bah." (Aamiin… terima kasih Bah.) Percakapan itu terasa singkat, namun penuh makna bagi keduanya.

***

Keesokan Harinya

Carlysca mondar-mandir di depan ruang ujian, raut wajahnya dipenuhi kecemasan. Lima menit lagi ujian tahriri (tulis) akan dimulai, namun Haisya belum datang juga. Carlysca menyesal tidak menjemputnya tadi pagi, padahal ia sudah berjanji. Pikirannya melayang, membayangkan Haisya terjebak kemacetan atau mengalami kesulitan.

"Aduuh, Sha, ke mana saja, sih?" tanyanya cemas, saat akhirnya melihat Haisya berjalan tergesa-gesa mendekat. Nafas lega langsung dihembuskannya.

"He… sorry, Ca," jawab Haisya, sedikit terengah-engah. "Tadi ada urusan sebentar yang tidak bisa ditunda."

"Ya sudah ayo buruan, ujian segera dimulai!" Carlysca menarik tangan Haisya, bergegas memasuki ruangan ujian yang sudah mulai dipenuhi peserta.

Suasana di dalam ruang ujian sangat tenang, hampir tanpa suara. Semua mahasiswa mengikuti imtihan (ujian) dengan tertib. Tidak ada keributan ataupun kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Pena bergerak di atas kertas, mengisi lembar jawaban dengan penuh konsentrasi.

Haisya membaca soal dari awal hingga akhir dengan teliti, memastikan tidak ada detail yang terlewat. Setelah memahami setiap instruksi, ia mulai menjawabnya satu per satu. Tak lupa ia sertakan nama lengkap dan identitasnya di pojok kanan atas lembar jawab. Tak berapa lama, seorang mahasiswi bule cantik asal Amerika telah mengumpulkan lembar jawabnya, menjadi yang pertama selesai. Giliran kedua, Haisya akan mengumpulkan miliknya. Diliriknya Carlysca masih fokus dan sibuk mengerjakan soal yang belum selesai, alisnya berkerut tanda berpikir keras. Haisya memeriksa kembali hasil jawaban miliknya untuk memastikan dia benar-benar telah menjawab dengan benar tanpa kekeliruan. Bibirnya basah oleh selawat dan salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, melantunkan bait-bait indah yang menenangkan hati:

Huwal habibul ladzi turja syafa’atuhu

Likulli haulin minal ahwali muqtahimi

Maulaya sholli wasallim daiman abada

‘Ala habibika khairil khalqi kullihimi

(Dialah (Nabi Muhammad SAW) sang kekasih yang syafaatnya diharap selalu untuk menghadapi segala petaka yang menerpa. Tuhanku limpahkanlah selawat dan salam selama-lamanya kepada Kekasih-Mu (Nabi Muhammad SAW), sebaik-baik makhluk semua.)

Setelah yakin dengan semua jawabannya dan hatinya merasa tenang, ia kemudian membawa kertas itu ke meja pengawas dan melangkah meninggalkan ruangan. Haisya merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat. Ia membuka Al-Quran mini miliknya yang selalu dibawa, lalu mulai hanyut dengan kalam Sang Ilahi Yang Maha Esa, menyejukkan jiwanya yang baru saja melewati ketegangan ujian.

***

"Yalla, ila suq! (Ayo, ke pasar!)" seru Carlysca, tiba-tiba muncul di samping Haisya dengan wajah ceria setelah selesai ujian. Energi Carlysca seolah tak ada habisnya.

Di tengah keramaian pasar Kairo yang padat dan bising, mereka berdua berdesak-desakan, mencoba menerobos kerumunan agar bisa mendapatkan jalan. Aroma rempah, sayuran, dan masakan bercampur aduk, menciptakan suasana khas pasar tradisional. Haisya hanya membawa uang sebesar 25 LE (pound Mesir), jumlah yang cukup terbatas. Dilihatnya di ujung sana ada tukang fuul dengan panci besarnya. Di sudut sana ada tukang kibdah (hati sapi), di pojok sana ada tukang saksukah, dan di seberang sana ada tukang kushari (hidangan nasi, pasta, dan lentil). Mata Haisya terus diarahkan ke arah tukang-tukang penjual makanan yang benar-benar menggugah selera, perutnya kembali bergejolak. Haisya berjuang keras menahan nafsunya agar tidak berkeinginan memakan makanan itu, mengingat niat puasanya.

"Kenapa diam saja? Ayo pilih makanan yang kamu suka!" Carlysca bertanya, menyadari Haisya hanya berdiri mematung.

"Ehm, maaf, Ca, saya puasa hari ini," jawab Haisya, sedikit canggung.

"Oh, ya, lupa! ‘Afwan-’afwan (maaf-maaf)," Carlysca sedikit salah tingkah, menepuk dahinya. Ia lupa sahabatnya sering berpuasa sunnah. "Udah nggak masalah, silahkan lanjutkan makannya, lagian cuma puasa sunah," kata Haisya, mencoba menenangkan.

"Enggak ah, kan menghormati," sahut Carlysca, menggeleng. Ia tidak ingin makan di depan Haisya yang sedang berpuasa.

"Nanti lapar," Haisya mencoba meyakinkan.

"Tenang… saya sudah makan roti tadi sebelum kesini, kok," Haisya menenangkan, tersenyum kecil. Ia menghargai sikap Carlysca.

***

Untuk menjadi seorang yang berilmu hebat, mahasiswa di Al-Azhar harus diuji dengan berbagai tantangan. Pertama, mereka dihadapkan pada ijraat (prosedur administrasi) yang super rumit, melibatkan banyak dokumen dan antrean panjang. Kemudian, mereka harus berangkat muhadhoroh (kuliah) di ruang yang penuh sesak, di mana terkadang sulit mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Lalu, mereka harus belajar bersama teman-teman yang hebat, saling bertukar pikiran dan pengetahuan. Bila perlu, mereka mengikuti bimbel (bimbingan belajar) kepada kakak senior yang sudah berbakat dan menguasai materi. Selanjutnya, tantangan terberat adalah menghafal materi yang super rumit dan njlimet, yang kadang terasa tak masuk akal saking banyaknya. Baru setelah imtihan dilaksanakan dengan penuh hati dan perjuangan, para mahasiswa bisa berpuas dengan najah (kesuksesan) yang dinantikan, menikmati buah dari jerih payah mereka.

Imtihan Alhamdulillah telah selesai 2 hari yang lalu. Rasa lega menyelimuti Haisya dan teman-temannya. Halimah, Carlysca, Fiola, Jessica, dan Haisya berencana untuk mengadakan rihlah (perjalanan/piknik) kecil sebagai bentuk refreshing setelah masa-masa tegang. Mahasiswa-mahasiswa di Mesir ini memang unik; musim dingin rihlah, musim semi lebih banyak rihlah, musim panas tambah rihlah. Bahkan, sebelum imtihan pun rihlah, setelah imtihan sudah pasti rihlah. Maklum saja, memang Mesir adalah tempatnya rihlah berbagai jenis: rihlah buat refreshing, rihlah ilmiah ke situs-situs sejarah, rihlah religi ke makam-makam wali, dan rihlah-rihlah yang lain. Ada saja alasan untuk berjalan-jalan.

Apa pun dan ke mana pun rihlah-nya, Al-Quran selalu menemani Haisya. Kitab suci itu tak pernah lepas dari tangan ataupun tas Haisya, menjadi sahabat setianya di setiap perjalanan dan di setiap hembusan nafasnya.

Bagi mereka, kebahagiaan sejati bukanlah berarti harus punya pacar cakep atau chatting dan video call setiap hari dengan kekasih. Bahagia bukan berarti harus kondang dan punya banyak fans dan penggemar yang selalu memuja.

Bahagia bagi mereka adalah rampung imtihan dan kembali menyapa teman-teman tanpa halangan harus bimbel, kejar materi, hafalan muqarrar, dan berbagai beban akademis lainnya. Sekarang mereka benar-benar bahagia, bisa menikmati waktu luang bersama, berbagi tawa, dan merasakan kedamaian.

Di tepi Sungai Musa yang mengalir tenang, mereka menikmati panorama keindahan alam ciptaan Sang Pencipta yang Agung. Air sungai memantulkan cahaya matahari sore, menciptakan pemandangan yang menenangkan jiwa. Lagi-lagi Haisya masih lengket dengan Al-Quran kesayangannya yang sudah mulai lusuh karena berulang kali dibuka dan dibolak-balik, lembar-lembarnya sedikit usang namun penuh berkah.

"Sha, nasithoh jiddan anti," puji Carlysca, mengagumi ketekunan Haisya. (Kamu sangat rajin, Haisya.)

"Em… enggak kok," jawab Haisya merendah, tersipu malu. "Cuma lagi pengen muraja’ah saja, pekan depan saya harus selesai target 30 juz dan langsung disetorkan ke Syekh Abdullah dalam sekali duduk." Target yang luar biasa berat, namun Haisya mengucapkannya dengan penuh keyakinan.

"Oh, gitu, semangat ya, semoga najah," Carlysca menyemangati, takjub dengan target Haisya.

"Aamiin… syukron ya," balas Haisya.

"Afwan," kata Carlysca, tersenyum hangat. Ikatan persahabatan mereka semakin kuat, saling mendukung dalam setiap langkah, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam perjalanan hidup.

1
Jaku jj
Baper abis!
Simun Elthaf: nanti di akhir" part akan banyak yg bikin salting lagi kak😊
total 1 replies
Fiqri Skuy Skuy
Jelas banget ceritanya!
Simun Elthaf: Terimakasih sudah mampir kak, saya baru belajar menukis☺🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!