Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.
Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Yang Berbeda
Pagi di Zurich menyambut dengan langit cerah dan udara dingin yang menggigit, namun anggun. Cahaya matahari memantul di atas salju yang masih menempel tipis di sela-sela jalanan dan atap gedung-gedung klasik, menciptakan kilau keperakan yang menghangatkan suasana meski suhu masih menusuk. Kota ini seperti lukisan—tenang, elegan, dan bergerak dalam ritme mewah yang tertata. Di balik jendela suite hotel bintang lima mereka, Zurich tampak hidup namun damai, dan aroma roti panggang dari restoran bawah hotel samar terbawa ke kamar lewat sistem ventilasi.
Di kamar, Althea memandangi Baby Cio yang masih tertidur nyenyak dikasur. Wajah mungil itu damai, dan pipinya sudah tidak sepucat dulu. Tiga hari sejak kepulangannya dari rumah sakit, bayi itu menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meski Al dan Thea tetap tidak mau mengambil risiko. Maka pagi ini, mereka sudah mengatur dengan cermat, satu perawat bersertifikat dan satu dokter pribadi, wanita paruh baya bernama Dr. Emilia, datang pukul 07.30 dengan perlengkapan medis dan buku catatan lengkap. Mereka menandatangani form tanggung jawab, diberikan panduan tertulis dari dokter Lucy sebelumnya, serta instruksi dari Althea mengenai kebiasaan Baby Cio—termasuk jadwal tidur, pemberian ASI yang sementara ini diambil dari bank ASI, dan susu tambahan jika diperlukan.
Setelah memastikan semua berjalan sesuai rencana dan mencium kening Baby Cio dengan hati yang berat, Al dan Thea bersiap. Al mengenakan setelan jas armani warna biru gelap dengan dasi satin abu-abu perak, sementara Althea tampil memukau dengan gaun elegan berpotongan klasik warna senada dengan detail batu-batu kecil di kerahnya—rancangan eksklusif dari rumah mode yang sama menangani koleksi Phoenix.
Mobil hitam mengantar mereka ke salah satu gedung pameran paling prestisius di Zurich—Gedung Le Chantier, bangunan berarsitektur art deco yang sering digunakan untuk peluncuran internasional. Setibanya di sana, mereka disambut oleh Mr. dan Mrs. Legard, pasangan konglomerat Prancis-Swiss yang memiliki salah satu rantai butik perhiasan terbesar di Eropa.
Di lounge pribadi berdesain modern-klasik dengan ornamen emas dan lampu kristal menjuntai di atas mereka, Mr. Legard menyapa, “Mr. Moonstone, Mrs. Moonstone we’ve been waiting for this moment. So, how is the Phoenix project progressing?”
Al menjawab penuh percaya diri, “Progresnya lebih cepat dari target. Prototipe batch pertama telah selesai. Kami sudah mengamankan hak desain, dan konsep pemasaran akan diluncurkan resmi pada Q3 nanti. Thea bahkan sudah mengatur koleksi eksklusif untuk pasar Eropa.”
Mrs. Legard menimpali sambil tersenyum ke Althea, “I’ve seen the sketches. Luar biasa. Ada sesuatu yang sangat emosional dalam desain Anda, Mrs. Moonstone.”
Thea membalas dengan sopan, “Terima kasih, Mrs. Legard. Proyek Phoenix memang saya dedikasikan untuk transisi, untuk kehilangan dan harapan. Dan semoga itu bisa dirasakan oleh siapa pun yang memakainya.”
Obrolan berlanjut membahas detail penempatan koleksi Phoenix di butik-butik Legard yang berada di Swiss, Paris, dan Milan. Mereka juga membahas sesi pemotretan internasional, model kampanye yang sedang dalam pertimbangan, dan kemungkinan kolaborasi untuk koleksi kapsul edisi terbatas. Mr. Legard bahkan sempat menyarankan kemungkinan kolaborasi dengan galeri seni di Basel.
Kemudian, dengan nada ringan, Mrs. Legard bertanya sambil menyeruput teh hangatnya, “Ngomong-ngomong dimana si kecil tampan keluarga Moonstone ? Aku sangat merindukannya, kenapa kami tidak melihatnya?”
Althea tersenyum kecil, menatap Al sebelum menjawab, “Baby Cio masih dalam masa pemulihan. Dia baru keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu, jadi kami tidak berani membawanya ke tempat ramai. Kami tinggalkan dia bersama dokter dan dua perawat profesional.”
"Astaga semoga keadaannya cepat membaik dan aku tenang jika ia dijaga orang-orang profesional" kata Mrs. Legard terkejut sekaligus lega mendengar keadaan baby cio.
Mr. Legard mengangguk penuh pengertian. “Wise decision. Dan kapan kalian kembali ke Indonesia?”
Al menjawab, “Besok lusa kami akan kembali. Kami ingin pastikan baby cio sudah stabil dan semua pekerjaan kami di Swiss selesai sebelum kembali.”
Mrs. Legard menoleh ke Althea sambil tersenyum tulus, “Kalian pasangan yang sangat berdedikasi. Kami tidak sabar melihat masa depan proyek ini… dan bertemu si tampan Baby Cio lagi suatu hari nanti.”
Thea hanya tersenyum dan mengangguk, menyembunyikan perasaan hangat yang meletup di dadanya.
Setelah sesi diskusi selesai dan tur singkat ke area pameran tempat perhiasan Phoenix ditampilkan dalam vitrin kaca mewah dengan pencahayaan dramatis, Al dan Thea berpamitan dengan tuan rumah.
Dan saat mereka melangkah keluar gedung menuju mobil, salju halus mulai turun dari langit Zurich—seolah dunia merayakan kehidupan baru yang perlahan mereka bangun bersama.
♾️
Di dalam mobil yang melaju perlahan di bawah langit Zurich yang mendung salju, Althea bersandar diam di kursinya. Hujan salju turun lembut di luar kaca mobil yang menghangat dari dalam. Wiper mobil pelan menyingkirkan serpihan salju yang menempel di kaca depan, sementara suasana kota Zurich yang biasanya sibuk kini tampak sepi dan tenang, diliputi selimut putih. Di dalam kabin hangat mobil itu, Althea menyandarkan tubuhnya dengan letih setelah pertemuan dengan klien. Hening, hanya suara napas mereka dan musik klasik lembut yang mengalun di radio. Lampu-lampu kota menyala redup seperti kunang-kunang dalam kabut, menciptakan suasana tenang dan dingin di luar, namun di dalam mobil, kehangatan mulai mengabur oleh rasa aneh yang perlahan merayap ke tubuhnya.
Tiba-tiba, Althea meringis kecil sambil menunduk. Tangannya menyentuh bagian atas dadanya, tepat di sisi payudara. “Akh…” desisnya, kaget—dan sedikit gugup.
Al yang sedang menyetir langsung menoleh ke arahnya, sorot matanya berubah khawatir. "Thea? Kenapa?"
Althea tak segera menjawab. Ia hanya memejamkan mata sejenak, napasnya tertahan, lalu perlahan membuka mata dan menatap Al dengan ekspresi terkejut yang bercampur bingung. “Al… aku rasa… ASI-nya mulai keluar.”
Al mengerem perlahan dan menepikan mobil ke sisi jalan yang cukup sepi—hanya ada suara lembut salju menimpa atap mobil dan suara mesin pemanas. Setelah mobil berhenti, ia memutar tubuhnya menghadap Thea dengan penuh perhatian.
Tatapannya langsung jatuh pada bagian depan dress yang dikenakan Thea—terlihat lembap di bagian tengah dada. Kain yang awalnya elegan, kini menyerap tanda paling awal dari sesuatu yang sangat berarti bagi baby cio, awal tubuh Althea mengakui perannya sebagai ibu Baby Cio.
“Thea, tunggu sebentar.”
Ia bergerak cepat dan tenang, mengambil tas travel berisi perlengkapan pumping yang selalu mereka bawa sejak proses induksi laktasi dimulai. Ia mengeluarkan kain penutup menyusui, botol kecil steril, dan pompa portable.
“Gunakan Ini,” katanya pelan, menyerahkan semuanya ke pangkuan Althea. Suaranya rendah, tak tergesa.
“Kamu bisa pumping sekarang. Ini penting, ‘kan? Aku akan mengalihkan pandangan”
Althea menatapnya—ada sejenis ketegangan halus di wajahnya, bukan karena nyeri, tapi karena gugup dan malu. Ini pertama kalinya. Pertama kalinya ASI-nya keluar setelah semua usaha keras induksi dan komitmennya yang emosional untuk menjadi ibu bagi Cio. Tapi Al yang kini duduk di sampingnya, tanpa ragu sedikit pun... tetap ada. Tetap bersikap tenang, membantu seperti biasa, tanpa komentar atau tatapan aneh.
Wajah Althea memerah seketika, antara malu, grogi, dan berusaha menunduk tak ingin menatap Al. “Al… ini sakit dan sedikit memalukan,” gumamnya.
Al hanya tersenyum kecil dan menjawab, “Bukan. Ini justru luar biasa. Tubuhmu sedang belajar menjadi ibu—kita nggak bisa kendalikan waktunya, tapi kita bisa saling bantu, kan?”
Ia lalu menoleh ke jendela, membiarkan Althea memiliki ruang privatnya, meski mereka tetap berada dalam kabin mobil yang kecil. Hujan salju di luar terlalu deras untuk turun dan keluar mobil. Tapi, di dalam sini, detik demi detik menjadi saksi dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada salju atau kemewahan Zurich, momen lahirnya koneksi tak kasat mata antara seorang perempuan dan bayi yang bahkan belum tumbuh cukup besar di lengannya.
Di bawah selimut salju dan lampu jalan yang remang, suasana di dalam mobil menjadi hening namun intim. Suara mesin pumping mulai terdengar perlahan, ritmis dan tenang. Thea menatap ke luar jendela kanan, melihat titik-titik salju yang menempel lalu mencair di kaca, sementara wajahnya masih sedikit kemerahan. Tapi jauh di dalam dadanya, perasaan hangat dan... nyaman merayap naik. Perlakuan Al terlalu tulus untuk dia abaikan.
Dia tahu pria ini tidak berpura-pura. Tidak mengasihaninya. Ia mendampinginya dengan kesadaran penuh, dengan kehendak penuh.
Sambil tetap membelakangi Thea, Al bertanya pelan, “Kamu nggak apa-apa? Perlu bantuan lain?”
“Sudah mulai lega. Makasih, Al,” jawab Thea, lebih lembut dari biasanya.
Beberapa menit kemudian, setelah proses pumping selesai dan alat serta botol dimasukkan kembali ke dalam kantong sterilisasi, Al membantu Thea melepas kain penutup dan menaruhnya kembali ke belakang.
“Aku selesai…” bisiknya.
Al menoleh pelan, memastikan wajah Thea tidak pucat, tidak kelelahan. “Kamu nggak apa-apa?”
“Lega… dan sedikit kaget,” jawabnya jujur, lalu tersenyum tipis.
Al mengangguk. Ia tak berkata banyak. Ia hanya kembali menyalakan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan menuju hotel, namun sebelum menarik gas, ia sempat berkata pelan, “Kamu luar biasa, Thea.”
Althea diam. Tapi hatinya hangat, dan tak ada salju yang bisa membekukannya.
♾️
Al dan Thea tiba kembali di hotel dengan wajah lelah namun lega. Sesampainya dikamar, mereka disambut oleh suster dan dokter yang mereka sewa khusus untuk menjaga Baby Cio selama mereka menghadiri pameran. Althea segera menghampiri tempat tidur bayi, memeriksa suhu tubuh Cio dan menggenggam jemari mungil itu dengan penuh sayang.
“Dok…” suara Althea pelan namun terdengar tegas saat ia menoleh pada dokter wanita paruh baya yang mengenakan seragam biru muda, “ASI saya mulai keluar. Tadi waktu di mobil sempat terasa nyeri, dan ternyata... ya, mulai ada.”
Dokter tersenyum hangat. “Itu kabar luar biasa, Mrs Moonstone. Tubuh Anda mulai merespons induksi dengan baik. Bolehkah saya memandu Anda untuk mulai menyusui?”
Althea sempat melirik ke arah Al yang baru saja menaruh jaketnya di sofa. Tanpa banyak kata, Al berkata pelan, “Aku ada kerjaan sebentar di balkon, ya. Kalian lanjut saja.”
Tapi Thea tahu itu hanya alasan. Ia bisa merasakannya dari cara Al memandang dirinya—penuh perhatian, namun juga memberi ruang. Ia menghargainya.
Saat itu sore menjelang senja. Udara Zurich yang sejuk membelai lembut tirai di kamar hotel yang elegan namun hangat, tempat mereka menginap sementara bersama Baby Cio. Lampu kuning kekuningan dinyalakan redup, menciptakan suasana tenang. Suara heater berdengung pelan di latar belakang.
Althea duduk di kursi menyusui dekat jendela besar, mengenakan kaus longgar dan cardigan tipis. Tangan dokter yang mendampingi dengan sabar menyentuh lembut bahunya, memberi panduan. Perawat pun menjaga jarak, menjaga ruang privat.
Baby Cio, yang baru bangun dari tidur siangnya, tampak menguap kecil dalam balutan selimut lembut. Tangannya mungil menggenggam udara, menangis pelan—kelaparan.
Althea menunduk. Tangannya sedikit gemetar ketika ia membuka nursing cover yang telah disiapkan. Dokter mengangguk, menyemangati.
“Tarik napas dulu, Mrs. Moonstone. Lalu letakkan perlahan... Iya, begitu...”
Tatapan Althea tertuju pada wajah mungil bayi itu, dan saat Baby Cio akhirnya menemukan putingnya dan mulai menyusu dengan gerakan kecil yang instingtif...
Seketika, dunia berhenti.
Air mata jatuh tanpa suara dari sudut mata Althea. Ia tidak menangis keras, tidak terisak. Tapi air mata itu deras—jatuh dari tempat terdalam yang bahkan tak bisa ia sentuh selama ini. Seolah semua luka masa lalu, semua kehampaan bertahun-tahun, semua penolakan dan dinginnya dunia—mendadak lunak, larut dalam tarikan kecil mulut mungil yang kini melekat padanya.
“Cio... kamu beneran minum dari mommy ya…Kamu sudah menjadi anak mommy seutuhnya sayang” bisiknya nyaris tak terdengar.
Ia tak tahu bagaimana mungkin dirinya, yang dulu sempat ia benci, kini bisa memberi kehidupan. Memberi kehangatan. Memberi perlindungan. Ia merasa menjadi rumah. Bukan hanya untuk orang lain, tapi akhirnya... untuk dirinya sendiri juga.
Dari celah pintu balkon yang tidak sepenuhnya tertutup, Al berdiri terpaku. Tangan kanannya masih memegang tablet yang semula ia pakai untuk mengecek laporan pameran mendatang. Tapi fokusnya telah lama buyar. Ia tidak lagi peduli soal angka atau strategi promosi. Perhatiannya tertambat pada pemandangan di dalam ruangan—pada Althea.
Ia tak berniat mengintip, tapi secara naluriah langkah kakinya membawa tubuhnya sedikit mendekat. Dan saat ia menoleh sedikit, sekilas, ia melihat sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan akan menyentuh hatinya sekuat itu.
Althea duduk di kursi menyusui, nursing cover menutupi bagian dadanya. Tapi yang terlihat bukan hanya aktivitas menyusui itu—melainkan ekspresi di wajah Thea. Matanya sembab, air matanya jatuh, namun bukan tangis kesakitan atau luka. Itu adalah tangis yang lembut, tangis dari kedalaman hati yang belum pernah disentuh siapa pun.
Thea tidak sadar sedang diperhatikan. Ia terlalu tenggelam dalam momen yang baru pertama kali dirasakannya seumur hidup—momen menjadi seorang ibu.
Al menatapnya dalam diam.
Dan di saat itu pula, mata Al berkaca-kaca. Bibirnya terkatup rapat, namun dadanya terasa penuh—seolah ada sesuatu yang meledak perlahan dari dalam. Bukan karena keterkejutan, bukan karena simpati, tapi karena haru yang tidak bisa dibendung.
Air mata jatuh dari sudut matanya. Aleron Rafael Moonstone yang dikenal sebagai CEO yang tegas, berwibawa, dan juga keras. Dan untuk hari ini ia meneteskan air matanya untuk dua orang yang sangat penting untuk hidupnya. Belahan jiwanya, kehidupannya, dunianya dan dua orang yang akan ia lindungi seumur hidupnya.
Ia tak menangis keras—Al bukan tipe laki-laki seperti itu. Tapi ada sesuatu yang melunak dalam diamnya. Melihat perempuan yang ia cintai, yang selama ini selalu melindungi diri dengan dinding-dinding tinggi, kini membuka ruang di dadanya untuk anak kecil itu—dan untuk hidup baru yang mungkin akan mereka jalani bersama.
"Terima kasih, Thea..." bisik Al lirih, walau tak terdengar oleh siapa-siapa.
Lalu ia kembali melangkah pelan ke luar, memberi ruang, menyeka air mata dengan punggung tangan, dan menatap langit Zurich yang mulai gelap.
Tapi hati Al terasa lebih terang dari sebelumnya. Dan hari itu, Althea Reycecilia Rosewood, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, merasa ia layak dicintai.