NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jalan Menuju Segel Terakhir

Tanah retak itu menganga makin lebar. Bau daging busuk dan darah kering menguar dari lubang hitam yang muncul di tengah rumah berdinding hitam. Makhluk itu... bukan dari dunia ini.

Tubuhnya seperti tumpukan kulit manusia yang dijahit pakai benang baja. Tangan-tangannya berjumlah empat, masing-masing mencengkram simbol salib terbalik yang berasap. Matanya... ada tiga. Tengah-tengah di dahi, merah menyala, memancarkan aura iblis yang bahkan membuat udara di sekitarnya jadi beku dan bau logam.

“Keluar, anak Rafael... keluar dan bergabunglah...”

Suaranya mengeram seperti kawanan semut berdengung dalam telinga manusia.

Frater Ben berdiri tegak di depan celah itu, tangan kanannya menggenggam salib besi tua yang mulai membara. Mulutnya komat-kamit melafalkan doa Latin yang dipelajari sejak ia masih calon biarawan.

Sasmita menarik Kenan ke belakang. “Itu bukan jenis siluman yang bisa dibacokin begitu aja.”

Kenan menatap makhluk itu, kakinya gemetar. “Frater... kita bantu dia?”

Frater Ben menoleh, matanya tenang, tapi wajahnya penuh luka batin. “Tidak. Kalian harus pergi sekarang.”

“Tunggu dulu—”

“Sasmita!” Frater Ben membentak, keras. “Dengar aku. Segel Gunung Gede melemah. Tak lama lagi Manglayang akan sepenuhnya bangkit. Satu-satunya cara menghentikannya adalah di tempat ia disegel. Di altar terakhir. Dan yang bisa melakukannya... hanya anak itu.”

Ia menatap Kenan, suaranya mulai lirih. “Kenan membawa setengah darah Rafael. Dan hanya darah Rafael yang bisa menyegel kembali makhluk itu. Cepat.”

Sasmita menatap Frater Ben. “Lo bakal mati kalau tinggal di sini. Lo tau itu, kan?”

Frater Ben tersenyum tipis. “Semua yang hidup, pada akhirnya... kembali ke debu. Tapi bukan hari ini. Hari ini aku harus melunasi dosa yang tertunda.”

Sasmita menahan nafas. Matanya berkedip cepat, ada sesuatu di dada yang ditahan. Tapi ia gak berkata apa-apa. Ia tahu perpisahan ini gak bisa ditawar.

“Ayo, Kenan.”

Mereka keluar dari rumah kayu itu sambil berlari. Malam semakin kelam, awan menggulung seperti ombak hitam di langit. Angin menggila, membawa suara-suara aneh—jeritan, nyanyian, dan doa yang diucapkan mundur.

Avanza tua milik Sasmita terparkir di luar, sebagian catnya penuh debu dan goresan ranting. Ia membuka pintu dengan cepat dan menyuruh Kenan masuk. Mobil langsung menyala, suara mesin menggeram seperti binatang tua yang dipaksa lari lagi.

Tapi sebelum menginjak pedal gas, Sasmita menoleh ke belakang. Matanya menatap pintu rumah hitam yang mulai retak. Di balik asap dan cahaya merah... Frater Ben berdiri sendirian.

Kepalanya sedikit tertunduk. Salib besi di tangannya kini bersinar putih menyilaukan.

Sasmita diam.

Dunia terasa mendadak senyap.

Suaranya pecah. “Frater Ben...”

Seolah bisa mendengar bisikan itu dari jauh, Frater Ben mengangkat wajahnya. Mereka saling menatap, terpisah oleh kabut, asap, dan nasib. Tapi dalam tatapan itu, ada banyak hal yang tidak diucapkan—penyesalan, keberanian, dan pengorbanan.

Frater Ben tersenyum kecil. Dan mengangguk.

> “Lindungi dia.”

Itu saja. Lalu ia berbalik, mengangkat salibnya tinggi, dan melangkah masuk ke dalam kegelapan yang bersinar merah.

Sasmita menarik napas panjang, keras, lalu membanting kaki ke pedal gas.

Avanza itu melaju. Roda melindas tanah becek, ranting kering terlempar ke udara. Di belakang mereka, rumah berdinding hitam meledak perlahan... bukan dengan api, tapi dengan cahaya dan bayangan yang bercampur jadi pusaran.

---

Di dalam mobil, hanya suara mesin dan desah napas cepat. Sasmita menyetir dengan kecepatan tinggi, menabrak waktu, menabrak emosi.

Kenan duduk diam, tangan gemetar memegang salib kecil peninggalan ayahnya.

“Dia... Frater Ben... dia bakal mati, ya?” Suaranya lirih.

Sasmita gak langsung jawab. Matanya terus ke jalan.

“Kenapa... orang-orang di sekitarku semua mati buat nyelamatin aku? Ayah... Frater Ben... bahkan Suster Ira waktu itu bilang dia juga takut bakal hilang.”

Sasmita menarik napas keras.

“Lo mau tahu kenapa gue ngurusin lo, Kenan?”

Anak itu mengangguk pelan.

“Pertama... lo mirip banget sama seseorang yang dulu pernah gue lindungi. Seseorang yang gak bisa gue selamatin. Namanya Kirana.”

Sasmita tertawa kecil, getir. “Dia juga anak yatim. Dia juga punya 'darah'—bukan darah eksorsis, tapi garis keturunan pemanggil jin. Tapi dia masih bocah. Belum ngerti dunia. Sama kayak lo.”

“Apa yang terjadi sama dia?”

“Dia mati. Dibakar hidup-hidup oleh siluman yang pengen tubuhnya. Dan waktu itu gue... telat lima menit.”

Kenan menatap Sasmita. “Lo nyalahin diri lo?”

“Gue gak suka drama. Tapi ya... sampe sekarang, tiap mimpi buruk gue isinya cuma satu suara: 'Kak, aku takut.' Itu suara terakhir dia.”

Sasmita mempercepat laju mobil.

“Kedua... ini emang tugas gue. Lo pikir jadi Pemburu Siluman enak? Bisa cuti pas lebaran? Enggak. Tugas ini datang tanpa undangan, tapi gak pernah pulang tanpa korban. Tapi kalo gue gak jagain bocah kayak lo... siapa lagi?”

Mereka melewati tikungan tajam, lampu mobil menerangi papan kayu bertuliskan:

“Selamat Datang di Perbatasan Sukabumi - Cianjur.”

“Ada satu hal lagi, Kenan.”

Anak itu menoleh. Matanya masih basah.

“Saat lo punya sesuatu yang lo lindungi... lo gak sendirian lagi. Lo mungkin belum punya keluarga sedarah. Tapi keluarga itu gak harus punya nama belakang yang sama. Kadang, lo ketemu mereka... dalam momen paling gila di hidup lo. Kayak sekarang.”

Kenan membuka mulut, menutupnya lagi. Lalu akhirnya berkata, pelan:

“Jadi... lo anggap gue keluarga?”

Sasmita menatapnya sekilas, satu alis naik. “Ya jelas enggak. Lo terlalu lemah buat jadi adik gue.”

Kenan cemberut.

Sasmita tersenyum miring. “Tapi ya... mungkin, lo bisa jadi semacam... keponakan ngeselin. Yang harus gue elus kepalanya kalo takut, dan gue gebuk kalo salah ngomong.”

Kenan tertawa kecil, setengah terisak.

“Gue bukan pahlawan, Kenan. Gue bukan superhero. Gue cuma manusia yang udah kehilangan terlalu banyak orang. Dan kali ini... gue gak mau kehilangan satu lagi.”

Mobil mereka menembus kabut menuju arah Gunung Gede. Langit mulai berganti warna, dari hitam ke abu-abu tua. Matahari belum terbit, tapi langit seperti sedang menahan napas.

Di kejauhan, siluet gunung terlihat. Kokoh. Mencekam. Seperti raksasa yang tertidur dan sebentar lagi akan bangun.

Sasmita menggenggam roda kemudi lebih erat. Ia tahu... waktu mereka gak banyak. Dan yang mereka hadapi bukan sekadar siluman.

Tapi warisan dosa dari masa lalu.

> “Siapin nyali lo, bocah. Gunung itu... tempat ayah lo ninggalin segalanya. Dan sekarang, giliran lo balikin semuanya ke tempat semula.”

Kenan mengangguk pelan. Dalam diam, ia menyeka air matanya. Kali ini... bukan karena takut.

Tapi karena untuk pertama kalinya...

Ia merasa siap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!