"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Mantu Rahasia
“Maaf ganggu,” ucap Rama pelan.
Dia bingung mau ke mana lagi, soalnya memang nggak kenal banyak orang.
Mungkin Sandra bisa jadi orang yang bisa dia percaya.
“Nggak apa-apa, santai aja. Nih, bantuin bawain ini ya, tanganku pegel,” kata Sandra sambil nyodorin tas berisi buah ke Rama.
Tanpa banyak mikir, Rama langsung bantu bawa tas itu.
Mereka jalan beriringan, nggak sadar kalau dari kejauhan, Ayu yang baru keluar dari rumah, ngelihat semuanya.
Ayu mengepalkan tangannya, wajahnya pucat.
“Pantesan kamu gampang banget setuju pas minta cerai... ternyata udah ada yang lain. Tapi jangan harap kamu bisa lepas gitu aja, dasar baj*ngan,” gerutunya dengan gigi terkatup dan air mata mulai turun dari matanya.
…
Rama ngikutin Sandra masuk ke rumahnya.
Begitu duduk, Sandra langsung menuang segelas air dan nyodorin ke Rama sambil senyum.
“Ceritain deh, apa yang bikin kamu kepikiran? Siapa tahu aku bisa bantu,” katanya ramah.
Rama cuma senyum miris, “Aku nggak bisa cerita…”
“Emang ada yang nggak bisa diceritain? Jangan-jangan... istri kamu selingkuh?” tebak Sandra sambil nyengir penasaran.
“Bukan itu,” kata Rama. “Punya alkohol nggak? Mungkin kalau minum dikit, aku bisa cerita.”
“Oh, ya udah. Tunggu bentar ya.”
Sandra langsung berdiri, ambil minuman keras dari dapur, sekalian bawa camilan buat nemenin.
Beberapa gelas kemudian, wajah Rama mulai merah. Dia memang nggak kuat minum.
“Pelan-pelan aja minumnya. Belum mulai cerita juga, nanti kamu keburu tumbang,” kata Sandra lembut.
“Gak apa-apa kok.” Rama nambah satu gelas lagi, baru deh dia mulai cerita.
Dia buka semua unek-uneknya tentang penderitaan yang dia alami selama tinggal sama Keluarga Ningrum. Tapi tentu aja, Rama nggak ngomongin soal kebangkitan bakatnya. Itu rahasia besar yang nggak akan dia kasih tahu siapa pun, meski udah mabuk sekalipun.
Malam itu, dia cuma pengen ngeluarin semua isi hatinya ke Sandra.
“Aku pikir jadi menantu yang tinggal serumah doang udah cukup nyebelin, tapi ternyata parah banget. Kalau semua anggota keluarga Ningrum ngerendahin kamu, kenapa nggak cerai aja sih? Ini zaman apa, masih takut nggak dapet istri? Kalau emang nggak ada yang mau, aku aja deh yang jadi istrimu,” kata Sandra sambil ngedip, separuh becanda, matanya udah setengah merem, wajahnya merah karena mabuk.
“Tiap kali aku mikir buat ninggalin Ayu, hatiku kayak hancur. Rasanya berat banget,” kata Rama, terus minum lagi.
“Yah, berarti kamu udah beneran jatuh cinta sama dia. Tapi dia kan cuma istri di atas kertas. Peduli juga nggak. Coba pikir, setahun nikah tapi gandeng tangan aja nggak pernah. Gila aja itu.”
Rama senyum getir. “Aku tahu dia nggak cinta aku. Tapi aku yang bodoh karena jatuh cinta duluan. Pernikahan ini diatur kakek kami. Sebelum meninggal, kakekku bilang, apapun yang terjadi, jangan ninggalin keluarga Ningrum.”
Saat itu, dia bener-bener ngerasa bingung dan nggak tahu harus ngapain.
“Emang mereka nggak tahu kamu jago soal medis?”
“Nggak, aku nggak pernah bilang,” jawab Rama pelan.
“Kenapa nggak jujur aja sih? Kalau mereka tahu, mungkin pandangannya ke kamu berubah...”
“Justru itu masalahnya. Kalau tahu, aku bakal dianggap kayak mesin pencetak uang. Ujung-ujungnya malah makin tersiksa.”
“Jadi kamu nggak mau cerai, tapi juga nggak bisa buka semuanya. Terus kamu mau gimana?” Sandra mengerutkan kening.
“Aku sendiri nggak tahu…”
“Ya udah, besok pura-pura aja nggak ada apa-apa. Santaiin aja. Siapa tahu nanti istrimu luluh juga.”
“Masalahnya dia malah minta aku yang ajukan cerai, dan secepat mungkin.”
“Ya udah, kamu nginep sini aja. Minum terakhir, terus istirahat. Pejam mata, tidur yang nyenyak.”
“Kayaknya bisa juga tuh,” kata Rama, senyum kecil.
“Yuk, main suit. Batu, gunting, kertas. Yang kalah, minum!”
“Deal!”
Mereka pun main sambil ketawa-ketiwi, dan minum tanpa mikir panjang. Nggak lama, giliran Sandra yang mulai curhat soal masalahnya sendiri.
Karena sesi minum itu, hubungan mereka makin dekat. Malam itu ditutup dengan tawa, obrolan yang tulus, dan... genggaman tangan yang hangat.
Dua jam kemudian, mereka udah pingsan bareng di sofa, tertidur dalam pelukan satu sama lain.
Besok paginya, Rama bangun dan hal pertama yang dia lihat adalah Sandra yang masih tertidur di pelukannya. Wajah Sandra kelihatan cantik banget, polos dan tenang.
Rama langsung kaget, buru-buru ngecek bajunya. Setelah yakin semuanya masih lengkap dan aman, dia pun hembuskan napas lega.
Pelan-pelan, dia lepas tangan Sandra dari lehernya, bangkit pelan-pelan biar nggak ganggu, terus bersih-bersih diri. Sebelum pergi, dia sempetin buat nutupin tubuh Sandra pakai selimut. Cewek itu masih kelihatan tidur pulas.
Padahal aslinya, Sandra udah bangun duluan. Dia tahu semua gerak-gerik Rama dari tadi.
Dia peluk selimutnya erat sambil senyum tipis, “Punya cowok sebaik itu buat diri sendiri pasti asyik banget, ya…”
Sementara itu, Rama lihat jam udah jam sembilan pagi.
Kalau sesuai rencana, harusnya sekarang Ayu udah ada di kantor catatan sipil.
Rama sempat mikir-mikir mau nelepon atau enggak, eh tiba-tiba HP-nya bunyi.
Nama yang muncul: Ayu.
Langsung aja dia angkat.
“Kamu kemana aja semalem? Enak-enakan sama cewek lain sampe lupa jalan pulang, ya?” Suara Ayu dingin banget.
Rama refleks celingak-celinguk, dan... dia lihat Ayu lagi berdiri di gerbang Villa Keluarga Ningrum, dari kejauhan, matanya tajam ngeliatin dia.
“Ayu, sumpah ini nggak kayak yang kamu pikirin, aku bisa jelasin...”
“Datang ke sini. Kita ngomong langsung.”
Ayu langsung matiin telponnya.
Rama nggak nyangka Ayu bisa tahu soal semalem. Tapi dia curiga, mungkin Ayu lihat dia pulang bareng Sandra kemarin.
Wah, salah paham ini udah makin parah. Tapi ya udah lah, harus dihadapi.
Tanpa banyak mikir lagi, Rama langsung jalan ke arah Ayu.
Begitu sampai, Ayu ngangkat tangan dan... plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Rama.
“Brengsek! Kamu selingkuh ya?!”
"Aku nggak selingkuh."
"Kamu masih aja bohong!" Mata Ayu memerah, air matanya jatuh satu per satu. "Kemarin aku lihat kamu bareng cewek. Kenapa sih kamu tega banget sama aku?"
Melihat Ayu yang bereaksi segitunya, Rama bukannya marah walaupun barusan ditampar, dia malah senyum tipis. "Kamu cemburu ya?"
"Cemburu? Ngapain juga aku cemburu?! Aku bisa ngebunuh kamu sekarang juga!"
Ayu angkat tangannya lagi, siap menampar.
Tapi kali ini, Rama langsung nangkep tangan itu.
"Ayu, kita udah nikah lebih dari setahun. Ironis banget nggak sih? Pertama kalinya aku megang tangan kamu, malah buat nahan tamparan. Menurut kamu, itu nggak ironis?"
Tatapan Rama jadi serius, langsung nembus ke mata Ayu.
Ayu kelihatan gemetar, tapi dia tetap maksa ngomong walaupun mukanya udah kelihatan bersalah, "Dari awal kan udah aku bilang, kita nikah cuma formalitas. Nggak bakal ada pegang tangan, nggak ada pelukan. Nanti pas waktunya, kita cerai. Kamu juga setuju, kan?"
"Iya, aku setuju," jawab Rama pelan. "Tapi masalahnya, aku nggak bisa nahan perasaan ini. Aku jatuh cinta sama kamu."
"Rama! Kamu tuh munafik banget! Kalau emang bener-bener sayang sama aku, kenapa kamu malah nginep sama cewek lain? Kamu pikir ini semua nggak nyakitin aku?!"
Ayu langsung ngelepas tangan Rama dengan kasar. Wajahnya merah padam, marah banget. Api di matanya makin besar, makin panas.