Tak pernah terpikirkan bagi Owen jika dirinya akan menikah dengan selebgram bar-bar semacam Tessa. Bahkan di sini dialah yang memaksa Tessa agar mau menikahinya. Semua ia lakukan hanya agar Tessa membatalkan niatnya untuk menggugurkan kandungannya.
Setelah keduanya menikah, Tessa akhirnya melahirkan seorang putri yang mereka beri nama Ayasya. Kehadiran Ayasya, perlahan-lahan menghilangkan percekcokan yang awalnya sering terjadi di antara Tessa dan Owen. Kemudian menumbuhkan benih-benih cinta di antara keduanya.
Empat tahun telah berlalu, satu rahasia besar akhirnya terungkap. Seorang pria tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayah biologis Ayasya.
Bagaimana kelanjutan rumah tangga Owen dan Tessa?
Apakah Ayasya akan lebih memilih pria yang mengaku sebagai ayah biologisnya dibanding Owen, ayah yang merawatnya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShasaVinta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Mengambil Hak
“Uhuk … uhuk ….”
Tessa tersedak puding karamel yang sedang ia makan, sesaat setelah mendengar pertanyaan atau bisa jadi sebuah permintaan dari suaminya.
Dengan menahan tawanya, Owen menyodorkan gelas berisi air ke arah Tessa. “Minumlah, tapi pelan-pelan,” ucapnya.
Tanpa melirik ke arah Owen, Tessa meneguk air pemberian suaminya. “Terima kasih,” ucap Tessa.
Tessa masih bungkam, masih memikirkan apakah sahabatnya sekarang punya kemampuan menerawang masa depan. Mengapa tebakan Sea tepat sekali, pikir Tessa.
“Tes,” panggil Owen.
Seketika kedua netra Tessa membulat. Tubuhnya menegang dan tiba-tiba saja ia lupa caranya berkedip. Bukan, bukan karena panggilan Owen. Tapi karena satu tangan suaminya itu kini sedang menggenggam satu tangannya.
“Tes,” ulang Owen.
Tak sekedar menggenggam, Owen kini mengusap lembut punggung tangan Tessa hingga membuat sekujur tubuh Tessa meremang.
Aku mengenal rasa ini, batin Tessa.
Refleks, Tessa menarik tangannya dan mengejutkan Owen. “Ya, ke-kenapa?”
“Apa kamu tak mau kita … hem … ki-ta ….” Owen menggantungkan ucapannya.
“Kita apa?” desak Tessa.
Karena mulai gugup Owen lantas meraih gelas yang sebelumnya telah digunakan Tessa. Melihat itu tanpa sadar Tessa menyentuh bibirnya sendiri, manakala Owen ikut menegak air dari gelas yang sama dengannya.
“Ka-mu menciumku.” Meski ucapan Tessa lirih, namun Owen masih bisa mendengarnya. Kini gantian Owen yang tersedak karenanya.
“Uhuk … uhuk ….” Owen terbatuk-batuk untuk menormalkan dirinya.
“Aku belum mulai, Tes. Bagaimana bisa aku menciummu?” elak Owen.
“Tapi ge-gelas itu,” Tessa yang sadar jika ucapannya mulai asal lalu menggelengkan kepalanya.
“Maaf, maaf, aku asal bicara,” ucapnya panik. “Aku sudah kenyang, kita akhiri saja makan malam ini.”
Owen yang tak ingin semuanya berakhir, segera mencari alasan. “Tapi aku belum menyentuh pudingku sama sekali,” ucapnya.
“Hah, menyentuh? Apa yang belum kamu sentuh, Bang?!” Setelah mengatakan itu, Tessa membungkam bibirnya dengan kedua telapak tangannya. Salahkan bibirnya yang begitu mudah berucap tanpa memikirkannya lebih dulu.
Owen sudah ingin tertawa, namun melihat wajah istrinya yang memerah membuat Owen menahan tawanya. “Puding, Tes. Aku belum menyentuh puding yang lembut ini,” lanjutnya.
“Bang!” Pekik Tessa yang sadar jika Owen sedang menjahilinya. “Yang namanya makanan itu dicicipi, bukan disentuh.”
“Lalu yang disentuh apa, Tes?” tanya Owen lagi. Yang awalnya tak ada niat, kini Owen menjadi tertarik untuk menjahili istrinya. Melihat Tessa yang salah tingkah, sungguh menarik di mata Owen.
“Yang disentuh?” Tessa nampak berpikir sejenak, kemudian memasang wajah cemberut pada Owen.
“Bang Owen!” Pekiknya menyadari jika ia kembali terkecoh.
Tak tahan lagi, akhirnya tawa Owen pecah. Tessa yang semakin salah tingkah sontak berdiri. “Karena aku yang menyiapkan makan malam, maka tugas Bang Owen yang membersihkan mejanya,” ucap Tessa kemudian bergegas menuju kamar tidur mereka.
Owen masih terus saja tertawa. “Baiklah, aku yang akan merapikan ini semua. Tapi … setelah aku menyentuh pudingku, ya.” Sengaja Owen menjawab dengan menaikkan volume suaranya agar Tessa yang berjalan menjauh masih bisa mendengar ucapannya.
...…...
Di dalam kamar, Tessa terduduk di kursi meja riasnya. Tangannya ia letakkan di dada guna mengetahui seberapa cepat jantungnya berdetak saat ini. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” gumam Tessa.
Bisa ia rasakan jika kini tangan dan kakinya semakin dingin. “Mengapa aku gugup? Ada apa denganku? Sekalipun Owen ingin meminta haknya, apa yang harus kutakutkan?” imbuhnya.
Tessa masih bergeming. Pandangannya tertuju pada cermin di hadapannya namun pikirannya menerawang entah ke mana. Ibunda dari Ayasya bahkan tak menyadari jika suaminya sudah ikut masuk ke kamar dan berdiri tepat di belakangnya.
“Tes,” panggil Owen lembut seraya menyentuh salah satu pundak istrinya.
Tessa terperanjat, ia sontak berdiri lalu berbalik menghadap Owen. Sayangnya jarak keduanya yang terlalu dekat membuat Tessa bisa merasakan embusan hangat napas Owen.
“Bang, ngagetin aku saja. Kenapa nggak ketuk pintu dulu kalau masuk ke kamar orang sih!” omel Tessa.
“Tapi ini kan kamar aku juga, Tes,” jawab Owen.
“Eh iya, bener juga,” celetuk Tessa. Kedua pipi Tessa merona menahan malu. Hal itu tentu saja membuat Owen tertawa terbahak-bahak.
Menyadari jika tawa Owen bisa saja mengusik tidur putrinya, sontak Tessa menutup mulut Owen dengan kedua tangannya. Tanpa Tessa sadari, ia telah mengikis lagi jarak antara keduanya. Tubuh keduanya nyaris tak berjarak, Owen bisa merasakan dada Tessa yang menyentuh dadanya.
Degupan jantung keduanya memacu, lalu secara naluriah Owen melingkarkan tangannya di pinggang Tessa. Memeluk istrinya kemudian menarik pinggang ramping itu agar semakin mendekat padanya.
Saat kedua netra mereka bertemu, Tessa perlahan memindahkan tangannya. Yang semula berada di depan bibir Owen, kini kedua tangan itu telah mengalung di leher pria gagah yang sedang memeluknya.
“Tessa Stephanie, Bunda Ayasya Putri Swan. Malam ini, aku akan mengambil hakku sebagai suamimu. Akan kutunaikan kewajiban yang telah lama ku abaikan,” ucap Owen dengan suara seraknya menahan gejolak tak tertahankan, terutama di bagian bawah tubuhnya.
“Namun aku menghormati keputusanmu. Aku ingin apa yang akan terjadi malam ini tanpa paksaan,” lanjutnya.
“Jadi, apakah kamu bersedia memberikan hakku sebagai suamimu malam ini?” tanya Owen.
Tessa akui dirinya gugup. Sangat gugup hingga dirinya rasa ia bisa saja limbung seandainya melepaskan pegangan pada leher Owen. “Aku bersedia. Maafkan aku jika membuatmu tersiksa cukup lama.”
Sesaat sebelum menutup kedua netranya, Tessa bisa melihat senyuman di bibir Owen. Bibir yang kini menyentuh bibirnya dengan lembut. Cukup lama Owen bertahan dengan ciuman yang seperti saat ini. Tessa mulai khawatir, andai saja Owen tiba-tiba berubah pikiran.
“Manis,” bisik Owen.
Lalu usapan ibu jari Owen di bibirnya, membuat sesak dada Tessa. “Aku suka. Bibir ini milikku,” lanjut Owen masih berbisik hingga embusan napasnya membuat tubuh Tessa meremang.
Tessa semakin mempererat pelukannya, saat ia rasa tubuhnya melayang. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang suami yang sebentar lagi akan menguasai jiwa dan raganya.
Perlahan Owen membaringkan Tessa di atas tempat tidur. Entah dari mana ia belajar, yang pasti pria itu juga heran, bagaimana bisa ia dengan lincahnya melucuti pakaian istrinya hingga kini keduanya sama-sama polos tanpa busana.
Setelah dalam posisi mengungkung tubuh istrinya, Owen kembali menatap wajah cantik Tessa. Wajah yang tiap malam ia pandangi, bahkan terkadang menghantuinya dalam mimpi.
“Tes … aku mulai, ya.” Owen mengecup kening Tessa, saat wanita itu mengangguk.
“Pelankan suaramu, ya. Aya bisa saja terbangun,” peringat Owen.
“Tentu saja, lagian untuk apa aku berte-“
“Aaauuuhhhhh,” pekik Tessa bahkan sebelum ia menyelesaikan ucapannya.
...…...
Pagi yang jauh lebih hangat dirasakan oleh sepasang suami istri yang masih nyaman berpelukan di atas tempat tidur. Rasanya enggan untuk membuka mata, seandainya tak ada celotehan yang tak asing yang terdengar oleh keduanya.
“A-yah … Un-da ….”
“A-yah… Un-da ….”
“Eeuunngghh ….” Tessa memaksa untuk membuka kedua netranya. Senyumnya mengembang saat yang pertama kali dilihatnya adalah dada bidang suaminya.
“A-yah… Un-da ….”
Kening Tessa mengernyit, suara itu … panggilan itu ….
“Astaga, Ayasya!”
...———————...
nawra wanita licik, ben..
wah alfio serius kamu suka ama qanita aunty dari putri mu, takdir cinta seseorang ga ada yang tau sih ya.
kak shasa setelah ini kasih bonchap kak pengen tau momen tessa melahirkan anak kedua nya, pengen tau raut bahagia dari owen, aya dan semua menyambut kelahiran adik nya aya...