Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadia Dipermalukan!!!
Secara teori, rapat briefing tujuh puluh dua jam mestinya memberi cukup waktu bagi setiap petugas untuk mengusut kasus, tapi kemudian akan segera disadari bahwa petunjuknya masih terlalu dini.
Jadilah, di senin pagi itu, di ruang konferensi lantai dua, tim pemberantas kejahatan pimpinan sang Detektif gigih Sofia Ramirez berkumpul sekali lagi untuk rapat kedua.
Aku ikut bergabung.
Sayangnya, ada seseorang yang tidak setuju aku ada disini.
"Mau apa kamu di sini?" Dengus Sersan Daniel.
Ada aura kebuasan dan darah dingin yang tentunya sangat berguna untuk orang dengan hobi sepertiku.
Sayang sekali kami tidak bisa berteman. Entah kenapa dia membenci semua teknisi lab, khususnya terhadapku. Aku. Kebetulan dia juga memegang rekor angkat besi seantero Departemen of Occult Investigation.
"Saya mampir untuk ikut mendengarkan, Sersan." Jawabku ramah.
"Tidak ada hak kamu berada di sini. Keluar sana!" Ketus Daniel.
"Dia boleh tinggal, Sersan." Sela Sofia.
Daniel mengalihkan cemberut ke arahnya. "Untuk apa?"
"Saya tidak ingin jadi pengganggu." Aku berkata, berlagak beringsut ke pintu.
"Tidak apa-apa, Dante. Kamu tetap di sini." Kata Sofia.
"Orang ini bikin aku merinding." Geram Daniel.
Manusia pasti tersinggung, tapi aku malah menghargai kualitas internal Daniel. Aku lebih dari mengerti soal reaksi negatif orang terhadapku.
Yang aku tanyakan adalah dari sekian banyak polisi di ruangan ini, kenapa hanya Daniel yang cukup punya insting untuk merinding menerima kehadiranku.
"Ayo kita mulai," ujar Sofia.
Daniel tenggelam di kursi sambil melepas pandangan sengit padaku sebelum kembali serius.
Bagian pertama pertemuan berkisar rutinitas seperti laporan dan hal-hal umum yang membuat kita jadi manusia. Sofia memberi arahan pada petugas humas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dirilis ke pers.
Hampir satu jam sebelum tiba pembahasan kasus. Sofia meminta laporan progres tentang usaha menemukan saksi misteriusnya. Tidak ada yang mengacung tangan. Aku berusaha keras memasang wajah kaget.
Wajah Sofia mengernyit tidak suka. "Ayolah, masa tidak ada satu orang pun yang dapat?"
Nadia berdeham. "Saya punya ide... sedikit beda dengan yang sudah ada. Mencoba mengarahkan penyelidikan ke arah lain." Caranya berucap seolah-olah menyatakan pertanyaan.
Sudah susah payah diajari, masih juga tidak mampu menampilkan kewajaran sikap berdiplomasi. Tapi setidaknya dia mematuhi saranku untuk berhati-hati mengutarakan kalimat.
Sofia mengangkat sebelah alis. "Sebuah gagasan? Benarkah? Silahkan, kalau begitu. Beritahu pada kami, Ein... maksud saya Nadia."
Daniel terkekeh. Baik hati sekali.
Nadia tersipu, tapi tidak peduli. "Perihal... kristalisasi sel. Pada korban terakhir. Saya ingin memastikan apakah ada laporan pencurian truk bermuatan pendingin selama seminggu terakhir."
Ruangan mendadak sunyi. Semua diam seperti orang bodoh. Tidak ada yang menangkap maksud Nadia.
Ini segera dimanfaatkan sofia, dengan berlagak bingung menatap sekeliling ruangan seolah memastikan apakah ada yang mengerti maksud gagasan barusan, lalu menatap sopan pada Nadine.
"Truk... berpendingin?" Ujar Sofia.
"Benar." Dia mengangguk. Nadia mati gaya sekarang. Kasihan sekali. Dia memang tidak pernah suka bicara di muka publik.
"Mm-hmm." Kata Sofia berlagak tidak paham.
Giliranku berdeham. Memberi kode memanggil. Tidak berhasil? Aku coba batuk-batuk. Cukup keras untuk mengingatkan Nadia agar tetap tenang. Dia menatapku. Sofia juga.
"Maaf. Saya kedinginan. Mungkin kena flu." Aku berkata.
Coba... apa aku kurang pantas disebut kakak yang baik?
"Oh, ya... dingin. Kendaraan berpendingin akan sangat mungkin menyebabkan kerusakan jaringan seperti itu. Apalagi juga praktis, selalu bergerak. Jadi lebih sulit di tangkap. Plus lebih mudah membuang mayat. Jadi... jika ada yang dicuri, maksud saya truk... berpendingin... mungkin bisa memberi kita petunjuk."
Garis besar sudah dipaparkan. Setidaknya ide ini sudah dilontarkan. Tinggal menunggu satu dua kerutan cerdas dari peserta lain. Hampir bisa aku dengar otak mereka bekerja.
Tapi sofia kembali beraksi. Dia mengangguk.
"Itu gagasan yang sangat... menarik. Bagaimana pun, saya masih yakin peluang terbaik kita adalah dengan menemukan saksi. Kita tau pria itu ada di luar sana. Atau barangkali wanita. Yang jelas, pasti ada yang menemukan sesuatu. Kita tau itu berdasarkan bukti-bukti. Jadi mari berkonsentrasi ke situ. Untuk Nadia, saya akan sangat menghargai usaha Anda untuk terus berkomunikasi dengan kalangan pelacur. Mereka mempercayai Anda di sana."
Astaga, betapa lihainya Sofia. Dengan luwes mengalihkan semua orang dari kemungkinan mempertimbangkan gagasan Nadia.
Menaruh Nadia kembali ke posisi semula, sekaligus merebut dukungan tim lewat singgungan perihal persaingan dengan Kepolisian Daerah lain. Semua itu dilakukan dengan uraian sederhana. Aku nyaris refleks bertepuk.
Tapi jelas tidak bisa, karena aku berada di tim Nadia. Apa lagi dia baru saja digilas mentah-mentah. Tulang rahang Nadia bergemeletuk geram, lalu mundur teratur ke posisi netral.
Usaha yang bagus, tapi jelas belum sekelas Sofia.
Sisa pertemuan berjalan tumpul. Tidak ada yang patut dibicarakan lagi. Tidak lama setelah penampilan gemilang Sofia, rapat dibubarkan. Kami kembali menuju tempat kerja masing-masing.
"Jalang sialan. Berengsek!" Umpat Nadia menahan geram.
"Setuju, Nad." Anggukanku membela.
Dia malah melotot. "Makasih banyak, Dan. Kamu membantu sekali."
Ku angkat sebelah alis. "Bukannya kita sudah setuju kalau aku tidak akan ikut campur? Biar semua pujian buat kamu?"
Nadia semakin blingsatan. "Pujian apa?! Dia bikin aku jadi seperti idiot begitu."
"Dengan segala hormat, Adikku tersayang, itu kan salah kamu juga. Kurang menyeluruh."
Nadia menatap, melengos, melempar tangan ke udara penuh jijik. "Aku mesti bilang apa? Aku bahkan tidak masuk tim. Aku di sini hanya karena Kapten memberiku izin untuk ikut menangani kasus ini. "
"Plus, dia juga tidak bilang bahwa mereka harus mendengarkanmu," imbuhku prihatin.
"Memang tidak. Dan tidak akan, " ujar Nadia pahit. "Jika tidak pindah ke Bagian Pembunuhan, karierku bakal mati. Aku bakal tua di bagian asusila, Dante."
"Ada jalan keluar, Nad."
Nadia melirik, meski harapannya tinggal sepertiga. "Apa?"
Aku tersenyum. "Temukan truk itu."
***
Tiga hari berlalu sebelum aku dengar kabar dari Nadia. Aku heran juga dia bisa tahan selama itu tidak berbicara denganku. Dia baru mampir ke ruang kantorku setelah makan siang di hari kamis. Wajahnya masih cemberut.
"Aku menemukannya," katanya. Aku sungguh tak tahu apa maksudnya.
"Menemukan apa, Nad?" Tanyaku sabar. "Telaga cemberut?"
"Truk itu," tugas Nadia. "Truk berpendingin."
"Itu berita bagus, kan? Lalu kenapa wajahmu seperti mau menampar orang begitu?"
"Karena memang sedang kesal," ketusnya lagi sambil menghempaskan empat atau lima halaman dokumen berjepit kawat. "Lihat ini."
Aku ambil dan kulirik sekilas halaman depan, paling atas. "Oh," Aku mengerti. "Beberapa jumlah totalnya?"
"Dua puluh tiga," jawab Nadia. "Dalam sebulan terakhir, dua puluh tiga Truk berpendingin di laporkan di curi. Orang Bagian lalu lintas bilang kebanyakan Truk itu berakhir di kanal, di bakar demi uang asuransi. Tanpa ada yang menuntut berlebihan minta di Temukan. Jadi tidak ada penekanan juga di instansi terkait."
"Selamat datang di Shadowfall City, " Aku berkomentar.
Nadia mendesah capek, mengambil daftar dari tanganku. Dia lalu ambruk di kursi satu lagi seperti orang kehilangan tulang.
"Tidak mungkin aku mengecek semua sendirian," Keluh Nadia. "Bakal waktu berbulan-bulan. Ya ampun, Dante." Wajahnya memelas. "Kita harus bagaimana sekarang?"
Aku menggeleng. "Maaf, Nad," ujarku tulus. "Saat ini tidak ada cara lain kecuali menunggu."
"Hanya itu? Menunggu?"
"Itu saja, " tegasku.
Dan ternyata memang benar. Hanya dua minggu kami menunggu.
Lalu...
***
Aku terbangun bermandikan keringat. Tidak pasti sedang berada di mana, tapi sangat yakin bahwa Pembunuhan berikutnya tengah menjelang. Di suatu tempat yang tidak terlalu jauh, dia sedang mencari korban baru. Meluncur keliling kota bak hiu yang mengelilingi terumbu karang.
Aku begitu yakin nyaris mendengar derit plester ditarik. Dia ada di luar sana. Dalam tidur aku serasa berkendara bersamanya, seperti ikan hiu hantu berputar berkeliling dalam lingkaran besar.
Aku duduk di tepi ranjang. Selimut dan seprei berantakan tak karuan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan jam tiga lewat empat belas pagi. Baru empat jam tidur, badan Serasa habis diseret keliling hutan memanggul piano. Keringat berlelehan, tulang kaku, otak bebal. Sama sekali tidak mampu berpikir lurus selain keyakinan soal firasat barusan. Dia di luar sana.
Aku tidak bisa tidur lagi. Kunyalakan lampu. Tanganku basah dan gemetar. Kuusap di seprai, tapi tidak membantu. Sepreinya juga basah. Aku terhuyung-huyung ke kamar mandi hendak cuci tanganku di bawah kucuran air hangat keran.
Sekejap, mataku melihat tangan itu lengket oleh darah, sampai airnya memerah. Hanya sedikit, di keremangan lampu. Air kerannya juga berwarna merah darah.
Aku memejamkan mata.
Dunia bergoyang.