"Persahabatan adalah ikatan yang tak terpisahkan, hingga cinta datang dan menjadikannya sebuah pilihan."
Kisah ini berputar di sekitar dinamika yang rapuh antara dua sahabat karib yang datang dari kutub kehidupan yang berbeda.
Gabriella, gadis kaya raya dengan senyum semanis madu, hidup dalam istana marmer dan kemewahan yang tak terbatas. Namun, di balik sampul kehidupannya yang sempurna, ia mendambakan seseorang yang mencintainya tulus, bukan karena hartanya.
Aluna, gadis tangguh dengan semangat baja. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, berjuang keras membiayai kuliahnya dengan bekerja serabutan. Aluna melihat dunia dengan kejujuran yang polos.
Persahabatan antara Gabriella dan Aluna adalah keajaiban yang tak terduga
Namun, ketika cinta datang mengubah segalanya
Tanpa disadari, kedua hati sahabat ini jatuh pada pandangan yang sama.
Kisah ini adalah drama emosional tentang kelas sosial, pengorbanan, dan keputusan terberat di antara cinta pertama dan ikatan persahabatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JM. adhisty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BEBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Di tempat parkir kampus, Yoga menyalakan motornya. Matanya yang tajam sempat menangkap bayangan Aluna yang berjalan menjauh dari halte bus utama, menuju gang tersembunyi. Ia ingat betul wajah Aluna yang memohon saat menolak ajakan Gabriella dan Axel, mengatakan itu adalah "urusan pribadi yang mendesak."
Meskipun naluri protektifnya mendesak untuk mengikuti Aluna.
Tapi Yoga memilih untuk menghormati batasan Aluna.
"Aku tidak akan menjadi bagian dari masalahnya." Batin Yoga.
Ia memutuskan, jika Aluna tidak ingin urusannya diketahui, ia tidak akan mengintip. Ia tidak ingin merusak kepercayaan yang bahkan belum terbangun. Ia percaya, Aluna adalah gadis yang kuat dan bisa menjaga dirinya sendiri.
Yoga mengalihkan pandangannya, menekan helmnya, dan bergabung dengan Jhonatan, Kevin, Jay, Axel, dan Gabriella yang sudah siap melaju.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di rooftop Markas, menikmati pemandangan kota di sore hari. Namun, suasana hari itu lebih serius.
Jhonatan, menyesap scotch mahalnya. "Sekarang, mari kita bicara soal urusan keluarga, Gaby."
"Gaby, kamu harus mulai serius memikirkan kuliahmu," ujar Jhonatan, meletakkan minuman .
"Pernikahan Bang Arjuna tinggal sebulan lagi. Setelah itu, tekanan pada kamu akan semakin besar."
Gabriella langsung merosot di sofanya. Topik ini jauh lebih berat daripada bullying atau status sosial.
"Memangnya kenapa? Itu urusan bisnis yang diselimuti sutra."
ia mendesah lelah. "Aku tahu, Jhonatan. Ayah sudah mulai menuntutku untuk menghadiri rapat dewan setiap minggu. Rasanya seperti bukan lagi menjadi mahasiswa, tapi seorang trainee direktur."
Kevin tersenyum sinis. "Justru itu. Pernikahan Bang Arjuna dan Dokter Alana adalah puncak aliansi. Itu artinya, tanggung jawabmu akan semakin berat. Ayahmu akan segera mulai membentukmu untuk masuk ke dewan direksi. Tidak ada lagi waktu untuk drama remaja, Gaby"
"Kevin benar," timpal Jay.
"Kau akan segera menjadi The Heiress yang sebenarnya. Seminggu setelah pernikahan Arjuna, tekanan padamu akan berlipat ganda."
Gabriella merasakan napasnya tertahan. Inilah inti masalahnya. Pernikahan Arjuna adalah penanda bahwa masa bebasnya akan segera berakhir.
Axel, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. Tatapannya lurus dan penuh perhatian
"Kamu baik-baik saja, Gaby?" tanya Axel lembut.
"Sejak pertunangan mereka diumumkan, kamu terlihat... stres. Pernikahan itu seharusnya berita bahagia."
"Bahagia untuk banh Arjuna, bukan untukku!" sembur Gabriella, suaranya sedikit bergetar.
"Bang Arjuna mendapatkan apa yang dia inginkan—cinta pertamanya, yang juga seorang dokter brilian—sementara aku? Aku hanya dipersiapkan untuk menjadi boneka di dewan direksi."
Air mata mulai menggenang di mata Gabriella, sebuah pemandangan langka yang membuat seluruh geng terdiam.
"Aku melihat Bang Arjuna bahagia dengan kak Alana, Axel. Mereka tulus. Itu membuatku menyadari, aku tidak ingin pernikahan yang diatur, aku ingin cinta yang tulus. Aku ingin merasa nyata,"
Ia melirik Axel, berharap pria itu akhirnya mengerti perasaan yang sudah lama ia sembunyikan—bahwa Axel adalah cinta tulus yang ia inginkan.
Di sudut ruangan, Yoga menyilangkan tangannya. Ia memahami perasaan Gabriella. Di balik kekayaan, ia melihat kesepian yang sama, sebuah kehausan akan sesuatu yang nyata.
Namun, yang Yoga pahami jauh lebih dalam adalah Axel.
Yoga tahu, lebih dari siapa pun di ruangan itu, Axel mencintai Gabriella. Yoga sudah melihat Axel merobek sketsa sempurna wajah Gabriella hanya karena ia takut Ayahnya menemukan itu. Yoga tahu alasan Axel menjaga jarak; ia tidak ingin menjadi bagian dari transaksi status Gabriella berikutnya.
Axel hanya membalas tatapan Gabriella dengan ekspresi berpikir keras. Di satu sisi, ia ingin memeluk Gabriella dan mengatakan bahwa perasaannya tulus. Di sisi lain, melihat bagaimana Arjuna mendapatkan "kebahagiaan yang ditakdirkan," Axel takut cintanya hanya akan menjadi alat bagi Gabriella untuk memberontak, atau lebih buruk, menambah tekanan keharusan dalam hidupnya.
"Semua akan baik-baik saja, Gaby," kata Axel, memilih kata-kata paling netral. "Kamu tidak harus menikah seperti Arjuna. Kamu masih punya waktu. Tapi jangan mencari 'ketulusan' di tempat yang salah. Jadilah dirimu sendiri."
Kata-kata Axel yang netral itu menusuk hati Gabriella. Ia merasa Axel tidak memahaminya, atau bahkan lebih buruk, tidak menginginkannya.
Yoga duduk di pinggiran, diam mengamati percakapan. Ia mendengar kekhawatiran Gaby tentang masa depan yang terkekang, dan ia melihat tekanan yang dirasakan oleh Axel untuk selalu bersikap logis. Ia bersyukur, ia memilih untuk tidak mengganggu Aluna.
Yoga percaya, di tengah semua kemewahan dan tekanan ini, Aluna adalah satu-satunya orang yang benar-benar bebas—bebas karena ia tidak memiliki apa pun untuk dipertaruhkan selain harga dirinya. Yoga memutuskan, ia akan tetap menjadi perisai bagi gadis itu.
Percakapan di Markas itu mengukuhkan beban masa depan Gabriella, menguatkan kekaguman Axel padanya, dan secara diam-diam, memberikan alasan bagi Yoga untuk semakin melindungi Aluna.
. ....
Pukul 00.30 dini hari.
Aluna membuka pintu kontrakan dengan sangat hati-hati. Aroma sabun dan kayu manis dari kafe mewah tempatnya bekerja masih menempel samar di seragam kerjanya. Badannya terasa remuk, setiap langkahnya adalah perjuangan setelah berjam-jam berdiri.
Ia melangkah masuk, dan kelegaan langsung menyergapnya. Rumah itu bersih. Lantai sudah disapu dan dipel. Piring-piring di dapur sudah ditumpuk rapi di rak. Justin benar-benar menepati janjinya.
Aluna berjalan ke kamar Justin. Adiknya tertidur pulas, wajahnya yang damai menenggelamkan semua kekhawatiran Aluna. Ia mematikan lampu kamar, lalu mencium kening adiknya dengan lembut.
"Aku harus kuat demi dia". Batin Aluna.
Aluna berjalan ke meja kecil di ruang tamu, tempat mereka menyimpan beberapa barang berharga. Matanya tertuju pada sebuah figura foto kecil yang berisi gambar Ayah dan Ibunya yang tersenyum ceria, diambil saat mereka masih lengkap dan bahagia.
Aluna duduk di kursi, mengamati senyum kedua orang tuanya di bawah cahaya lampu redup. Rasa rindu dan tekad berbaur menjadi satu.
"Ayah, Ibu..." bisik Aluna, suaranya parau karena kelelahan, dan juga oleh air mata yang ia tahan sepanjang hari.
"Aku tahu kalian berdua mengkhawatirkan kami dari sana. Tapi lihat, Justin sudah besar. Dia sudah bisa menjaga rumah kita. Dia anak yang baik, dan dia sangat pintar."
Aluna melepaskan celemek kerjanya, menyandarkan kepalanya ke tangan di atas meja.
"Aku minta maaf jika harus berbohong pada teman-temanku, Ayah. Aku tidak mau mereka tahu aku bekerja sebagai pelayan. Aku tidak ingin merusak persahabatan tulus yang baru kurasakan dengan Gabriella, dan aku tidak mau Axel... dia kasihan padaku."
Ia menegakkan tubuhnya, tatapannya kini berubah menjadi baja. "Tapi aku janji, Ayah, Ibu. Aku tidak akan menyerah. Tidak akan pernah."
"Aku akan membahagiakan Justin. Aku akan memastikan dia bisa meraih mimpinya. Dan aku akan meraih mimpiku sendiri. Aku akan lulus dari kampus itu, dan aku akan menjadi Koki yang sukses. Aku akan punya kafe sendiri, tempat aku tidak perlu takut ada yang menumpahkan air ke bukuku, dan tempat aku tidak perlu khawatir dengan uang sewa."
Aluna meraih figura foto itu dan memeluknya erat, mengambil kekuatan dari kehangatan masa lalu.
"Aku berjanji, kami akan keluar dari kesulitan ini. Aku akan sukses."
Setelah mengukuhkan janji sunyi itu, Aluna bangkit. Rasa lelahnya tergantikan oleh tekad yang membara. Ia tahu, esok pagi ia harus kembali ke Rajawali, mengenakan topeng mahasiswa yang ceria, siap menghadapi teman-teman elitnya, sambil menyembunyikan realitas kerasnya sebagai pekerja keras.