NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kabar pagi

Laras.

Nama yang menggema, suara familier yang menimbulkan gempa sunyi yang meretakkan fondasi delapan belas tahun pertahanannya.

Laras.

Waktu meregang dan menipis di antara mereka, setipis helai rambut yang siap putus. Dalam sepersekian detik yang terasa abadi itu, Angkasa melihat semuanya di mata wanita itu, kilat pengenalan yang tak terbantahkan, disusul gelombang panik yang berusaha ia sembunyikan di balik topeng keterkejutan, dan terakhir, yang paling menyakitkan, sebuah keputusan dingin yang dieksekusi dalam sekejap mata.

Wajah wanita paruh baya itu mengeras. Sorot matanya yang tadi sempat melebar kini kembali menjadi tatapan seorang asing yang terganggu.

Ia bahkan tidak repot-repot menerima dompet yang masih terulur di tangan Angkasa. Dengan satu gerakan cepat yang tampak terlatih, ia berdiri, menepuk-nepuk debu dari rok mahalnya, dan tanpa sepatah kata pun, berbalik.

Punggung itu. Punggung yang sama yang menjauh dari gerbang panti asuhan bertahun-tahun lalu.

Angkasa membeku, tangannya masih menggantung di udara, memegang dompet yang kini terasa seperti artefak dari kehidupan lain. Hatinya tidak hancur. Tidak ada lagi yang tersisa untuk dihancurkan. Yang ia rasakan adalah kehampaan yang luar biasa, seolah seseorang baru saja menyedot semua udara, semua harapan, semua sisa-sisa pertanyaan dari dalam dirinya, meninggalkan lubang hitam yang menganga.

Penolakan kedua ini, yang terjadi dalam kebisuan mutlak di tengah hiruk pikuk Jakarta, terasa jauh lebih kejam daripada yang pertama.

“Permisi, Bu! Dompet Anda!” seru seorang pejalan kaki lain yang melihat kejadian itu, Isa berjalan ke sisi Angkasa dan menatap wanita yang seolah tuli itu dengan aneh.

Laras tidak menoleh. Ia hanya mempercepat langkahnya, tumit sepatunya beradu dengan trotoar dalam irama yang tergesa-gesa, seolah melarikan diri dari wabah penyakit. Ia menghilang di tikungan jalan, ditelan oleh keramaian sore.

Angkasa perlahan menurunkan tangannya. Ia menatap dompet di genggamannya, lalu menaruhnya kembali di tumpukan barang-barang Laras yang berserakan. Ia tidak mengambilnya. Ia tidak ingin ada satu pun jejak wanita itu yang terbawa olehnya.

"Ibu itu budeg kali ya?" orang asing itu mengaruk kepala heran.

"Tak apa Pak, Saya ikuti ibu itu buat kembalikan ini."

Pria asing itu mengangguk dan pergi meninggalkan Angkasa.

Angkasa kemudian, kakinya bergerak. Bukan karena perintah otaknya, melainkan karena sebuah dorongan rasa yang sejak lama mengendap, sesuatu yang tak bisa ia lawan. Seperti satelit yang ditarik kembali ke orbit planetnya yang hilang, ia mulai berjalan, mengikuti arah ke mana Laras pergi. Ia menjaga jarak, bersembunyi di balik kerumunan, menjadi bayangan yang menguntit hantunya sendiri.

Ia melihat Laras berhenti di depan sebuah mobil sedan hitam mewah yang menunggunya di ujung jalan. Seorang sopir bergegas keluar dan membukakan pintu untuknya. Laras masuk tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Angkasa berhenti, napasnya tercekat. Mobil itu melaju dengan mulus, membelah kemacetan seolah jalanan itu miliknya.

Angkasa tidak tahu apa yang merasukinya. Ia menyetop sebuah ojek yang kebetulan lewat.

“Ikuti mobil sedan hitam di depan itu, Bang,” katanya dengan suara serak.

“Jangan sampai kehilangan jejak.”

“Siap, Mas!” sahut si Abang sambil memberikan helm pada customer nya.

Perjalanan itu adalah sebuah ziarah sunyi menuju masa lalu yang tidak pernah ia miliki. Mereka melewati jalan-jalan protokol yang ramai, lalu masuk ke sebuah kawasan perumahan yang hening dan megah. Setiap rumah adalah istana kecil yang dipagari tembok tinggi dan dijaga oleh petugas keamanan. Udara di sini terasa berbeda lebih bersih, lebih dingin, lebih eksklusif.

Mobil sedan mewah itu akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besi tempa raksasa. Di baliknya, berdiri sebuah rumah dua lantai dengan pilar-pilar besar dan taman yang terawat sempurna. Lampu-lampu taman yang hangat menerangi fasad bangunan yang megah itu, membuatnya tampak seperti sebuah potret dari majalah arsitektur.

Gerbang terbuka secara otomatis. Mobil itu masuk, lalu gerbang kembali menutup dengan suara mendesis yang final.

Angkasa meminta pengemudi ojek untuk berhenti di seberang jalan. Ia turun, membayar, dan berdiri di sana dalam remang senja, menatap benteng itu. Dengan dompet yang masih ia genggam erat.

Jadi, ini dia. Inilah istana yang dibangun di atas puing-puing kehidupannya. Ini adalah alasan di balik janji liburan yang tak pernah ditepati, di balik delapan belas tahun penantian yang sia-sia.

Ia melihat siluet Laras turun dari mobil. Dari kejauhan, ia melihat seorang gadis berlari keluar dari pintu utama. Mereka berpelukan. Sebuah adegan ibu dan anak yang begitu hangat, begitu ... begitu menyakitkannya.

Cukup.

Sebuah kesadaran yang tenang dan dingin menyelimuti Angkasa. Obsesi ini, kerinduan yang selama ini menjadi jangkar sekaligus beban dalam hidupnya, harus berakhir di sini, malam ini.

Wanita itu bukan lagi ibunya. Ia adalah Laras, seorang sosialita kaya raya, ibu dari orang lain. Dan Angkasa? Angkasa hanyalah seorang barista dengan masa lalu kelam dan masa depan yang tak menentu. Jurang di antara mereka tidak akan pernah bisa dijembatani.

Ia berbalik, berjalan menjauh dari rumah itu tanpa menoleh lagi. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sedang meninggalkan sesuatu. Ia merasa sedang membebaskan dirinya sendiri.

.

.

.

.

.☀️✨✨✨

Keesokan paginya, Angkasa terbangun dengan perasaan aneh. Kekosongan di dadanya masih ada, tetapi tidak lagi terasa menyakitkan. Rasanya lebih seperti ruang kosong yang kini bisa ia isi dengan hal lain. Dengan dirinya sendiri.

Fokusnya kini hanya satu,surat rujukan di atas mejanya. Hantu dari masa lalu telah ia kubur; sekarang saatnya menghadapi monster yang mungkin tumbuh di dalam tubuhnya.

Ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur bergetar, layarnya menyala menampilkan nomor tak dikenal. Ia ragu sejenak sebelum menggeser ikon hijau.

“Halo?”

“Selamat pagi. Benar saya bicara dengan Bapak Angkasa Dirgantara?” Suara seorang wanita terdengar dari seberang.

“Iya, saya sendiri,” jawab Angkasa, jantungnya tiba-tiba berdebar sedikit lebih kencang.

“Saya Rina dari Klinik Sehat Sentosa, Pak. Saya menelepon atas instruksi dari Dokter Aris.”

Angkasa menelan ludah. Udara di dalam kamarnya yang pengap mendadak terasa berat.

“Oh, iya. Ada apa, ya?”

Ada jeda sejenak di ujung sana, seolah sang penelepon sedang memilih kata-kata yang tepat.

“Begini, Pak. Hasil tes darah komprehensif Bapak yang kemarin sudah keluar.”

“Lalu?” desak Angkasa, cengkeramannya pada ponsel mengerat.

“Hasilnya bagaimana?” Angkasa menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit.

“Dokter Aris ingin membahasnya secara langsung dengan Bapak,” jawab Rina, nadanya tetap datar, tetapi Angkasa bisa menangkap sesuatu di baliknya. Sesuatu yang berusaha keras disembunyikan.

“Saya bisa ke klinik sore ini,” kata Angkasa.

“Mohon maaf, Pak,” potong Rina cepat.

“Dokter Aris menyarankan Bapak untuk tidak menunda. Beliau meminta Bapak untuk datang ke rumah sakit yang tertera di surat rujukan sesegera mungkin. Kalau memungkinkan, hari ini juga.”

Rumah sakit. Bukan klinik. Alarm di kepala Angkasa berbunyi nyaring.

“Kenapa harus secepat itu? Sebenarnya ada apa? Tolong beritahu saya sekarang,” desak Angkasa, tanpa sadar ia mencengkram kuat ponselnya.

“Sekali lagi mohon maaf, Pak. Saya tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan detail medis melalui telepon. Ini adalah prosedur,” kata Rina. Suaranya terdengar tenang tapi tetap aneh bagi Angkasa.

Rasa frustrasi dan ketakutan mulai menjalari Angkasa. Usapan kasar berkali-kali ia berikan pada wajahku, seolah mengusir sesuatu.

“Saya hanya ingin tahu, apakah hasilnya… buruk?”

Keheningan menggantung selama beberapa detik. Kali ini, saat Rina kembali berbicara, nada profesionalnya sedikit luntur, digantikan oleh secercah simpati yang tulus dan menakutkan.

“Pak Angkasa, saya benar-benar tidak bisa mengatakannya. Tapi, Dokter Aris menitipkan satu pesan…”

Angkasa menahan napas.

“Beliau sangat menyarankan… sebaiknya Bapak tidak datang sendirian.”

1
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
Puput Assyfa
aduh Laras bukan Gilang yg harus km tolong tp Angkasa, makin menyesakan saja🤧
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭,
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa km masih memikirkan kesembuhan Gilang disaat km juga berjuang, km ingin melakukan kebaikan sebelum menutup mata untuk selamanya Angkasa 😭😭
Puput Assyfa
gak kebayang gimn hancvrnya Lila klo hilangan Gilang dan Angkasa yg sama2 berjuang melawan sakit keras yg blm ada obatnya
cici cici
bagus thor🥳🥳🥳
Realrf: Terima kasih kak 😍😍
total 1 replies
Puput Assyfa
angkasa aq padamu 😭
Puput Assyfa
ketika dikasih harapan tp belum juga melakukannya udah dij4tuhkan kedasar jur4ng oleh harapan itu sendiri, sungguh miris nasib yg dialami angkasa
Puput Assyfa
setidaknya disisa hidup angkasa Dy tidak sendirian tp ada seseorang yg mencintainya dgn tulus
Puput Assyfa
Laras, mentang2 km udah kaya bisa seenaknya sama angkasa anakmu sendiri, ibu macam apa km ngomong seperti itu,tidak Taukah kamu angkasa sedang berjuang antara hidup dan m*ti dan tidak semua sesuatu bisa diselesaikan dgn uang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!