NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:620
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11: Sisi Lain Xion

Gery menatap Xion tajam-tajam, lalu mendekatkan dua jari ke matanya, lalu mengarah ke Xion. “Gue pantau lo.”

Semua kembali tertawa.

Tiny menegakkan badan, menyapu tawa di sekelilingnya dengan senyum canggung. Tapi di balik senyumnya, jelas terpancar rasa ingin menyelamatkan diri.

“Gue ke kamar dulu ya,” katanya sambil bangkit berdiri.

Beberapa langsung berseru, “Waduh, kabur dia!”

“Tiny, lo belum dapet giliran dare loh!”

“Eh, belum aman tuh! Bisa dipanggil balik!”

Tiny hanya melambaikan tangan cepat sambil berkata, “Nggak kuat mental gue! Kalian brutal semua!”

Lalu melenggang cepat keluar dari lingkaran permainan, tak peduli tawa-tawa yang masih meledak di belakangnya.

Xion hanya tersenyum kecil melihat punggung istrinya menjauh. Tapi ia tahu—itu bukan kabur. Itu bentuk Tiny menjaga dirinya sendiri. Dan baginya, itu sudah cukup bijak.

Di belakang, Gery masih belum puas.

“Woy! Belum selesai permainan nih! Nggak boleh ada yang mundur sepihak!”

Tapi Alicia langsung menarik lengannya. “Sssht. Udah, jangan dikejar. Kasian, mukanya udah merah banget tadi.”

Rez hanya geleng-geleng kepala, masih sambil menggandeng Layla. “Baru juga nikah. Udah diserbu sekeluarga. Untung nggak trauma tuh anak.”

Layla tertawa. “Nggak trauma, tapi mungkin jadi lebih cepat dewasa.”

Sementara itu, di dalam kamar, Tiny menutup pintu pelan.

Ia bersandar di baliknya, lalu tertawa kecil—akhirnya. Tertawa lepas, tanpa beban.

Tiny berjalan ke arah kasur dan berbaring di sana. Wajah ke bantal sambil menahan tawa—dan rasa malu yang masih menyisa.

“Kok jadi salting sih…” gumamnya lirih, tapi nadanya setengah frustasi. Lalu, dengan dramatis, ia berteriak dalam hati, “KENAPAA AKU JADI SALTING?!”

Tangannya memukul bantal, lalu memeluknya seperti boneka pelampiasan.

Ya, begitulah Tiny kalau sudah salting—lebay maksimal.

Padahal ini bukan pertama kalinya dia dekat dengan Xion. Mereka sudah saling kenal sejak beberapa tahun lalu—tapi entah kenapa, sekarang rasanya... beda.

Mungkin karena status? Atau mungkin karena... perasaan lama yang belum sepenuhnya hilang?

Tiny menghela napas panjang, lalu menatap langit-langit.

Matanya kosong sesaat, pikirannya menelusuri masa lalu—tepat saat ia masih SMA, saat pertama kali menaruh rasa pada Xion yang waktu itu masih mahasiswa perantau yang tampil dewasa, kalem, dan... terlalu karismatik bagi standar anak remaja sepertinya saat itu.

Tentu saja ia tak pernah bilang langsung.

Hanya Diva yang tahu.

Dan entahlah... mungkin Diva pernah membocorkan—atau tidak. Tapi dari sikap Xion... Tiny merasa Xion memang terlalu pintar bersikap tak tahu.

Lalu... mendadak, sebuah nama menyusup ke pikirannya.

Andika.

Tiny memejamkan mata. Ada denyut halus di dadanya—bukan rindu, lebih seperti luka yang belum kering benar.

Andika yang menghilang tiba-tiba, tanpa kabar. Tanpa pesan. Tanpa penjelasan.

Sekuat apapun ia mencoba memindahkan hatinya ke masa kini, kenangan tentang Andika masih seperti bayangan di cermin—tak bisa disentuh, tapi selalu ada.

Bagaimana kabar dia sekarang? Masih hidup? Masih sehat? Masih memikirkannya? Atau sudah benar-benar melupakan?

Tiny menggigit bibir bawahnya. Ia tahu—ia harus mulai mengikhlaskan. Tapi mengikhlaskan... bukan berarti berhenti bertanya.

Pintu kamar pelan-pelan diketuk. Suaranya tidak keras, tapi cukup jelas memecah lamunan Tiny yang masih menatap langit-langit dalam diam.

“Ganggu nggak?” suara itu terdengar—tenang, familiar.

Tiny cepat-cepat duduk, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Masuk aja.”

Pintu terbuka. Sosok Xion muncul di baliknya, dengan postur yang seperti biasa: tegak, kalem, dan tidak pernah terburu-buru. Tapi belum sempat Xion melangkah lebih dalam, terdengar langkah-langkah kecil tergopoh-gopoh di belakangnya.

Tiga bocah kecil melesat masuk dari balik tubuh Xion.

“TANTEE!”

Tiny sontak terkejut, lalu refleks tertawa lepas saat melihat siapa yang datang menyerbu kamarnya.

“Lho? Anak tante semua ngumpul di sini?” serunya sambil membuka tangan lebar.

Aneley, si gadis kecil berusia 3 tahun dengan rambut dicepol dua, langsung berlari menghampiri. Langkahnya cepat, nyaris membuat Xion terhuyung saat bocah itu melewatinya dengan kecepatan ‘kilat bocil’. Tangannya langsung menabrak pinggul Xion, membuat pria itu harus menahan keseimbangan sejenak.

Sedangkan dua bocah lainnya—Elvan dan Elvi—si kembar umur 1 tahun yang baru lancar berjalan, masuk belakangan dengan langkah tertatih-tatih. Tapi tawa mereka menggemaskan, dan Tiny segera mengulurkan tangan untuk menyambut mereka semua.

Seketika wajah Tiny berubah ceria.

Tiny tertawa lepas sambil memeluk Aneley yang sudah naik ke pangkuannya, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Elvi dan Elvan naik ke sisi kasur. Suasana kamar yang sebelumnya tenang kini berubah ramai—riuh dengan suara bocah-bocah kecil yang tertawa, berceloteh, dan berebut perhatian sang tante kesayangan.

Tiny memang punya daya tarik alami terhadap anak-anak. Caranya menggendong Elvi yang merengek minta digendong, caranya menyuapi potongan biskuit ke Aneley yang entah dari mana tiba-tiba membawa cemilan kecil—semua terlihat sangat luwes. Nyaman. Seolah ini sudah jadi bagian dari rutinitas hariannya.

Xion berdiri di dekat pintu, menyandarkan punggung ke kusen. Tangannya menyilang di dada, dan dari sorot matanya, jelas ia sedang mengamati. Bukan Cuma sekadar melihat, tapi memperhatikan.

Dan Xion... diam-diam menarik napas dalam. Ia sebenarnya bukan tipe orang yang betah dengan suara ribut bocah. Ia bukan penggemar anak kecil. Baginya, anak-anak itu terlalu... tidak bisa ditebak. Ribut, rewel, dan sulit dikontrol.

Tapi nyatanya... sejak dulu, anak-anak justru sering sekali menempel padanya.

Sejak masih sekolah dasar dan jadi relawan mengajar, hingga kini saat punya keponakan sendiri—entah kenapa, anak-anak selalu mendekat padanya. Padahal ia tidak pernah merasa ‘ramah’ ke anak-anak.

Mungkin karena mukanya terlihat tenang? Atau karena anak-anak merasa aman di dekatnya?

Xion sendiri tidak tahu.

Tapi saat ini, Xion tetap berdiri di dekat kusen pintu, memperhatikan suasana hangat yang memenuhi kamar itu. Tawa Tiny dan suara bocah-bocah kecil itu seperti membuat udara jadi lebih hidup.

Tapi semakin lama ia memandang, pikirannya justru mulai melayang ke arah lain.

Ia melihat Tiny yang tertawa lepas, memeluk Aneley, menggendong Elvi sambil mengusap kepala Elvan yang mulai ngantuk.

Sosok itu terlihat… terlalu pas di situ.

Dan entah kenapa, ada bagian dari diri Xion yang mulai membayangkan lebih jauh.

Ia membayangkan kalau suatu hari nanti, bukan lagi keponakan yang memenuhi ruangan ini, tapi anak-anak mereka sendiri.

Bocah dengan wajah campuran antara dirinya dan Tiny. Rambut yang mungkin lurus seperti Tiny. Atau mata yang serius seperti dirinya.

Lalu pikirannya melompat—ke arah yang sedikit lebih dalam. Lebih... pribadi. Naluri laki-lakinya muncul begitu saja. Bukan sesuatu yang bisa direncanakan.

Ia memang bukan tipe yang banyak bicara atau menunjuk-nunjukkan apa yang dipendam. Tapi kalau bicara soal hasrat—itu tetap ada.

Diam-diam, kuat.

Dan Xion tahu, perasaan itu makin tumbuh sejak resmi menjadi suami Tiny. Mungkin karena status, mungkin juga karena fisik. Tapi ia bukan tipe yang memaksakan.

Toh, semua ini bukan pernikahan yang ia rencanakan. Ia hanya menggantikan pengantin pria yang menghilang.

Menikahi Tiny bukan karena cinta, apalagi hubungan panjang.

Awalnya, ia hanya menganggap Tiny sebagai teman. Seseorang yang sudah cukup lama dikenalnya, sejak beberapa tahun lalu.

Dan sekarang... mereka tinggal serumah. Sekamar.

Wajar kalau pikirannya kadang tersesat ke arah yang tidak ia sengaja. Tapi Xion menahannya.

Ia mengembuskan napas pelan, menepis bayangan-bayangan di kepalanya.

Belum waktunya.

Tiny belum siap. Bahkan ia pun masih bingung dengan posisinya sekarang.

°°°°

“DADAH, MA… PA.”

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!