"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Tanggung jawab yang sulit di emban
...0o0__0o0...
...Mobil Langit akhirnya berhenti di halaman rumah. Lampu teras sudah menyala, tanda semua orang di dalam sedang menunggu....
...Langit keluar sambil menenteng paperbag berisi kue. Ia menarik napas panjang sebelum melangkah masuk, berusaha menutupi kegelisahan yang sejak tadi menghimpit dadanya....
...Begitu pintu dibuka, aroma masakan memenuhi ruangan. Di ruang tengah, Ummi, Aba, dan Nesya sudah duduk bersama. ...
...Wajah Nesya berbinar ketika melihat Langit datang membawa sesuatu....
..."Assalamualaikum..!" Salam Langit Lirih....
..."Walaikumsalam..!" Jawab semuanya serentak....
..."Alhamdulillah, akhirnya pulang juga." Ummi tersenyum hangat, namun matanya segera mencari-cari. "Mana Jingga ? Bukannya kalian berangkat berdua ?"...
...Pertanyaan itu membuat langkah Langit terhenti sejenak. Paperbag di tangannya mendadak terasa begitu berat. Ia menunduk, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab....
..."Dia… ada urusan, Mi. Katanya pulang sendiri," jawab Langit lirih....
...Ummi mengerutkan dahi, heran. "Pulang sendiri ? Bukankah sudah malam begini ? Kenapa kamu biarkan dia pulang sendirian, Nak ?"...
...Deg..!...
...Kata-kata itu menghantam tepat di dada Langit. Ia menggenggam erat paperbag kuenya, menahan gelombang sesal yang semakin menyesakkan....
...Nesya menatap Langit penuh tanda tanya, sementara Aba hanya diam, memperhatikan dengan pandangan tajam....
...Langit menelan ludah, berusaha menegakkan tubuh. "Nanti aku jemput lagi kalau sudah selesai urusannya, Mi," katanya, mencoba menutup celah pertanyaan....
...Tapi dalam hatinya, ia tahu—ia bahkan tidak tahu ke mana Jingga pergi, atau dengan siapa istrinya pulang....
...Nesya yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya angkat suara. Senyum tipis menghiasi wajahnya ketika matanya tertuju pada paperbag di tangan Langit....
..."Itu… kue kesukaanku, ya, Bi ?" tanyanya dengan nada manja....
...Langit mengangguk singkat, berusaha menahan gejolak hatinya. "Iya. Aku sempat mampir beli tadi."...
...Wajah Nesya langsung berbinar, seolah lupa pada pertanyaan Ummi tentang Jingga. Ia segera bangkit, menghampiri Langit, lalu menerima paperbag itu dengan ekspresi bahagia....
..."Terima kasih, Abi. Aku tahu kamu nggak akan pernah lupa sama aku." Suaranya lembut, penuh kepastian....
...Langit hanya tersenyum tipis, meski di dalam dada ada rasa bersalah yang makin menyesakkan. Ingatannya kembali melayang pada Jingga yang keluar dari mobil tanpa menoleh....
...Ummi masih belum puas. "Tapi, Nak, Ummi serius. Kamu seharusnya tidak membiarkan istrimu pulang sendiri malam-malam begini. Bagaimanapun juga dia tanggung jawab mu."...
...Nesya menoleh sekilas ke arah Ummi, lalu buru-buru memeluk lengan Langit. "Ummi, mungkin ada alasan. Jangan menyalahkan Abi, ya. Lagi pula, kan ada aku yang nemenin di rumah."...
...Ucapan itu membuat hati Langit makin terjepit. Di satu sisi, ia merasa di terima dan di manja oleh Nesya. Namun di sisi lain, suara Ummi seakan cambuk yang mengingatkan: ada satu hati lain yang sedang ia abaikan....
...Langit tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan kegelisahan-nya. Tapi dalam hatinya, doa terus bergema:...
..."Ya Allah, tunjukkan jalan agar aku bisa adil. Jangan biarkan aku terus menyakiti salah satu dari mereka."...
...Suasana ruang tengah sempat hening setelah Nesya menerima kue dengan wajah bahagia. Namun Aba, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya bersuara. Suaranya dalam dan tegas, membuat semua orang sontak menoleh....
..."Langit."...
...Langit menegakkan tubuhnya, sedikit gugup. "Iya, Ba ?"...
...Aba menatapnya tajam, penuh wibawa. "Kamu tadi bilang Jingga pulang sendiri ?"...
...Langit mengangguk pelan. "Iya, Ba. Dia… bilang ada urusan, jadi—"...
..."Tidak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan seorang suami membiarkan istrinya pulang sendirian malam-malam begini." Suara Aba meninggi, menusuk ke jantung....
...Ummi menghela napas panjang, wajahnya ikut muram. Nesya yang tadinya sibuk dengan kuenya pun ikut terdiam, kaku di tempat....
...Aba melanjutkan, tegas namun bergetar karena kecewa....
..."Kamu mungkin bisa membagi waktumu di antara dua istri. Tapi tanggung jawabmu tidak boleh terbagi. Jingga itu istrimu sah. Apa kamu tega membiarkan-nya sendirian di luar, tanpa tahu dia di mana, dengan siapa, dan bagaimana keadaannya ?"...
...Langit menunduk. Kata-kata itu terasa seperti tamparan keras. Jemarinya meremas celana panjangnya sendiri, menahan rasa bersalah yang makin menyesakkan dada....
..."Aba tidak mendidik mu untuk seperti ini," ucap Aba lagi, kali ini lebih dalam, penuh penekanan. "Kalau kamu tidak bisa berlaku adil, maka satu-satunya yang kamu lakukan hanyalah menyakiti. Dan itu bukan akhlak seorang suami, apalagi seorang laki-laki yang mengaku beriman."...
...Langit terdiam, tak mampu membantah. Ia hanya menunduk makin dalam, dada sesak, wajah memanas menahan malu dan sesal....
...Di sisi lain, Nesya menggenggam paperbag kuenya lebih erat, tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun....
...Sementara Ummi hanya bisa memandang suaminya, seakan sepakat bahwa malam itu, Langit memang pantas di tegur keras....
...Aba menatap Langit dengan tatapan tajam, ucapannya barusan masih menggantung di udara. Ruang tengah hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas....
...Langit menelan ludah, lalu memberanikan diri bersuara. "Aba… saya tidak bermaksud menelantarkan Jingga. Tadi dia yang meminta turun, dan saya… saya terlalu gegabah membiarkan-nya."...
...Aba menyipitkan mata. "Justru di situlah kesalahan mu, Nak. Seorang suami tidak boleh gegabah. Istrimu boleh saja meminta turun, tapi kamu sebagai pemimpin rumah tangga yang harus berpikir: apa itu baik, apa itu pantas. Bukan menuruti saja lalu pulang dengan tangan kosong."...
...Langit terdiam. Suara Aba penuh wibawa, menusuk tanpa memberi celah....
..."Maafkan saya, Ba," ucap Langit akhirnya, lirih. "Saya khilaf… Saya janji tidak akan mengulanginya."...
...Ummi menghela napas, hatinya ikut tersayat melihat anaknya tertunduk begitu dalam. "Ingat, Nak. Dua istri itu bukan perkara ringan. Kalau kamu tidak bisa adil, maka yang kamu peroleh hanya dosa dan air mata."...
...Langit menunduk semakin dalam, wajahnya memerah menahan malu sekaligus sesal. "Iya, Mi… saya akan berusaha lebih baik."...
...Tanpa berani menatap siapa pun lagi, Langit pamit, melangkah menuju kamarnya, mem-bawah beban yang menekan hati....
...0o0__0o0...
...Di kosan, Jingga akhirnya terlelap meski air matanya belum kering. Tidurnya gelisah, tubuhnya berbalik berkali-kali....
...Dalam mimpinya, ia berada di sebuah taman luas penuh bunga. Angin berhembus lembut, langit biru cerah, namun ia merasa sendirian....
...Tiba-tiba, ia melihat sosok Langit di kejauhan. Langit berdiri dengan senyum hangat—tapi bukan padanya. Di sampingnya, ada Nesya, menggenggam erat tangan sang suami....
...Jingga melangkah maju, ingin menyapa, ingin meraih. Namun setiap kali ia mencoba mendekat, tanah di bawah kakinya retak, berubah menjadi jurang yang semakin melebar....
...“Kaak… tunggu aku…” teriaknya dengan suara gemetar....
...Tapi Langit tidak menoleh. Ia terus berjalan bersama Nesya, meninggalkan Jingga di seberang jurang....
...Hembusan angin semakin kencang, bunga-bunga yang indah tadi luruh berguguran, berubah jadi duri-duri yang menusuk kaki Jingga. Ia jatuh berlutut, tangannya berdarah saat mencoba bertahan....
...Dari jauh, suara Langit samar terdengar, "Maafkan aku, Jingga…"...
...Air mata Jingga menetes dalam mimpi itu. Ia meraih tangannya sendiri, seakan bisa menahan sakitnya. Namun suara hatinya berbisik lirih, “Kenapa selalu aku yang ditinggalkan…?”...
...Saat jurang itu semakin lebar dan kegelapan menelan dirinya, Jingga terbangun dengan terengah-engah. Nafasnya berat, keringat dingin membasahi pelipisnya....
...Ia menatap sekeliling kamar kecil itu—gelap, sunyi, hanya di temani lampu redup....
...Tangannya meraba dadanya yang berdegup kencang. Air mata kembali jatuh tanpa bisa ditahan....
..."Ya Allah… kalau memang aku kuat, tolong jangan biarkan aku rapuh begini," bisiknya pelan....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂