Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Takdir
Di rumah, Aksara membanting pintu kamar dan melempar ranselnya ke tempat tidur. Dia duduk menghadap jendela, mengamati atap-atap dari bangunan yang banyak berdiri di sana.
Apa ini karma, karena dulu gue nyakitin Nayna?
Tapi kenapa harus cewek gila itu?
Argh!
Aksara mengacak rambut dengan kesal. Wajahnya memerah. Sementara di dalam pikiran, terus menyalahkan sikap dia terhadap Nayna di masa lalu.
Sekarang lo ngerti, kan, rasanya dicuekin? Nggak dianggap? Cinta bertepuk sebelah tangan?
Itu yang Nayna rasain dari kelas tujuh, dan lo sendiri langsung keluarin kata-kata itu, yang mungkin aja sampai sekarang masih segar diingatan dia dan juga lo sendiri.
Pemuda itu bangkit, meraih boxing gloves lalu memukul samsak dengan amarah yang meluap. Dia sengaja meletakkan benda itu di kamar, agar dapat melampiaskan amarahnya yang terkadang muncul tanpa aba-aba.
Hingga beberapa menit, Aksara terus memukul, menendang tanpa perhitungan, tanpa menghiraukan peluh yang mengalir di pelipis juga di tubuhnya. Pedih di hati terasa lebih menyayat dari semua lelah yang dia rasakan. Matanya membara, garis rahang semakin menonjol dengan semburat merah yang semakin kentara di wajahnya. Aksara terus melampiaskan rasa sakitnya pada benda hitam yang menggantung itu.
Tak ada yang peduli, tak ada yang menanyakan keadaannya. Baik orang tua maupun teman, dan Aksara tersenyum getir.
Teman? Apa iya gue punya teman? Siapa? Sejak kecil, gue selalu sendiri. Mereka datang hanya saat butuh, setelahnya hilang entah ke mana. Cih! Aku benci semuanya!
Aksara kembali memukul, kali ini dengan tenaga yang ekstra dan mata yang membulat karena puncak amarah.
Tanpa disadari, pintu kamar sudah lama terbuka. Seseorang berdiri dengan segelas jus apel di tangan. Dia baru mendekat saat Aksara berhenti memukul dan memeluk samsak dengan napas memburu.
"Kamu capek, Nak?"
Aksara menoleh dan terkejut mendapati Bi Diah sudah berdiri di belakangnya. Wanita itu tersenyum lembut, lalu berkata pelan.
"Bibi udah bikinin jus apel, diminum ya. Istirahatlah kalau capek, jangan dipaksa terus. Kamu hebat, Nak. Bibi tahu, hatimu sedang tidak baik-baik saja. Perbanyak berdo'a, minta perlindungan agar selalu dijaga dari amarah yang membara."
Bi Diah sedikit berjinjit, mengusap bahu Aksara, lalu menepuknya perlahan. Tentunya masih dengan senyum yang menenangkan.
Tiba-tiba saja, Aksara berlutut dan memeluk tubuh wanita itu. Wanita yang dia anggap sebagai ibu, karena peran ibu yang lama tak dia dapatkan dari ibu kandungnya sendiri. Perlahan dia terisak tanpa malu, seakan itu hal yang sudah biasa dia lakukan pada wanita paruh baya di hadapannya. Bi Diah mengusap lembut kepala Aksara. Ada rasa nyaman yang menjalar di hati keduanya, tenang nan hangat. Itu yang mereka dapatkan.
Aksara melepas pelukannya, lalu menengadah, menatap wajah yang mulai keriput dimakan usia.
"Bi, apa salah kalau aku benci sama takdir?" bisiknya pelan sembari perlahan bangkit dan menarik kursi untuk Bi Diah duduk. Aksara memilih bersimpuh dengan tangan bertumpu di lutut Bi Diah.
Dengan lembut, wanita itu mengusap kepala anak majikannya, yang sudah seperti anak sendiri.
"Nak, kita nggak boleh benci pada takdir. Karena takdir itu berjalan seiring kita melangkah di bumi ini. Ketahuilah, apa yang terjadi hari ini, selalu ada andil dari masa lalu. Dan masa depan, akan terbentuk dari apa yang kita lakukan sekarang ini. Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi satu tahun ke depan, bahkan sedetik pun kita tak tahu. Semua rencana Tuhan, tapi sebagai seorang Hamba, kita wajib melakukan yang terbaik untuk hidup kita di dunia dan bekal kelak di akhirat. Jadi, jangan pernah membenci takdir. Apa pun itu, pasti ada sesuatu yang tersirat di sana, tinggal bagaimana kita menghadapinya."
Aksara merebahkan kepalanya di pangkuan wanita itu, dia selalu merasa nyaman, masalah yang menyesakkan dada, dapat sedikit melebur saat dia berada di posisi seperti sekarang ini. Hal yang tak pernah sekalipun dilakukan pada ayah dan ibunya.
Boro-boro seperti ini, sekedar dengerin gue cerita aja nggak pernah.
Tiba-tiba, Aksara mengepalkan tangannya, kala bayangan sang ayah muncul di benak.
Ini semua gara-gara papa. Karena dia yang maksain gue buat 'setor muka'.
Eh, Aksa. Lo budek ape gimane? Baru aja Bi Diah mingkem tuh, ngomongin soal takdir. Lo udah mencak-mencak lagi. Dipikir dong, bisa aja yang pertama tadi bener. Ini semua karma yang kudu lo jalanin.
Aksara semakin terhanyut saat tangan Bi Diah menepuk punggungnya perlahan.
"Udah ya, kamu istirahat. Bibi mau lanjut nyapu lagi."
"Mereka pulang nggak?" sahut Aksara yang masih duduk di lantai. Sementara Bi Diah bangkit, bersiap pergi. Wanita itu menggeleng, lalu kembali mengulang perintahnya sebelum menutup pintu.
*
Sementara itu, di sebuah kamar kost. Sandy tak henti bersenandung kecil dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya.
Akhirnya, rival gue jadian juga sama si ondel-ondel. Peluang dapetin Nayna makin besar dong. Ah, takdir memang berpihak pada diri yang sebatang kara ini.
Tiba-tiba, Sandy terdiam oleh ucapan batinnya sendiri.
Sepi ya,
Namun, tiba-tiba dia tertawa.
Haha, sepi? Udah lama juga, ngapain ngeluh, Bro? Enakan gini, nyaman, tenang, nggak dengerin orang berantem mulu. Bah!
Sandy duduk di tepi ranjang, menoleh pada nakas yang berada tepat di sampingnya.
Bapak, Ibu. Kalian lagi ngapain? Kapan dateng ke mimpi lagi? Nggak kangen apa ke anak bujang yang ganteng ini? Eh iya, Bu. Aku ketemu lagi sama cewek yang dulu sempet aku ceritain ke Ibu. Siapa tahu bisa jadi mantumu ya, Bu. Haha.
Pak, anakmu sekarang ngerasain susahnya cari duit nih. Untung aja kalian ninggalin warisan, eh, canda, canda. Nggak usah ngamuk ya. Lagian kalian mukul juga nggak bakal kena kok. Hehe.
Sandy meletakkan kembali sebuah foto berbingkai kayu. Di sana terlihat sepasang suami istri dengan baju batik dan kebaya yang serasi.
Dalam diam, dia mengusap air mata yang perlahan turun membasahi pipi. Ada rasa rindu yang kuat di dalam sana, rindu akan kehadiran sosok orang tua, juga kenyamanan dalam pelukan mereka.
Aku belum bisa pulang sekarang, Pak, Bu. Bude sama Pakde nggak bakal mau nerima aku, rumah itu juga udah diambil alih mereka, untungnya aku masih bisa ngambil buku tabungan kalian.
Makasih udah lahirin aku, Bu. Makasih udah didik aku sampai jadi cowok kuat meski tak sekuat hati Ibu juga sekuat fisik Bapak. Tapi aku bersyukur ada di titik ini, meski rasanya capek ... harus berjuang sendiri.
**
"Halo, Sayang. Kamu nanti bisa jemput aku kan? Hari ini ada les piano. Anterin ya, Papa sibuk kerja, aku juga males dianter sopir, kan sekarang ada pacar, halo, halo, Sayang, halo! Aksa! Iishh!"
Melda melempar ponsel ke atas tempat tidur. Raut wajahnya seketika berubah masam, bersamaan dengan itu, panggilan di pintu membuatnya menoleh.
"Nak, katanya mau les? Papa antar ya? Mumpung free, sekalian jalan-jalan. Kita udah lama nggak hang out berdua. Papa traktir deh," ucap Waluyo sembari mendekati anak gadisnya yang masih bergeming tanpa suara.
Pria itu terus membujuk, hingga akhirnya, gadis itu mengangguk dan tersenyum.
Melda diantar ke tempat les, ditunggu hingga selesai dan sesuai janjinya, bapak dan anak itu berjalan ke arah pusat perbelanjaan di tengah kota.
Sebagai wanita, tak dipungkiri jika mood Melda seketika membaik saat sang ayah mengeluarkan kata keramatnya.
"Kamu mau apa, Nak? Ambil aja, biar Papa yang bayar."
Tanpa babibu lagi, Melda berlarian ke sana kemari bagai anak kucing yang dilepas, setelah lama dikurung dalam kandang. Waluyo hanya tersenyum sembari terus mengikuti langkah putrinya, hingga tepat di bagian kosmetik, dia melihat anaknya terdiam dengan tatapan menuju ke satu arah.
"Nak, ada apa?"
***