Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27. RUMAH KESEHATAN
Pagi di Batavia menyingsing dengan lembut, diselimuti kabut tipis yang berarak di atas atap-atap rumbia dan genting merah kusam. Aroma tanah basah sisa hujan semalam berpadu dengan semerbak dedaunan tropis yang tertiup angin laut. Di jalanan yang ramai, langkah orang-orang bersahut dengan derap kuda yang menarik pedati, riuh pasar yang mulai dibuka, serta suara para ibu pribumi yang menawarkan sayuran, buah, dan hasil kebun mereka.
Di salah satu sudut kota yang sedang tumbuh dengan hiruk pikuk itu, berdirilah sebuah gedung baru yang berbeda dari bangunan sekitarnya. Tidak sebesar rumah gubernur, namun cukup mencolok karena rapih, bersih, dan teratur. Gedung itu adalah rumah kesehatan, hadiah dari Van der untuk Aruna.
Aruna berdiri di halaman depannya, menatap papan kayu sederhana yang baru dipasang dengan tulisan tangan:
'Tempat Pengobatan. Tabib Aruna.'
Jemarinya menyentuh papan itu, napasnya teratur, namun dalam hatinya ada denyut yang tidak bisa dijelaskan. Bukan kebanggaan semata, melainkan rasa syukur sekaligus harapan. Ia pernah menjadi dokter di dunia modern, dunia yang entah bagaimana telah hilang darinya, dan kini ... kesempatan itu seakan diberikan kembali, meski dalam bentuk dan zaman yang berbeda.
Hari-hari awal, ia bekerja dengan sederhana. Aruna menata ruangan dengan meja kayu, kursi panjang untuk pasien, lemari kecil berisi botol-botol kaca yang diisi ramuan herbal, serta kotak kayu yang ia gunakan sebagai meja periksa. Cahaya matahari masuk dari jendela besar, memberi kehangatan pada ruangan yang masih berbau kayu baru.
Pasien pertama yang datang adalah seorang anak kecil, tubuhnya kurus, wajahnya pucat, batuk tak henti-henti. Ibunya, seorang perempuan pribumi berpakaian lusuh, menunduk malu ketika menghadap Aruna.
"Anak saya, Nyai. Dia tidak berhenti batuk. Sudah berbulan-bulan. Saya tak tahu harus bagaimana," kata sang ibu.
Aruna tersenyum lembut. "Bawa dia ke sini. Biarkan aku memeriksanya."
Dengan telaten, ia menepuk punggung anak itu, mendengarkan suara napasnya, lalu meracik ramuan dari daun sirih, jahe, dan madu yang ia simpan. Ia mengajari sang ibu cara merebusnya, serta mengingatkan agar anak itu cukup beristirahat.
"Berikan minuman ini tiga kali sehari. Jangan lupa, biarkan ia berjemur pagi-pagi. Tubuhnya butuh sinar matahari," kata Aruna.
Sang ibu menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu mencium tangan Aruna. "Terima kasih ... Tabib Aruna. Semoga Gusti membalas kebaikanmu."
Sejak hari itu, kabar mulai menyebar. Dari mulut ke mulut, orang-orang pribumi bercerita tentang seorang gadis muda yang mengobati dengan ramah, tanpa memandang status. Ia tidak meminta bayaran tetap, siapa pun boleh memberi seikhlasnya, atau tidak sama sekali jika memang tidak mampu.
Hari-hari Aruna pun semakin sibuk.
Ada seorang pedagang Belanda yang datang dengan keluhan sakit perut berkepanjangan. Aruna memeriksanya, memberi ramuan daun jintan, serta menyarankan pola makan sederhana. Si pedagang yang awalnya meremehkannya, namun pulang dengan rasa kagum.
Ada pula seorang budak dari perkebunan yang datang dengan luka robek di lengan akibat cambukan. Aruna membersihkannya dengan air rebusan sirih, menutup luka dengan kain steril yang ia rajut dari kapas. Budak itu menatapnya dengan rasa tak percaya, seorang tabib Eropa sekalipun jarang memerlakukan mereka dengan hormat, tapi gadis ini menyentuhnya tanpa jijik, tanpa rasa enggan.
Kabar menyebar lebih cepat dari yang ia bayangkan. Dalam waktu sebulan, gedung kesehatan itu selalu penuh. Dari pagi hingga petang, antrean pasien tak pernah sepi: perempuan pribumi, anak-anak, pedagang Belanda, bahkan serdadu yang diam-diam datang untuk mengobati luka.
Aruna bekerja dengan sepenuh hati. Meski tubuhnya lelah, ada cahaya dalam matanya. Seakan profesi yang dulu ia miliki kini kembali hidup dalam dirinya, memberi arah dan makna.
Van der sering memerhatikannya dari kejauhan. Kadang ia datang membawa keranjang buah atau sekadar berdiri di serambi, melihat Aruna berkeliling memeriksa pasien. Ada kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan, gadis itu bukan hanya cerdas, tapi juga berhati lembut. Kehadirannya perlahan mengubah suasana Batavia, membuat garis pembatas antara Eropa dan pribumi sedikit lebih pudar.
Namun, tidak semua orang menyukai perubahan itu.
Beberapa pejabat Belanda, terutama mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan status sosial, merasa terganggu. Mereka menganggap Aruna hanyalah seorang gadis asing yang tiba-tiba mendapat tempat terlalu tinggi di mata rakyat. Kehadirannya mencuri perhatian, bahkan wibawa para tabib resmi yang biasa bekerja di bawah kendali pemerintah kolonial.
Desas-desus miring pun mulai terdengar. Ada yang mengatakan Aruna hanya berpura-pura peduli untuk meraih simpati. Ada pula yang menuduh ia menggunakan ilmu hitam, karena bagaimana mungkin seorang gadis muda bisa menyembuhkan penyakit yang bahkan tabib Belanda pun kesulitan atasi?
Fitnah itu semakin menguat ketika seorang pejabat tinggi bernama Cornelis de Vries, yang sejak awal tidak menyukai Aruna, melancarkan tuduhan.
"Perempuan itu berbahaya," katanya di hadapan beberapa kolega. "Dia menarik perhatian rakyat, membuat mereka lebih percaya padanya daripada pada kita. Apalagi ia mengobati budak! Itu bisa menimbulkan kegelisahan. Kita tidak bisa membiarkan pengaruhnya meluas."
Kata-kata itu menjadi bara, siap memantik keributan yang lebih besar.
Hari itu, matahari Batavia menyorot terang, membiaskan cahaya keemasan di halaman gedung kesehatan Aruna. Angin membawa aroma asin laut bercampur bau rempah dari pasar yang tak jauh. Gedung itu dipenuhi pasien, suara batuk, rintihan, dan obrolan bercampur menjadi satu, namun di tengah hiruk pikuk itu Aruna berdiri dengan tenang, mengarahkan para pasien dengan sabar.
Seorang perempuan pribumi menggendong anaknya yang demam tinggi. Aruna menunduk, menyentuh kening sang anak, lalu meminta seorang asisten membawakan air rebusan daun sambil tersenyum menenangkan.
"Jangan takut. Kita akan buat panas tubuhnya turun," ucap Aruna lembut.
Pemandangan itu sebenarnya biasa, bagi Aruna, menolong adalah panggilan hati. Namun bagi Cornelis de Vries yang berdiri di kejauhan, mengawasi dari balik jendela keretanya, pemandangan itu terasa seperti duri menusuk.
Cornelis adalah seorang pejabat yang sombong. Kumisnya tebal, perutnya buncit, dan matanya sipit penuh curiga. Ia terbiasa dihormati, terbiasa melihat pribumi menunduk di hadapannya. Maka menyaksikan seorang gadis yang bukan pejabat, bukan pula orang yang punya jabatan resmi dihormati dan disayangi banyak orang, baginya adalah penghinaan. Ia adalah orang yang sama dengan pejabat yang meninggikan suara di hadapan Van der ketika pertama kali Aruna datang ke Batavia untuk menghadap sang gubernur.
"Lihatlah mereka," gumamnya sinis pada asistennya. "Seperti lalat mengerubungi gula. Perempuan itu bukan siapa-siapa, tapi mereka menunduk padanya seakan dia ratu. Ini berbahaya. Sangat berbahaya."
Asistennya hanya diam, menunduk, tak berani menanggapi.
Cornelis mengusap dagunya, senyum tipis muncul. "Kalau rakyat terlalu percaya pada orang itu, mereka akan lupa siapa yang punya kuasa. Aku tidak akan biarkan."
Keesokan harinya, Cornelis mulai melancarkan fitnah. Di pasar, ia menyebar kabar lewat orang-orang suruhannya.
"Tabib Aruna itu bukan tabib sungguhan," bisiknya pada sekelompok pedagang. "Dia menyihir orang dengan ramuan berbahaya. Ada yang sembuh, tapi banyak juga yang sakit lagi setelah berobat. Jangan tertipu oleh wajah manisnya."
Di tempat lain, Cornelis menyusupkan isu yang lebih kejam.
"Kau tahu mengapa dia mengobati budak? Karena ia ingin menghasut mereka. Supaya budak-budak itu bangkit melawan tuannya. Apa kau mau lihat pemberontakan hanya karena seorang gadis asing?" fitnahnya.
Kabar angin itu menyebar cepat, terbawa mulut ke mulut. Beberapa orang mulai ragu, menatap Aruna dengan curiga. Namun sebagian besar pasien tetap datang, karena mereka tahu apa yang Aruna lakukan nyata dan tulus.
Aruna sendiri awalnya tidak peduli pada bisik-bisik itu. Ia memilih sibuk dengan pekerjaannya, meracik obat, memeriksa pasien, memberi harapan pada mereka yang hampir putus asa. Tapi semakin hari, fitnah itu makin mengeras.
Suatu siang, ketika antrean pasien memanjang hingga ke jalan, seorang pria Belanda berteriak keras dari luar.
"Hentikan sandiwara ini! Perempuan itu bukan tabib, ia penipu!"
Keributan pun pecah. Orang-orang menoleh, beberapa mundur karena takut. Aruna keluar ke serambi, wajahnya tenang meski hatinya berdegup kencang.