"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa Asing
Indira berdiri di depan cermin besar yang terpasang di kamar. Tangannya merapikan blouse biru muda yang ia kenakan dengan pikiran yang tidak tenang.
Pertanyaan Rada yang terlontar malam itu, belum juga ia beri jawaban hingga sekarang. Meski Indira yakin sang suami pasti sudah paham sejak pertama kali ia bilang akan kembali masuk kerja.
Ya, bukankah itu seharusnya sudah bisa menjadi jawaban atas pertanyaan Rada? Cukup jelas jika Indira masih ingin bergabung di Nuswantara.
Wanita berhidung mancung itu menarik napas dalam, menatap pantulan dirinya di depan. "Okey, tenang. Kamu gak perlu pikirin itu, Dira. Lagipula pernikahan ini masih baru. Ngapain buru-buru resign, sih?" gumamnya.
Indira tahu mungkin keputusannya cukup egois. Namun, sebagai orang yang sudah lebih dulu bekerja di Nuswantara daripada Rada, ia tidak ingin menyerah begitu saja. Jika mau, kenapa tidak pria itu saja yang mencari pekerjaan baru?
"Udah selesai belum, Sayang?" teriak Rada yang membuat Indira terkesiap. Bukan karena suaranya yang keras, melainkan karena panggilan "sayang".
Entah mengapa sejak malam itu Rada lebih sering memanggilnya demikian. Apa maksudnya, ia tak paham.
"Dira Sayang ...."
"Iya, iya. Ini udah selesai," sahut wanita itu dengan suara yang sedikit keras juga karena sang suami berada di luar kamar.
Ia melirik jam di pergelangan tangannya sejenak, memastikan masih cukup banyak waktu agar tidak terlambat.
Rada menyambut istrinya dengan senyum mengembang. Setelah wanita itu tiba di hadapan, segera ia bangkit dan merangkul pinggangnya mesra. Berjalan bersama keluar dari rumah peninggalan orang tuanya.
Ya, sejak beberapa hari lalu Rada dan Indira sudah pindah dan akan menetap di rumah peninggalan orang tua pria itu. Selain agar tidak terlalu jauh dari kantor Nuswantara Properti, Rada juga ingin rumah tersebut tetap ditempati. Setidaknya, rumah sederhana itu akan terus terjaga jika ia dan Indira ada di sana.
"Ayo, masuk!" Rada membukakan pintu mobil untuk Indira, tapi wanita itu malah menggelengkan kepala.
"Kan, aku udah bilang kalau mau naik busway, Rad. Biar gak ada yang curiga kita dateng bareng," katanya.
Seketika Rada mendesah lelah. "Kan, aku bisa turunin kamu sebelum kantor, Dira Sayang. Di depan toko atau supermarket gitu misalnya."
Untuk apa sang istri repot-repot naik busway segala, coba?
"Ck! Itu terlalu berisiko, tahu! Pagi-pagi, tuh, banyak karyawan yang keluar-masuk kafe atau minimarket buat cari sarapan. Aku gak mau mereka sampe liat kita."
Huh, rasanya Rada sudah lelah membujuk Indira. Wanita itu selalu saja memiliki alasan yang membuat ia tak bisa lagi menyanggahnya.
"Udah, deh. Aku ke halte depan dulu—"
"Aku antar sampai halte depan."
***
Tiba di kantor, Indira langsung disambut hangat oleh beberapa rekan kerja begitu memasuki lobi Nuswantara.
"Ya ampun pengantin baru .... Makin seger aja, nih!" seru salah satu staf bagian desain interior, sambil menghampiri dan memeluknya singkat.
"Kantor jadi sepi banget selama kamu cuti, Dir," celetuk yang lain.
Indira terkekeh pelan. "Kalian bisa aja. Tapi serius, aku kangen banget sama kantor ini, huhu. Pasti banyak yang aku lewatin selama cuti, ya?"
"Banyak banget, Dir. Tapi yang paling penting, kita sekarang lagi nunggu desain final dari Rada. Setelah di-acc, baru kita mulai promosi gede-gedean."
Rumi tiba-tiba muncul dari luar. Wanita itu langsung menggandeng lengan sang sahabat.
"Oh ya? Rada dikasih kesempatan buat pegang desain proyek baru kita?" Indira menaikkan alis. Kenapa Rada tidak bercerita padanya?
"Heem." Rumi mengangguk. "Mungkin karena dia udah punya pengalaman sebelumnya. Tapi selama ini kerjaan dia oke, sih," ujarnya sambil menoleh ke arah pintu masuk. "Tuh, orangnya baru datang."
Indira refleks menoleh, dan saat itu juga pandangannya bertemu dengan sepasang mata hitam milik Rada. Entah mengapa, jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan.
Rada berjalan masuk ke dalam lobi dengan langkah tenang. Raut wajahnya datar, terlihat profesional.
Di satu sisi, Indira senang karena sepertinya Rada bisa diajak kerjasama untuk saling berpura-pura. Namun, di sisi lain entah kenapa ia merasa tak nyaman. Ia dan Rada jadi benar-benar seperti orang asing sungguhan.
"Kenapa rasanya jadi gak enak gini, ya?" gumam wanita itu dalam hati.
***
"Brief dari Bu Vina soal promosi Cluster Alam Raya udah ada belum, Rum?" tanya Indira setelah beberapa saat fokus pada layar komputernya.
Rumi menoleh. "Udah. Kemarin Bu Vina kirim. Ini baru selesai aku baca. Coba cek email, deh, Dir!"
Indira menurut. Ia membuka email lewat komputer, lalu coba fokus untuk memahami isi brief di depannya. Cukup rumit, tapi menantang. Risikonya pun tak kalah besar dari proyek-proyek sebelumnya.
"Gila ya, target penjualannya ngeri banget. Kita disuruh push 30 unit dalam 3 bulan, mampus!"
Spontan Indira tertawa mendengar ocehan Rumi yang selalu putus asa di awal. "Bener, sih. Tapi gak menutup kemungkinan kita bisa capai target. Bahkan mungkin lebih."
"Emang. Tapi buatku ini terlalu berat, Dir. Apalagi sekarang orang-orang lebih suka tinggal di apartemen."
"Ck! Beda, Rum. Target market kita yang sekarang beda sama yang kemarin-kemarin. Pokoknya kita harus buat campaign yang bener-bener eye-catching. Gak bisa cuma brosur sama iklan sosial media aja, bosen banget," papar Indira. Ia sudah berencana membuat metode promosi dengan terobosan baru, tapi tetap bisa menembus pasar.
"Setuju, sih." Rumi mengangguk. "Kita tunggu desain final sama pembangunan beberapa cluster selesai. Targetnya, sih, desainnya bakal selesai bulan ini."
Baiklah. Kalau begitu, Indira masih punya waktu memikirkan konsep promosi terobosan baru untuk proyek baru Nuswantara. Tak lupa menyiapkan tim pemasaran yang solid dan profesional.
Setelah beberapa jam di depan layar, rasa kantuk mulai menyerang. Beberapa kali Indira menguap lebar.
"Ngopi sana, Dir! Mau aku panggilin OB?" tanya Rumi. Kalau dia, sih, sudah sedia kopi dari sejak duduk di ruangan itu.
"Gak usah. Aku bikin sendiri aja."
Indira bangkit dari duduknya, lalu keluar dari ruangan. Ia berjalan sendirian menuju pantry. Melewati beberapa ruangan divisi yang salah satunya adalah ruangan sang suami.
Langkah wanita itu terhenti sejenak tepat di depan ruangan Rada dengan pintu yang terbuka. Sehingga ia bisa dengan jelas melihat siapa saja yang ada di dalamnya.
Hanya Rada.
Seutas senyum terukir di wajah cantiknya sebelum kembali melanjutkan langkah menuju pantry. Ia akan membuat kopi juga untuk sang suami.
Tiba di pantry, Indira langsung mengambil 2 buah gelas. Kemudian, menuangkan kopi dan gula ke masing-masing gelas tersebut dengan tenang, sebab sedang tak ada siapa pun di ruangan itu. Namun, saat hendak menuangkan air, sebuah suara tiba-tiba muncul dan sukses membuatnya hampir tersiram air panas.
"Akh!"
"Hati-hati, Sayang."
Deg!
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'