"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PULANG BERSAMA
"Ada yang mau aku bicarakan, Ra." Hania menatap Haura dengan penuh harap.
Sementara itu, Haura yang sedang bersiap untuk pulang pun menoleh dengan wajah biasanya. Terkesan datar dibandingkan ekspresinya yang biasanya. Tangannya masih merapikan beberapa dokumen agar mejanya terlihat rapi.
Suasana ruangan mereka sudah mulai sepi. Sebagian besar penghuni ruangan, termasuk Ullya sudah pulang beberapa menit yang lalu. Keheningan itu membuat Hania semakin canggung berbicara dengan Haura. Meskipun sebenarnya Haura sendiri bersikap seperti biasa.
"Ngomong aja, Han. Aku sambil rapi-rapi, boleh kan?"
Hania mengangguk cepat. Ia sendiri bisa merasakan bagaimana perubahan sikap Haura kepadanya. Ia yakin pasti ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Haura berubah. Apalagi gadis yang biasanya semangat bekerja itu tiba-tiba absen beberapa hari.
"Aku berbuat salah sama kamu, ya?" tanya Hania, pelan. Gadis itu menatap Haura dengan khawatir. kedua telunjuknya saling bertautan. Berusaha mengusir kekhawatiran.
Haura tidak langsung menjawab. Ia masih fokus untuk kemudian memasukkan barang pribadinya ke tas. Setelah itu, ia balas menatap Hania. Lantas memberikan senyuman manis untuk sahabatnya itu.
"Nggak kok. Kenapa memangnya?" Haura berusaha bersikap biasa saja di depan Hania.
Hania menggeleng, lalu tersenyum kecil. "Hari ini kita nggak banyak cerita seperti biasa. Aku takutnya ada salah sama kamu."
"Santai aja, Han. Hari ini lumayan sibuk aja. Makanya nggak bisa banyak cerita sama kamu."
Haura sebenarnya masih bingung harus marah atau tidak pada gadis di depannya ini. Ia sudah mengenal Hania sejak lama. Mereka bertiga sudah akrab semenjak awal bekerja di sini. Haura juga sering menjadi tempat curhat Hania saat menceritakan tentang hubungannya dengan Daffa. Hanya saja nama Banyu memang tidak pernah ada dalam pembicaraan mereka.
"Oke deh. Syukurlah kalau begitu." Raut lega tergambar jelas di wajah cantik Hania. "Kalau ada hal yang ingin diceritakan, jangan sungkan cerita ya." Hania kemudian menyentuh bahu Haura.
"Iya. Kamu juga ya. Kalau ada hal yang ingin kamu sampaikan ke aku, bilang aja. Jangan disimpan sendiri," sindir Haura dengan nada dibuat enteng.
Hania mengangguk sembari tersenyum. "Iya."
Tiba-tiba ruangan Banyu terbuka. Lelaki itu muncul setelahnya. Kakinya melangkah pelan menuju posisi Haura dan Hania berdiri. Keluarnya Banyu membuat Haura dan Hania menole. Diam-diam Haura mengamati ekspresi Hania saat melihat Banyu. Entahlah, setelah ia mengetahui fakta menyakitkan itu, rasanya seperti sulit menganggap Hania sama seperti yang dulu.
"Sudah mau pulang, Han?" Banyu menyapa Hania dengan nada ramah. Meski tanpa senyum dan arah matanya melihat ke arah Haura yang sedang menatap ke bawah.
Tepat pada sepatunya sendiri.
"Iya, Pak." Hania menjawab tak kalah ramah dan lembut seperti biasa. "Ra, Pak Banyu nungguin kamu tuh." Hania mencolek lengan Haura pelan.
Haura mengangkat wajahnya. "Oh iya? Bapak nungguin saya?" Ekspresi Haura dibuat pura-pura terkejut. "Tapi saya sudah pesan taksi online, Pak. Nih, supirnya udah mau dekat." Tanpa ragu ia kemudian memperlihatkan posisi supir taksi online yang sengaja ia pesan sejak ia bersiap-siap pulang.
Rahang Banyu mengetat. Tangannya yang memegang tas kerjanya mengepal kuat. Haura sengaja mempermainkan emosinya.
"Atau Bapak bisa pulang bareng Hania, aja. Gimana, Han?" Haura memasukkan ponselnya ke tas dan beralih menatap Hania yang tampak terkejut.
"Haura...." desis Banyu dingin. Matanya tampak serius tanpa kompromi. Ia sangat mengetahui apa maksud Haura tersebut.
"Nggak perlu, Ra. Lagian aku nggak mungkin pulang bareng Pak Banyu. Bakalan aneh terlihat. Aku bisa sendiri."
"Eh, jangan. Calon pengantin nggak boleh sendiri-sendiri begini. Nggak apa-apa kali, Han. Pak Daffa juga akan mengerti kok. Aku juga nggak apa-apa. Aku percaya sama kalian berdua." Senyum manis terbit di wajahnya. Ia sengaja memancing emosi Banyu yang sebentar lagi akan meledak itu.
Tiba-tiba ponsel Haura bergetar. Ternyata taksi yang ia pesan sudah berada di depan kantor. "Taksiku udah datang. Aku duluan, ya. Mari, Pak. Bye, Hania."
Haura segera berlalu dari hadapan dua orang yang sangat ingin ia hindari sementara ini. Langkahnya begitu cepat berharap Banyu tidak nekat menyusul langkahnya. Meskipun sebenernya, Haura sendiri tahu bahwa tidak mungkin lelaki dengan status suaminya itu mau menyusulnya dan membiarkan Hania pulang sendiri.
Haura sudah memberitahukan supir taksinya untuk menunggu sejenak sementara ia masih di dalam lift. Beberapa menit kemudian, lift terbuka dan ia segera berlari kecil menuju pintu. Namun, saat ia sudah berada dekat dengan taksi tersebut, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang. Ia pun mundur ke belakang beberapa langkah.
Banyu si pelaku yang menarik Haura tersebut kemudian mengetuk kaca pintu depan mobil. Tanpa banyak bicara, ia kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang merah dan menyodorkannya ke supir tersebut.
"Maaf, Pak. Istri saya tidak jadi naik. Ini ongkos dan ganti ruginya."
"Baik, Pak. Terima kasih." Si supir langsung menerima uang tersebut dengan senyum cerah. Lalu segera melajukan mobilnya.
Haura menatap taksi tersebut dengan tercengang. Ia kemudian beralih menatap Banyu dengan kesal. "Kamu apa-apaan, Mas?!" protesnya dengan nada tinggi.
Beruntungnya suasana kantor sudah sepi. Sehingga Haura tidak perlu menunjukkan ekspresi ramah apalagi segan di hadapan Banyu.
"Kamu yang apa-apaan. Kenapa tiba-tiba berinisiatif untuk pesan taksi online begitu sementara suami kamu ada di depan kamu?"
"Ya karena suami yang Bapak sebutkan tadi sama sekali tidak menawarkan saya untuk pulang bersama. Lagian biasanya juga saya pulang pakai taksi," sarkas Haura menatap Banyu sengit.
"Hania saja mengerti bahwa saya di sana karena menunggu kamu dan mau mengajak kamu pulang bersama."
"Itu Hania. Saya Haura. Beda, Pak. Nggak bisa disamain." Hati Haura rasanya bergejolak. Ia tidak suka Banyu memuji Hania. Semenjak ia mengetahui fakta tersebut, hal biasa yang dulu Banyu tunjukkan kepada Hania mendadak menjadi sesuatu yang membuat Haura berpikir negatif. "Kalau begitu Bapak pulang bersama Hania saja. Jangan saya."
Tanpa banyak kata, Haura kemudian berbalik dan berjalan cepat menuju gerbang.
"Haura, kamu mau kemana?!"
"Mencari tempat yang nggak ada Bapak!" jawab Haura tanpa menoleh.
Tampaknya keinginan gadis itu untuk pulang sendirian sudah bulat. Namun, tentu saja Banyu tidak akan membiarkan Haura pulang sendiri. Ia kemudian memanggil security kantor yang menatap pertengkaran mereka berdua dengan tatapan antara terkejut dan iba.
"Tolong bawakan tas saya ke mobil." Banyu kemudian memberikan tas kerjanya pada security tersebut. Sementara itu, ia berlari kecil menyusul sang istri.
Banyu melangkah cepat saat sudah lebih dekat dengan Haura. Tanpa panjang pikir, ia kemudian mengangkat tubuh Haura layaknya karung beras yang diletakkan di bahu.
"Maaas! Turunin aku!" pekik Haura sambil memberontak. "Kamu nggak boleh paksa aku begini!"
Namun, Banyu tidak peduli. Ia fokus berjalan menuju mobilnya dengan mempertahankan Haura di bahunya. Tanpa suara. Ia tidak peduli Haura akan semakin kesal padanya.
Keselamatan Haura adalah mutlak prioritas utamanya.
*
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, gaes :). Terima kasih:)
Kenapa Haura...?? yaa karena dia istrinya. lahh kamu siapa.. hanya masa lalu..
Pilihan yg tepat buat kembaliin projeknya Haura, dg begitu dia gak akan tantrum minta pindah departemen lagi. 😂
Satu buat Hania, emang enak. Udh ditolak terus Haura dipuji-puji lagi. makiin kebakaran gak tuuh... 😂😂
kamu cantik jelas terlihat apa adanya.
sedangkan yg jadi bandingan kamu, cerdas kalem, tapi licik.. ada udangnya dibalik bakwan..
gak kebayang gimana kalo Daffa tau tentang ini..
Gak dapet dua-duanya baru nyaho kamu Han.
Yang lain aja slow, ngapain km repot2 jelasin.. yaa kecuali km ada mksud lain..
maaf ya Han, sikap mu bikin saya su'udzon..
Novel kedua yg aku baca setelah kemren Arsal-Ayra yg menguras esmosi... mari sekarang kita jadi saksi kisah Haura - Banyu akan bermuara dimana akhirnya. Karena pernihakan bukan berarti akhir kisah sepasang anak manusia. Jika bukan jodohnya mereka bisa saja berpisah, dan kembali mencari tulang pemilik tulang rusuk yang sesungguhnya. Jika sudah jodohnya, mungkin hanya maut yg memisahkan mereka di dunia.
Semangat ka... sukses selalu untuk karyanya.. ❤
Berdoa aja, semoga Haura lupa sama ngambek dan traumanya..
Mahalan dikit napa, masa nyogok poligami cuma es kriim.. minimal nawarin saham ke..
Baru launching udh ketahuan sumber ghibahnya... anggota lain langsung pada ngaciiir kabuuuur ..
makasih up langsung 2..
Good job Ra, saya dukung... ayooo buat Air semakin jatuh dalam penyesalan...