Niat hati hanya ingin mengerjai Julian, namun Alexa malah terjebak dalam permainannya sendiri. Kesal karena skripsinya tak kunjung di ACC, Alexa nekat menaruh obat pencahar ke dalam minuman pria itu. Siapa sangka obat pencahar itu malah memberikan reaksi berbeda tak seperti yang Alexa harapkan. Karena ulahnya sendiri, Alexa harus terjebak dalam satu malam panas bersama Julian. Lalu bagaimanakah reaksi Alexa selanjutnya ketika sebuah lamaran datang kepadanya sebagai bentuk tanggung jawab dari Julian.
“Menikahlah denganku kalau kamu merasa dirugikan. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku.”
“Saya lebih baik rugi daripada harus menikah dengan Bapak.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Diam-Diam Mengagumi
Diam-Diam Mengagumi
“Saya lebih baik rugi daripada harus menikah dengan Bapak.”
Ucapan lantang Alexa itu terngiang di telinga Julian, membuyarkan konsentrasinya dalam menyusun bahan mengajar untuk esok nanti. Beberapa kali ia harus menutup laptop, membukanya kembali saat ucapan itu menghilang dari kepalanya. Namun kemudian ia harus menutup laptopnya lagi saat ucapan Alexa siang tadi itu terngiang-ngiang lagi.
Merasa tak tenang karena Alexa menolak mentah-mentah niat baiknya, ia lantas pergi ke dapur kecil apartemennya. Menyeduh secangkir kopi, menghidu aroma kopi itu sejenak, seraya memikirkan lagi bagaimana caranya mendekati gadis keras kepala itu.
“Alexandra ... betapa kerasnya hatimu,” gumamnya menarik tipis kedua sudut bibirnya kala teringat gadis manis itu.
Siang tadi ia diusir oleh Alexa. Ia tidak marah ataupun tersinggung. Ia memang pantas diperlakukan oleh Alexa seperti itu sebab kesalahannya pada gadis itu sangatlah besar. Masa depan dan kehidupan gadis itu yang masih panjang sudah ia hancurkan dalam semalam.
Masih segar dalam ingatannya ketika pertamakali ia datang ke Kampus Pelita Bangsa sebagai seorang dosen. Tak sengaja ia bertemu Alexa di kantin kampus. Saat itu Alexa dengan berani menampar dan menyiramkan segelas jus yang diminumnya pada seorang mahasiswa yang berani merayu bahkan berbuat lancang kepadanya.
“Berani menyentuhku aku patahkan semua tulang-tulangmu. Akan kukirim kamu ke rumah sakit tanpa kamu bisa keluar lagi dengan selamat.” Alexa berkata kala itu, saat seorang mahasiswa yang terkenal playboy merayunya, merangkul pundaknya dengan berani dan mengecup pipinya tanpa permisi. Alexa lantas menampar mahasiswa itu dan menyiramkan jus yang di minumnya ke wajah mahasiswa itu.
Julian tersenyum-senyum sendiri jika teringat keberanian Alexa itu. Berani memberi pelajaran pada laki-laki yang berani berbuat lancang terhadap dirinya. Sejak saat itu ia diam-diam mengagumi Alexa. Hanya sebatas kagum tanpa pernah berniat mendekati Alexa.
Namun, senyum di wajah Julian pun surut seketika saat ia teringat peristiwa di malam kemarin. Malam yang membuat ia mengutuk dirinya sendiri yang telah lancang menyentuh Alexa.
“Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku bisa kehilangan kendali?” gumamnya lagi bertanya-tanya pada diri sendiri.
Malam itu ia merasa seperti bukan dirinya sendiri. Meski diam-diam ia mengagumi Alexa, namun tidak pernah sedikitpun terbersit dalam benaknya untuk berbuat lancang dan tidak senonoh pada Alexa. Akan tetapi malam itu, seolah sesuatu telah menguasai dirinya. Sesuatu yang membuat ia kehilangan akal dan kendali atas hawa nafsunya.
Membawa secangkir kopi itu ke sofa dan duduk di sana, Julian mengingat-ingat kembali tentang kedatangan Alexa ke apartemennya kemarin sore. Ia harus menanamkan ingatan demi menemukan sebuah kejanggalan dibalik peristiwa itu.
Namun ia tidak menemukan sesuatu yang berarti, yang bisa membawanya pada sebuah penyebab peristiwa naas itu. Ia pun mengira, mungkinkah perisitiwa itu murni karena ia khilaf lantaran tergoda dengan kemolekan tubuh Alexa?
“Mana mungkin. Selama ini aku bisa menahan diriku. Bagaimana bisa malam itu aku kehilangan diriku,” gumamnya seraya menggeleng tak percaya.
***
Alexa duduk termenung di dalam kamarnya, menunduk di atas meja belajar dengan proposal skripsi di depan matanya. Skripsi yang sudah payah ia kerjakan namun selalu berakhir dengan penolakan dan revisi berulang-ulang kali itu kini sudah sempurna. Tanda tangan Julian sebagai dosen pembimbing pertama sudah tertera di sana. Skripsi itu sudah disetujui oleh Julian, bahkan Julian sudah memperbaiki isinya.
Entah Alexa harus merasa senang ataukah ia harus mengutuk dosen menyebalkan itu. Mengapa skripsinya baru di-ACC setelah terjadi peristiwa naas itu. Apakah dosen itu memang sengaja dan sudah merencanakan ini jauh-jauh hari?
“Dasar tidak tahu diuntung,”umpatnya kesal.
Akan tetapi, mengingat peristiwa malam itu, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Obat yang ia bubuhkan ke dalam minuman Julian seharusnya membuat Julian diare. Tetapi mengapa malah membuat pria itu berhasrat. Beberapa pertanyaan melintas di kepalanya, apakah ia salah menaruh obat? Ataukah Robin yang keliru memberikan obat?
Tapi bagaimana bisa?
“Kamu di mana?” tanya Alexa, menghubungi Robin untuk meminta penjelasan dari laki-laki itu.
“Masih di kampus Alexa sayang.”
“Kita harus bertemu sekarang juga. Aku mau bertanya sesuatu sama kamu.”
“Oke Alexa, sayang. Calon suamimu ini segera meluncur ke rumahmu. Kamu di rumah kan?”
“Jangan ke rumahku bego. Kita ketemu di kafe dekat rumah. Sekarang, tidak pakek telat.”
Tadinya Alexa ingin kembali bermalas-malasan di tempat tidur. Ingin memulihkan kembali kondisi tubuhnya dari demam yang mendadak menghampiri.
Namun hatinya tak tenang teringat kejanggalan itu. Kemungkinan ada yang salah dengan obat yang diberikan Robin kepadanya tempo hari.
“Gimana, Al. Berhasil?” Baru juga Robin mendaratkan pantat di atas kursinya, laki-laki itu sudah lebih dulu bertanya. Sebuah pertanyaan yang mengundang kekesalan di hati Alexa. Membuat raut wajah Alexa berubah menyeramkan seketika.
“Muka kamu kok pucat, Al. Kamu sakit?” tanya Robin lagi, sedikit terkejut melihat wajah pucat Alexa.
Alexa memasang wajah kesal, menghela napas panjang sebelum kemudian berkata, “Obat apa yang kamu kasih ke aku kemarin.”
“Obat pencahar dosis tinggi. Kenapa? Kurang manjur?”
“Kamu beli di mana obat itu? Apa kamu tidak salah ngasih obat ke aku?”
“Obat itu aku dapat dari teman. Memangnya kenapa, Al? Obatnya tidak bekerja dengan baik? Kamu kasih semua obat itu ke Pak Julian kan? Seharusnya Pak Julian sekarang berada di rumah sakit karena diare parah. Tapi aku lihat tadi dia ada di kampus.”
“Kamu yakin itu obat pencahar?”
“Yakin. Yakin sekali, Al. Yang ngasih itu teman aku kok. Memangnya kenapa sih, Al? Rencana kamu berhasil kan? Seharusnya skripsi kamu sudah di-ACC.”
“Skripsiku memang sudah di-ACC. Tapi ...” Alexa merasa dadanya begitu sesak saat teringat malam itu. Malam yang memberinya kesialan yang tak akan pernah ia lupakan dan akan selalu membekas dalam ingatannya. Malam dimana kehormatannya telah direnggut secara paksa.
“Tapi apa?” Robin pun menjadi cemas saat dilihatnya wajah Alexa berubah sendu, dan kedua mata Alexa memerah.
“Al, ada apa, Al? Kamu kenapa?” Perasaan Robin mendadak menjadi tidak enak melihat Alexa yang tiba-tiba menangis.
Alexa tidak menggubris pertanyaan Robin. Ia malah berdiri dari kursinya, lalu hendak pergi meninggalkan kafe itu. Namun tangan Robin dengan cepat mencekal lengannya.
“Cerita ke aku, apa yang terjadi sama kamu. Aku khawatir sama kamu, Al,” kata Robin.
Namun lagi-lagi Alexa tidak menggubris pertanyaan Robin. Alexa justru menghempas tangan Robin dari lengannya lalu membawa langkahnya cepat-cepat meninggalkan kafe itu.
“Al ... Alexa, tunggu, Al,” panggil Robin seraya bergegas menyusul langkah Alexa sampai ke luar kafe. Ia bahkan harus berlari untuk menghentikan Alexa dengan berdiri di depan gadis itu demi menghalangi jalannya.
“Cerita ke aku apa yang sebenarnya terjadi sama kamu? Perasaan aku tidak enak, Al. Pak Julian tidak berbuat macam-macam sama kamu kan?” cecar Robin khawatir.
Alexa menggeleng, tidak melontarkan satu patah kata pun. Ia tidak memiliki keberanian bahkan malu mengungkap apa yang terlah terjadi pada dirinya. Ia lebih memilih bungkam dan merahasiakan hal itu untuk dirinya sendiri.
“Aku cerita pun kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa, Bin. Aku hanya minta, mulai sekarang tolong jauhi aku. Aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku mungkin akan berhenti kuliah.”
Robin tersentak kaget. Diam membeku di tempatnya sampai Alexa pergi mengendarai sepeda motornya.
“Obat apa yang sebenarnya kamu kasih ke aku kemarin, Cok? Kok Alexa mendadak berubah gitu? Padahal kan seharusnya dia senang karena akhirnya skripsinya di-ACC.” Robin bertanya saat ia menemui Ucok, teman yang memberinya obat pencahar itu.
“Maksud kamu?” Ucok balik bertanya.
“Alexa minta aku menjauhi dia. Aneh kan?”
“Tunggu. Apa kamu sudah berhasil meniduri Alexa? Obat itu bekerja dengan baik bukan?”
“Maksud kamu apaan, Cok? Mana mungkin aku gituin Alexa sebelum dia sah jadi istriku.”
“Loh, aku pikir kamu sudah berhasil merawanin Alexa. Kan kamu kemarin minta obat per*ngsang, Bin.”
“Ap-apa?!”
To Be Continued ...
nanti setelah nikah
kamu jerat dia dengan perhatian tulusmu
Maka cinta Akan melekat dalam hati alexa
jangan lupa
sering Bawa ke panti asuhan
melihat bagaimana kehidupan kecil tanpa ibu /ayah
akhirnya menerima pernikahan
kamu gak tau alexa, klo pak Julian anak tunggal perusahaan yg kau incar ditempat lamaranmu kerja
selamat buat nona kecil/Rose//Rose//Rose/
kaget gak tuh Al