Selina, seorang agen narkotika, yang menjadi buronan polisi, akhirnya mati dibunuh kekasihnya sendiri.
Jiwanya bertransmigrasi ke tubuh Sofie, seorang istri CEO yang bertepatan saat itu juga meninggal karena kecelakaan.
Kehidupan kembali yang didapatkan Selina lewat tubuh Sofie, membuat dirinya bertekad untuk balas dendam pada kekasihnya Marco sekaligus mencari tahu penyebab kecelakaan Sofie yang dianggap janggal.
Ditengah dendam yang membara pada Marco, Selina justru jatuh cinta pada Febrian, sang CEO tampan yang merupakan suami Sofie.
Hingga suatu ketika, Febrian menyadari jika jiwa istrinya sofie sudah berganti dengan jiwa wanita lain.
Bagaimanakah kisah selanjutnya?
Apa Selina berhasil membalas dendam pada Marco? Bisakah Selina mendapatkan cinta Brian yang curiga dengan perubahan Sofie istrinya setelah dirasuki jiwa Selina?
CUSS.. BACA NOVELNYA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afriyeni Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubungan Sofie dan Harry
Selina menahan senyum geli teringat reaksi kocak Febrian ketika ia memberikan kotak makan siang yang ia bawa pada Jimmy. Sepasang matanya berbinar dan berulangkali mengerling mencuri pandang memperhatikan tingkah Febrian yang tampak kesal duduk di hadapan Harry.
Sikap Selina yang terlihat sangat bahagia dan seolah dilanda kasmaran, mengundang perhatian Harry yang diam-diam terus mengamati tingkah lakunya sedari tadi. Pria itu jadi heran dengan perubahan sikap Sofie yang selama ini ia ketahui tak pernah hangat dan mesra pada suaminya. Sebab ia tahu, Sofie tak pernah mencintai Febrian.
Wanita itu sengaja menikahi Febrian hanya untuk mendapatkan hartanya saja. Dan semua itu dilakukan Sofie atas perintah Harry. Kenapa Sofie mau melakukannya? Itu karena Harry adalah kakak tirinya Sofie. Harry telah memaksa Sofie untuk mendekati dan merayu Febrian.
Harry mengancam akan membunuh Sofie jika menolak keinginannya. Karena takut dengan ancaman Harry, Sofie terpaksa mengikuti keinginan kakak tirinya itu.
Hingga suatu hari, Sofie yang mengaku hidup sebatang kara tanpa sanak saudara, berhasil mengundang simpati dan membuat Febrian jatuh cinta padanya. Febrian pun menikahi Sofie dan menjadikan wanita itu sebagai ratu dalam hati dan juga rumahnya.
Pernikahan Sofie dan Febrian membuat Harry sangat gembira. Dia merasa peluang untuk menguras harta Febrian sekaligus menjadikan dirinya pebisnis nomor satu di kotanya, mulai terbuka lebar.
Seiring waktu berjalan, Harry juga berhasil mengirim Brenda sebagai mata-mata di perusahaan Febrian. Berkat referensi Sofie, Brenda bisa menjadi sekretaris pribadi Febrian yang terpaksa menerima Brenda karena keinginan Sofie.
Sebenarnya di malam kecelakaan itu, Harry tidak berniat untuk membunuh Sofie. Dia hanya ingin menghabisi nyawa Febrian saja agar Sofie bisa menjadi janda dan menguasai semua aset dan harta milik Febrian dengan cara mudah.
Harry tidak menyangka, Sofie ikut berada dalam mobil itu bersama Febrian. Untung saja Sofie bisa selamat, jika tidak, rencananya bisa gagal total. Percuma saja Febrian mati, jika Sofie juga ikut mati.
Namun sikap Sofie kali ini, terlihat sangat berbeda. Harry curiga, Sofie jatuh cinta pada Febrian dan melupakan tujuan awal mereka berdua untuk menjadi pengusaha sukses dan terkaya di kota itu. Harry ingin tahu apa isi hati Sofie saat ini.
"Lebih baik aku segera pergi. Aku tak ingin berlama-lama disini mengganggu waktu kalian yang sedang asyik berduaan. Lanjutkan saja yang tadi. Aku pergi." Kekeh Harry mendadak bangkit dari duduknya.
Pria itu melangkah santai dengan lagak dua tangannya masuk kantong celana sambil bersiul kecil meninggalkan ruangan Febrian.
Febrian dan Selina mengamati kepergian Harry sejenak, lalu saling pandang kemudian sama-sama melemparkan senyuman.
"Apa mau kita lanjutkan lagi?" Kerling Febrian menggoda Selina.
Selina tersurut mundur seketika menjauhi Febrian.
"Tidak, jangan lakukan itu lagi disini. Aku sangat malu. Apa kamu tidak merasa malu pada Jimmy?" ujar Selina dengan wajah kembali memerah teringat kejadian tadi.
Jujur, dia sangat malu pada Jimmy yang telah melihat mereka bercumbu mesra.
"Tentu saja aku malu. Apalagi saat Jimmy muncul, garudaku sedang berdiri tegak, menantang untuk bertarung. Untung aku berdiri di belakang meja. Jika tidak, apa kamu bisa membayangkan bagaimana penampilanku saat tadi?" Jawab Febrian dengan polosnya.
Selina buru-buru membekap mulutnya dengan kedua telapak tangan. Kalimat Febrian terasa janggal namun lucu menggelitik perutnya. Mau tertawa tapi ia tahan. Dia bisa bayangkan seperti apa rupa garuda yang saat ini pasti sudah menciut menjadi burung pipit.
"Jangan tertawa! Kalau tertawa, aku akan menggigitmu." Gertak Febrian gemas melihat wajah Selina merah menahan tawa.
"Tuan, supnya sudah dipanaskan. Tuan sudah bisa makan sekarang." Jimmy berlari kecil masuk ruangan sambil membawa sup panas yang sudah ia panaskan dan menaruhnya di atas meja tamu.
Mulutnya terjulur maju meniup kedua tangannya yang kepanasan membawa sup.
"Oke... Sup nya sudah di panaskan. Hari ini aku jadi semangat makan karena istriku tercinta." Febrian langsung semangat.
Matanya berbinar ceria menatap aneka masakan yang ditaruh Jimmy, keatas meja tamu yang hari itu special menjadi meja makan.
Selina mengulum senyum melihat Febrian yang jadi semangat makan.
"Kenapa masih berdiri disitu? Sayang, bukankah kamu berjanji akan menyuapkan aku makan?" Tegur Febrian mengejutkan Selina.
"Oh, eh," Selina jadi salah tingkah, melirik Jimmy yang langsung menunduk dan sadar diri.
"Selamat makan Tuan. Aku keluar dulu. Kalau ada perlu apa-apa, Tuan telpon saja. Permisi Tuan, Nyonya." Jimmy buru-buru pamit keluar dari ruangan itu segera.
Walau sedikit kecewa tak bisa ikut menikmati sup yang mengundang seleranya sedari tadi, Jimmy terpaksa bersabar dan berharap, masih ada sisa rezeki yang di tinggalkan sang majikan untuknya.
Selina merasa kasihan melihat Jimmy. Tapi apa daya, Febrian sedang kumat manjanya. Dia tak mungkin mejadikan Jimmy sebagai penonton pertunjukan drama romantis mereka berdua.
*****
"Sini, buka mulutmu. Aaa..." Selina menyuruh Febrian yang bagaikan anak kecil langsung patuh begitu saja membuka mulutnya.
Satu suapan masuk ke dalam mulut Febrian yang terbuka lebar. Saat Selina menyuapkan sendok nasi yang kedua, jari telunjuk Febrian bergoyang sebentar lalu menunjuk pipinya.
"Cium pipi kanan." Ucapnya seolah merajuk.
Selina terbelalak. Febrian memang jahil. Dia sengaja menghukum Selina dengan hukuman yang teramat absurd. Terpaksa, Selina sangat terpaksa. Sabar, Selina harus sabar. Lagipula, hukumannya enak kok. Dia tak boleh menolak. Batin Selina pasrah.
CUUUP...!
Bibir Selina mendarat di pipi kanan Febrian. Febrian menahan senyum. Walau wajah istrinya berubah cemberut, dia merasa puas. Apalagi ketika bibir Selina makin manyun di suapan yang ketiga, ke empat, kelima hingga nasinya habis. Wajah Selina cemberut parah. Bibirnya manyun lima senti.
Kenapa tidak, habis pipi kanan, pipi kiri, jidat, hidung, dagu, semua wajah Febrian sudah habis dia cium. Selina sudah kenyang duluan walau tak makan.
"Sekarang gantian, aku yang suapkan kamu makan." Ucap Febrian mengambil satu kotak nasi dan sebuah sendok serta memasukan aneka lauk yang di bawa Selina kedalamnya.
"Aaa...," Febrian menyuruh Selina membuka mulut ketika ujung sendok yang sudah berisi nasi telah menempel di bibir Selina.
DEG!
Bibir Selina seolah kaku untuk terbuka. Air mata perlahan menetes di belahan pipinya yang merah jambu. Selina teringat nasibnya yang selama ini tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah ataupun ibu.
Tak ada satu pun orang yang pernah menyuapkan dirinya makan. Dari kecil dia hidup terlantar di jalanan. Selina kecil, hidup bersama pengemis. Tiap malam tidur beralaskan kardus bekas dan hidup dari hasil meminta-minta dan makan dari makanan sisa.
Hingga suatu hari ia bertemu seorang ketua mafia bernama Jonathan. Pria itulah yang mendidik dan membesarkan Selina dengan caranya sendiri.
Tak ada kelembutan seorang perempuan yang di ajarkan padanya. Yang ada hanya cara membela diri, supaya kuat dan tangguh dalam menghadapi kerasnya dunia gelap serta menghabisi musuh-musuh mereka yang setiap saat bisa datang menyerang kapan saja.
"Sayang, jangan menangis. Aku sudah memaafkanmu. Kamu tak perlu menangisi hal itu. Apa hukumanku terlalu berat untukmu?" Febrian menaruh kotak nasi kembali dan mengusap air mata istrinya dengan lembut.
Dia merasa sangat bersalah. Dalam pikirannya, istrinya Sofie menangis karena kesal di paksa mencium setiap kali menyuapkan dirinya makan.
"Tidak, aku cuma terharu." Hati Selina bergetar hebat. Sentuhan jemari Febrian terasa sangat lembut menyentuh pipinya. Naluri kewanitaannya tersentuh. Dia tak ingin kelihatan cengeng di hadapan pria itu.
Dia bukan wanita cengeng. Kehidupan keras yang ia lalui selama ini, telah mengajarkannya menjadi wanita yang tegar. Mendadak, Selina teringat akan sesuatu. Ada satu hal penting yang nyaris ia lupakan.
"Maafkan aku sayang. Aku lupa menaruh ponselku dimana. Aku mau cek dulu ke mobil. Sekalian, aku langsung pulang saja." Ujar Selina bergegas bangkit mengganti ekspresi wajah sedihnya menjadi khawatir.
Febrian tertegun melihat sikap istrinya berubah drastis.
"Sofie," panggil Febrian bingung.
Selina mengabaikannya begitu saja. Langkah kakinya setengah berlari keluar dari ruangan Febrian.
Sambil berlari menuju lift, Selina melirik jam tangannya. Waktunya makin mendesak. Dia harus menemui seseorang.
.
.
.
Siapa yang mau di temui Selina?
BERSAMBUNG