“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.13
Tiga bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Tuan Alfa kini tinggal di apartemen Andreas. Setiap hari, ia hanya duduk termenung di kamar, menatap kosong ke arah langit-langit. Hidupnya tak ubahnya bayangan suram, kehilangan arah, tanpa semangat. Dia sudah kehilangan segalanya karena keserakahan dirinya dan sang anak.
Sementara itu, Andreas sibuk mati-matian mencari investor untuk restoran dan hotelnya. Ia sudah mengetuk banyak pintu, tapi hasilnya selalu sama: penolakan. Harapan untuk mendapatkan bantuan dari perusahaan keluarga pun pupus, karena kini semuanya telah diambil alih oleh pihak lain karena terlilit hutang.
“Andai saja Daisy masih ada disisiku…” gumamnya lirih. Andreas menghela napas panjang, tangannya gemetar saat meraih bingkai foto di dashboard mobil. Foto Daisy saat hamil, senyum tulus yang dulu selalu menenangkannya.
“Daisy… aku rindu.” Bisiknya, menelusuri permukaan kaca foto itu dengan ibu jari.
Dulu, saat Daisy mengandung, ia pernah berjanji akan mengakui anak itu jika memang terbukti darah dagingnya. Janji yang terucap begitu yakin—tapi pada akhirnya terhempas bersama keputusan-keputusan bodoh yang ia ambil.
Andreas menggertakkan gigi. Rasa sesal menggerogoti dadanya. “Semua gara-gara Ivana. Kalau saja dia nggak usulan ide gila itu… mungkin Daisy masih ada di sampingku sekarang. Masih mau bantu aku, seperti dulu.”
Tangannya mengepal kuat di atas setir mobil. Seketika ia memukulnya dengan keras.
Brak!
Dentuman itu menggema di dalam kabin. Namun rasa sakit di tangannya tak sebanding dengan sakit yang menggerogoti hatinya.
****
Di sisi lain, Daisy sudah mulai bisa keluar rumah setelah berbulan-bulan fokus dengan Vio. Tujuan pertamanya adalah bertemu dengan sahabatnya, Zara. Vio sementara ia titipkan pada Jasmin.
“Daisy!” pekik Zara begitu melihatnya. Ia langsung memeluk Daisy erat, menggoyangkan tubuhnya ke kanan-kiri seperti kebiasaan lama mereka.
Daisy tertawa geli. “Ya ampun, Ra. Masih sama aja kelakuan lo.”
“Lo makin cantik aja sekarang, sumpah. Ibu bos banget auranya,” puji Zara.
“Cantik apanya, Ra. Berat badan malah nambah, gara-gara Vio doyan banget nyusu. Aku juga jadi gampang lapar,” cibir Daisy pada dirinya sendiri.
Zara terkekeh. “Masih langsing kok. Udah, ayo duduk. Gue pesen minum sama cake favorit lo.”
Mereka duduk di dekat jendela. Cafe itu ramai sekali, suasana hidupnya membuat Daisy ikut tersenyum bangga.
“Gila, makin rame ya,” celetuk Daisy.
“Iya, sejak orang-orang tahu lo lahiran, cafe makin laris. Mungkin rezekinya Vio,” jawab Zara. Ia bahkan menunjukkan laporan penjualan toko bunga yang juga ikut naik.
Daisy tersenyum lega. “Makasih, Ra. Kalau nggak ada lo, aku nggak tahu gimana usaha ini bisa jalan.”
“Udah deh, jangan mellow. Mending lo ceritain tentang Vio. Gue penasaran banget! Katanya udah bisa angkat kepala? Udah bisa cemburu sama Damian juga, hah?” goda Zara.
Daisy tertawa. “Iya, bener. Anak itu bener-bener saingan aku sekarang. Bahkan kadang kalau aku deket sama Damian, dia langsung nangis.”
Zara ikut tertawa keras. “Ya ampun, definisi lo lahirin saingan sendiri. Parah sih, Sy.”
Mereka tenggelam dalam obrolan hangat, sampai akhirnya Zara menyinggung sesuatu yang membuat wajah Daisy berubah.
“Eh, tapi hubungan lo sama Andreas gimana? Masih lanjut?”
Daisy mendengus. “Putus. Udah selesai.”
Zara langsung menjatuhkan diri ke lantai, pura-pura sujud syukur. “Alhamdulillah! Gue seneng banget! Lo akhirnya putus sama cowok nggak guna itu. Gue denger bokapnya bangkrut, kan?”
“Iya, aku tahu. Daddy juga udah cerita. Andreas bahkan sempet dateng ke kantor, tapi langsung ditolak. Untung aja aku nggak sempet laporin dia ke polisi,” jelas Daisy, nadanya dingin.
Zara mengangguk mantap. “Bagus. Lo sekarang fokus aja ke Damian sama Vio. Jangan lagi deh inget masa lalu.”
Daisy tersenyum tipis, mencoba mengiyakan. Tapi jauh di hatinya, bayangan kehidupan lalu dan pengkhianatan masih sesekali muncul. Daisy tidak bisa melupakannya.
Sementara itu, di rumah besar keluarga Wishnutama, Jasmin mendadak pusing saat menjaga Vio. Tubuhnya lemah, mual mendadak, sementara Vio rewel ingin jalan-jalan.
Dengan terpaksa, Jasmin menghubungi Niklas. “Pulanglah cepat. Vio nggak mau tenang.”
Setelahnya, ia menitip Vio pada Bi Mina di halaman belakang. Tapi kelelahan membuatnya makin murung. Bahkan ia sempat mengirim pesan pada Daisy agar membawakan makanan pedas—hal yang tak biasa.
Daisy membaca pesan itu saat masih bersama Zara. “Tumben Mommy pengen pedas,” gumamnya bingung.
Tapi perhatiannya teralihkan saat melihat keributan di sebuah toko. Seorang perempuan berwajah familiar—Mia, kekasih Andreas yang dulu ikut dalam rencana pembunuhannya—dia tertangkap tangan mengambil barang.
Daisy mendekat. “Ada apa ini, Pak?” tanyanya pada manajer toko.
“Wanita ini mencuri koleksi tas kami, Nona.”
Belum sempat Daisy menanggapi, suara yang amat dikenalnya terdengar.
“Daisy, sayang! Kamu di sini!?” Andreas muncul tiba-tiba.
Daisy mendengus dalam hati. Sayang? Dasar nggak tau malu.
Mia langsung meradang. “Sayang? Dre, siapa yang kamu panggil sayang?”
Andreas menatap Mia dingin. “Gue panggil Daisy, bukan lo.”
Manajer toko menyela. “Lalu bagaimana dengan masalah ini, Nona?”
Daisy hanya tersenyum miring. “Itu urusan mereka. Lelaki ini kan pacarnya dia.”
Andreas panik. “Bukan! Gue bukan pacarnya. Gue bahkan nggak kenal dia.”
Daisy berbalik, enggan memperpanjang. Tapi Andreas mengejarnya, meninggalkan Mia yang kemudian diseret security. Jeritan Mia bercampur teriakan hinaan para pengunjung.
Sementara itu, Andreas berhasil meraih Daisy. Tubuh Daisy sempat limbung hingga jatuh ke pelukan Andreas.
“Andreas!” Daisy terkejut, lalu menamparnya keras. “Jangan seenaknya peluk gue!”
Andreas menunduk dekat telinganya. “Kenapa? Kita pernah lebih dari ini, Daisy.” Bisikannya membuat Daisy mengepalkan tangan.
Matanya melirik paper bag yang jatuh, berisi lingerie. Andreas tersenyum miring sambil memungutnya.
“Berikan!” Daisy buru-buru merebut kembali. Wajahnya panas, hatinya bergemuruh. Dia pun bergegas pergi tanpa menoleh.
Dari kejauhan, seseorang berdiri dengan kamera ponsel. Senyum sinisnya mengembang saat menatap hasil foto: Daisy dalam pelukan Andreas.
“Aku akan lakukan apa saja untuk memisahkan kalian.”