Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.
Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri
Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?
Ia pintar dalam hal .....
Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Sang pagi menjelang
Di luar rumah tua itu terdengar riuh warga yang penasaran.
"Ada apa ini?" salah seorang warga yang kepo.
"Tidak tahu, tuh saya juga baru datang," ucap seorang wanita yang ada dalam kerumunan.
Suara sandal gesek di aspal, burung gereja berkicau, bisik-bisik ramai, motor pelan berhenti, pintu pagar dibuka—menghiasi sekitar rumah tua itu.b"Cangcimen... cangcimen... kacang, kuaci, permen!" Ada seorang penjual yang menerobos kerumunan.
"Pak, bukan tempat menjual di sini...! Emm, ada rokok, kah?"
ucap warga di belakangnya.
"Tidak ada...!" Teriak penjualan itu.
Bisik-bisik masyarakat pun tak terhindarkan.
"Mak... mobil polisi, kah?"
"Bukan, Nak... itu mobil pemadam kebakaran," ucap seorang ibu sambil mengusap kepala anaknya di kerumunan orang.
"Ohhh, begitu ya, Mak." Anak itu mengangguk pelan.
"Bukannnn...." Anaknya dijitak.
"Ehhh, Bu... jangan bikin rusuh," warga lain bersahut.
"Maaf, Pak, maaf. Nak, kita pulang saja. Kamu bikin malu..." Ibu itu menarik tangan anaknya lalu bergegas pulang.
Para wartawan pun satu per satu datang ke lokasi, mengerumuni rumah tua itu.
(Kembali ke dalam rumah)
Rasa cemas dan khawatir menyelimuti Rizal dan Sinta. Rizal mondar-mandir tidak jelas. Sinta masih memeluk Riski.
Derit pintu tua pun terdengar memecah keheningan.
Di bawah tangga, terlihat tiga orang pria berseragam masuk melalui pintu depan. Terlihat di belakangnya ada dua orang petugas medis yang mengikuti. "Sinta, kamu jaga Riski dulu. aku akan ke bawah untuk menemui mereka." Ucap Rizal.
"Ummm... cepat." Sinta mengangguk pelan sembari mengusap kelopak matanya yang bengkak. Kemudian Rizal pun menuruni tangga dengan hati-hati.
"Pak, tolong saudara saya terlebih dahulu. Dia ada di lantai dua. Ada teman saya juga di atas yang menjaganya." Rizal tak bisa berhenti gelisah.
"Apakah ada korban lain atau seseorang di sini yang perlu bantuan medis?" ucap Pak Erwin, seorang kapolsek setempat.
"Iya, Pak... ikuti saya."
Mereka berjalan cepat ke arah dapur dengan Rizal sebagai penuntun jalan.
"Ini, Pak. Ada seorang wanita yang pingsan di samping mayat itu. Untuk identitasnya saya belum tahu, tapi tolong dia terlebih dahulu."
Di belakangnya ada Pak Sahrul, seorang dari tim Inafis.
Ia datang tanpa suara berlebihan. Suara langkah kakinya berjalan pelan tapi pasti menuju lokasi kejadian. Di antara Rizal dan Kapolsek—di ruang yang diliputi bau tidak sedap dari darah yang mengering—tenang, rapi, dan tanpa ekspresi.
Bersama rekannya, Pak Harjon, pria berkacamata dengan rompi hitam bertuliskan INAFIS, jongkok di samping jenazah. Ia tak bicara banyak. Hanya mengangguk tipis pada petugas yang lebih dulu mengamankan TKP, lalu mulai membuka koper kecil berisi alat identifikasi.
Kamera saku dikalungkan di lehernya. Jepretan demi jepretan terdengar, seperti detik jam yang menghitung waktu sejak napas terakhir korban.
"Baiklah. Harap tunggu, tim medis segera masuk ke dalam. Mereka sedang mempersiapkan peralatan mereka di luar."
"Iya, Pak. Cepat, tolong."
Sementara Pak Harjon dan Pak Sahrul sedang memotret luka dan jejak darah di lantai, suara langkah kaki dari luar terdengar makin cepat.
Terlihat dua orang pria dan satu orang wanita yang mengenakan pakaian dengan setelan oranye lengkap dengan rompi dan pelindung wajah—menerobos masuk membawa tandu dan tabung oksigen.
Bunyi sepatu bot mereka terdengar sahut-menyahut mengiringi langkah mereka.
Mereka masuk tanpa banyak bicara. Aroma darah dan keringat menyambut tajam, bercampur dengan keheningan yang menakutkan.
Rizal segera menghampiri tim medis itu.
"Pak, tolong. Saudara saya ada di lantai dua. Dan seorang wanita di dapur. Tolong, Pak, tolong... segera..." Wajahnya dihiasi dengan kekhawatiran yang dalam.
Yang pertama mereka temui adalah wanita yang terbaring di lantai dapur, tubuhnya meringkuk dengan napas yang tidak stabil. Seorang polisi sudah berjongkok di sampingnya, memegangi denyut nadi sambil memberi ruang.
Rizal berdiri di sekitar Dinda—menatap kosong ke arah Dinda yang mulai dipasangi oksigen. Tapi pikirannya sudah ke atas—ke Riski. Tanpa buang waktu, ia berlari ke arah tim medis yang lain untuk menunjukkan lokasi Riski. Dan mereka pun mulai menaiki tangga menuju lantai dua.
"Tekanan darah sedikit stabil, tapi napas lemah. Kemungkinan karena kelelahan," ujar salah satu petugas medis, sambil membuka alat monitor kecil. Dengan cekatan, ia menempelkan tabung oksigen ke wajah Dinda.
"Tidak ada luka atau cedera. Kemungkinan hanya syok berat karena kelelahan."
Sementara tim medis lain segera naik ke lantai dua, diikuti Rizal dari belakang.
Sinta yang melihat kedatangan tim medis segera menyerahkan Riski ke mereka. Wajah sedihnya seketika tersenyum tipis, seolah melihat malaikat tak bersayap tiba di hadapannya.
"Tangannya cedera parah. Entah apa yang terjadi, tapi seperti terjadi perkelahian. Wajahnya pucat. Ia kehilangan darah yang cukup banyak."
Tim medis pun segera memberi pertolongan pertama ke Riski. Luka di lengannya dibersihkan dan diperban agar menghindari infeksi yang berarti. Riski pun diperiksa tekanan darahnya dan dipasangi tabung oksigen.
Setelah oksigen dipasang, oksigen pun mengalir. Dada Riski naik-turun pelan. Sinta memegang tangannya erat, seolah takut melepaskan.
Dalam waktu kurang dari dua menit, tandu dibentangkan. Tim medis mengangkat Riski. Napas Riski lemah, seperti orang yang sedang menghadapi kematian yang memburu. Wajahnya yang pucat pasi membuat Sinta khawatir. Anggota kepolisian pun memberi tanda pembatas di area sekitar. Melihat hal itu, wajah Rizal mengerut. Gelisah bergejolak dalam dadanya.
Setelah pertolongan diberikan ke Riski, mereka bergegas turun ke bawah.
Rizal dan Sinta mengikuti dari belakang, mengiringi langkah tim medis yang membawa tandu tersebut.
"Pak Rizal, setelah ini saya ingin minta keterangan di kantor. Guna melancarkan penyelidikan."
Langkah kaki Rizal sejenak berhenti. Tanpa mengatakan apa pun, ia mengangguk pelan.
Di luar rumah, suara warga riuh. Tapi di dalam, suasana tetap hening—seperti rumah itu sendiri ikut menyaksikan dan menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Pintu rumah tua itu berderit pelan saat dibuka dari dalam.
Suara langkah kaki menggema ke luar, memecah keramaian yang sempat hening beberapa detik.
Satu per satu, petugas medis keluar dari rumah—tubuh mereka dibalut seragam oranye, tandu digenggam erat, bergerak mantap menuju jalan depan.
Warga langsung bergeser, membentuk lorong diam.
Tak ada yang berteriak. Tak ada yang berani menebak-nebak. Hanya bisik-bisik yang terbang rendah di udara, seperti kabar buruk yang tak butuh pengeras suara.
Pintu belakang mobil ambulans putih yang terparkir di depan rumah itu terbuka lebar. Seorang petugas berdiri di belakang, memberi isyarat tangan ke rekan-rekannya.
Dinda dibawa lebih dulu.
Tubuhnya masih lemas, masker oksigen menutupi wajahnya. Rambutnya menempel di pelipis, dan tangan kirinya menggenggam selimut pelan-pelan—mungkin refleks, mungkin hanya sisa kesadaran samar.
Di belakangnya, giliran Riski.
Dada naik-turun pelan di balik masker oksigen. Wajahnya dipenuhi luka gores. Perban di lengannya masih basah oleh darah yang belum sepenuhnya berhenti.
Sinta berjalan di samping tandu, menggenggam ujung jari Riski yang menggantung di sisi kasur darurat.
Rizal mengikuti di belakang, mata tajamnya tak lepas dari tubuh sahabatnya yang terluka.
Saat keduanya sudah berada di dalam, suara pintu ambulans ditutup dengan bunyi keras, logam berat bertemu bingkai baja.
“Dor!”
Suara itu seperti tanda akhir dari sesuatu.
Akhir dari malam yang tenang. Akhir dari kepolosan.
Ambulans mulai bergerak pelan. Sirene belum dinyalakan.
Mungkin karena nyawa di dalamnya belum benar-benar hilang. Tapi juga belum benar-benar selamat.
Di sisi jalan, kerumunan warga masih menatap diam.
Ada yang merekam diam-diam. Ada yang hanya menggenggam dadanya, mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi rumah tua itu tak memberi jawaban. Ia hanya berdiri, bisu dan dingin, menatap kepergian ambulans sambil tetap menyimpan rahasianya sendiri.
Tak... tak... takk...
Dari dalam rumah tua itu, suasana seketika tegang.
Seorang wanita bertubuh tinggi semampai, memakai setelan hitam dengan kacamata hitam di matanya, berjalan mendekati mayat itu.
"Pak Kapolsek. Sepertinya ini bukan kasus biasa," ucap lirih wanita itu.
Di antara para penyidik yang mengerjakan tugasnya, ia menatap dengan mata yang tajam ke arah mayat itu.
"Maksudnya Anda, Bu Selvi?" ucap Pak Kapolsek dengan nada pelan. Dalam suara itu terpampang tanya yang besar.
"Itu dia... Richardo."