Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba di Laut Tak Berangin
WUUUUSSSHHHH——!!
Angin liar menyapu tebing tinggi di ujung daratan terakhir. Debu putih beterbangan, melesat ke arah laut yang membentang luas tanpa satu pun gelombang. Di hadapan mereka, terbentang Laut Tak Berangin—tempat yang sunyi, hitam, dan tak mengizinkan suara untuk hidup.
Zhang Wei berdiri di ujung tebing, jubahnya berkibar pelan. Tatapannya tajam menusuk ke kejauhan, menelusuri permukaan laut yang tampak begitu damai namun menyimpan kekuatan yang mengerikan.
“Di bawah sana,” gumamnya pelan, “tertidur satu dari empat makhluk kolosal penjaga alam rahasia ini… Gurita Pemakan Jiwa.”
Keempat rekannya berdiri beberapa langkah di belakangnya. Wajah mereka tampak tegang, tubuh siaga.
“Mahluk itu setara Deific Realm tahap awal…” bisik Fei Yuan, matanya menyipit menatap air yang tak bergeming. “Dan anak-anaknya… jumlahnya terlalu banyak.”
Ruo Lian mengangguk perlahan. “Aku pernah membaca catatan kuno tentang makhluk itu. Ia bisa menelan jiwa tanpa menyentuh tubuh. Tatapannya saja cukup untuk melumpuhkan Martial Ancestor biasa.”
“Kita tidak bisa melawannya secara langsung,” ujar Shen Dou, nada suaranya pelan, nyaris seperti menyatu dengan desau angin. “Bahkan jika kita bergabung… kita hanya akan menjadi umpan.”
Yan Zhuan, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara, “Tuan Muda… apa kau yakin ingin tetap mengambil lumpur itu?”
Zhang Wei tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan denyut alam rahasia ini melalui kulitnya, melalui hawa laut yang dingin dan tajam seperti pisau perak.
“Lumpur itu sangat penting… dan sekarang satu-satunya waktu untuk mendapatkannya.”
Ia menoleh perlahan ke belakang, memandang mereka satu per satu.
“Kalian tidak perlu bertarung melawan induknya. Kekuatan kalian tidak akan cukup. Tapi kalian bisa menjaga perimeter. Anak-anak gurita itu… jika mereka menyerang, kalian yang harus menahan mereka. Gangguan sekecil apa pun bisa membuatku gagal.”
Fei Yuan mengangguk. “Kami mengerti.”
Zhang Wei melangkah mundur dari tebing. Ia menggelar gulungan kecil dari dalam cincin penyimpanannya, dan menancapkan tiga batu giok di atas tanah, membentuk garis melengkung.
“Besok pagi, ketika energi bulan memudar dan matahari belum sepenuhnya muncul… aku akan turun.”
Ia berdiri, menatap laut sekali lagi.
“Jika makhluk itu muncul… tugas kalian hanya mendukungku dari jarak aman. Jangan sesekali mencoba menyusulku.”
“Lalu kau sendiri?” tanya Shen Dou.
Zhang Wei menatap ke bawah, pada pedang kelabunya yang terbungkus kabut abu-abu tipis. Suara angin seperti menjawab diam-diam.
“Aku tidak akan mati di tangan makhluk laut.” Suaranya tenang.
Tak seorang pun membantahnya.
Malam mulai turun, langit berubah gelap pekat. Kabut naik perlahan dari laut, seperti napas makhluk purba yang belum bangkit. Kelima sosok itu tetap berdiri di tebing, mata mereka tak lepas dari laut yang diam—menanti hari esok, saat langkah nekat mereka akan dimulai.
***
RAK...
RAK...
RAK...
Suara langkah-langkah ringan namun menyayat, menggema di antara pepohonan kuno yang menjulang ratusan meter ke langit. Tanah berlapis lumut merah tua itu bergemetar setiap kali mereka melewatinya. Ranting-ranting mati rontok satu per satu, seolah takut menahan kehadiran lima sosok yang baru saja memasuki jantung Hutan Malam Hijau, salah satu area terlarang dalam alam rahasia Qianlong.
Kabut kehijauan pekat menyelimuti jalur yang mereka lewati, bergerak seiring tarikan napas mereka. Dan di tengah kabut itu, berdiri sosok tinggi besar dengan kulit bersisik kehijauan, matanya menyala kelam dengan garis merah menyala melingkar seperti ular melingkar.
"Semakin dekat..." desisnya sambil menjulurkan lidah panjangnya yang bercabang. "Darah dalam tubuhku bergetar. Buah itu... tak jauh lagi."
Itulah Sanca Iblis. Makhluk berdarah murni dari garis keturunan kuno ras siluman ular langit.
Sosok lain melangkah mendekat dari sisi kiri. Berwujud ramping, namun tubuhnya dilapisi kulit seperti besi cair berwarna perak hitam. Suara napasnya mengandung dengungan elektromagnetik yang halus.
"Kau yakin ini tempatnya?" gumamnya datar.
Sanca Iblis mendelik. "Hutan ini adalah tempat kelahiran leluhur kita yang pertama... Qi yang tertinggal di sini tak akan salah."
"Aku tidak meragukan darahmu," ucap siluman perak itu dingin. "Aku hanya tidak ingin mengulang kegagalan."
Namanya Lei Mo, siluman petir dari garis keturunan burung halilintar purba. Tubuhnya menyimpan muatan listrik dalam skala tak terukur, dan gerakannya mampu memutus dimensi ruang dalam sekejap.
Dari sisi kanan, satu suara tawa kecil terdengar. Suara yang tajam dan menusuk, seolah berasal dari makhluk yang terlalu senang melihat kehancuran.
"Hihihi... Tapi kali ini kita tak akan gagal," ujar siluman berambut merah menyala yang menggulung seperti api. Tubuhnya kecil, tapi aura panas yang terpancar darinya mengubah embun jadi uap di sekitarnya. "Karena aku sudah tak sabar ingin membuat semuanya meledak."
Yan Nuo, siluman api kehancuran. Sifatnya kekanak-kanakan, namun kekuatannya menyaingi pasukan penuh. Ia pernah membakar seekor naga roh hidup-hidup hanya untuk melihat warna apinya.
"Lupakan soal meledakkan sesuatu, Yan Nuo," potong suara dalam yang datang dari belakang. Sosok tegap berkepala serigala dengan bulu hitam mengkilap berjalan perlahan. Bahunya dipenuhi luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
"Fokus pada misinya. Buah itu hanya bisa disentuh jika kita mengaktifkan segel darah. Kita tak bisa sembrono."
Lang Ke, siluman serigala malam. Taktisi di antara mereka. Dialah yang pernah memimpin penyerangan ke wilayah barat dua dekade lalu dan selamat seorang diri dari hadangan sekte kuno. Tubuhnya menyimpan kecepatan dan kelicikan yang melampaui siluman biasa.
Kelima sosok itu kini berdiri membentuk lingkaran di tengah hutan. Angin di sekitar mereka berhenti. Waktu seolah melambat. Di bawah kaki mereka, akar-akar pohon kuno mulai menyala samar, membentuk pola lingkaran darah.
"Aku bisa merasakannya," bisik Sanca Iblis sambil menunduk. "Buah itu... ada di bawah tanah. Dijaga oleh segel kehendak kuno."
Lang Ke menyipitkan mata. "Kita perlu mengaktifkan formasi warisan. Tapi itu berarti... kita harus menyatu dengan darah tanah ini."
Lei Mo mendengus. "Mudah. Jika itu membuka jalannya, aku tak keberatan."
Sanca Iblis tersenyum menyeringai. Lidahnya menjilat udara. "Kita akan membuka segelnya... dan dunia akan berubah."
Kelima siluman muda itu duduk bersila di atas pola darah. Kabut berputar, tanah berdenyut, dan suara lirih mulai menggema dari balik tanah—suara ratapan yang terkunci selama ribuan tahun.
Dan di bawah tanah... sesuatu mulai bergerak.