"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Selamat Malam, mamas!
Motor sport berwarna hitam dengan suara raungan yang lembut di telinga, memasuki gerbang monas. Dea menegakkan punggungnya lalu menatap takjub monumen yang menjulang tinggi dengan sorot cahaya lampu beraneka bentuk dan tulisan.
"Ini Monas ya pak?" tanya Dea.
"He'em... Kamu baru pertama kali ke sini, kan?" tanya Devan memberhentikan laju motornya di halaman parkir monas.
"Kata papa, waktu aku umur empat tahun pernah di ajak naik ke atas. Tapi aku sudah lupa bagaimana dalamnya," ucap Dea.
"Ayo kita ke atas!" ajak Devan lalu mengambil telapak tangan Dea, jari jemari mereka saling mengunci dan berlari dengan riang ke arah pintu masuk.
Devan sempat berkoordinasi sebentar dengan petugas untuk mendapat ijin naik hingga puncak monas, karena malam itu jam kunjungan telah habis.
Senyuman Dea tidak pernah hilang dari wajahnya saat mereka menaiki lift ke atas. Pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan jalan raya dengan gemerlap lampu kota di saat malam sungguh memukau.
Dea mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan semua pemandangan yang sulit ia jabarkan melalui kata-kata. Sementara Devan diam-diam mengabadikan senyum bahagia Dea di ponselnya.
"Kamu bisa sebahagia itu hanya dengan memandang suasana kota di malam hari," ucap Devan menatap Dea dengan tatapan teduh.
Dea tersenyum geli, "dari kecil sampai dewasa yang aku lihat hanya hutan, Pak. Karena papa bekerja jadi polisi hutan di Palangkaraya. Rumah kami dekat dengan hutan lindung, jadi ya... Orang utan ini pertama kalinya ke Kota." Dea menunjuk dirinya sendiri saat mengatakan orang utan.
Devan terbahak, "kalau orang hutannya secantik ini, aku rela berteman dengan bekantan, harimau dan penghuni hutan lainnya."
Ia mengambil tangan Dea untuk kembali digenggam. "Aku pernah ke Kalimantan, tapi hanya untuk berburu."
Ucapan Devan membuat Dea melepaskan genggaman tangannya. Devan menautkan alisnya menatap wajah Dea yang tiba-tiba membuang muka, seperti sedang menghindari tatapan Devan.
"Kenapa?" tanya Devan pelan.
"Aku benci para pemburu. Mereka perusak ekosistem, manusia minim nurani, pembunuh," ungkapnya.
"Tidak bisa dibilang seperti itu Dea, kalau memburu ba bi dibolehkan. Karena ba bi termasuk hama bagi petani."
"Apa hanya ba bi? Kalau tujuannya membunuh ba bi mengapa banyak ditemukan hewan dilindungi mati karena tertembak peluru pemburu? mengapa banyak tanaman langka yang mereka rusak," tanya Dea, wajahnya terlihat kesal.
Devan diam. Ia masih mengingat saat dia begitu gembira saat pelurunya bisa menembus punggung beruang madu di hutan Kalimantan. Lalu mereka tinggalkan begitu saja tanpa diberi pengobatan atau dikubur juga hewan itu telah mati.
Lanjut Dea, "Nantan pukung pahewan, nantan bukit panjang, nantan sungai saka, danau baru, nantan tana kaya, bahu lanyau," tutur Dea melantunkan mantram orang Dayak.
"Aku tidak paham," jawab Devan.
"Mensucikan pulau hewan, mensucikan perbukitan, mensucikan sungai kecil, danau, hutan, mensucikan tanah ladang dan bekas ladang. Itu artinya."
"Lafaz itu adalah mantra masyarakat Dayak yang sangat menjaga alam semesta, melestarikan ekosistem, mereka berburu ba bi hanya di ladang mereka, bukan di hutan. Karena ba bi juga rantai makanan hewan liar lainnya di hutan. Bukan untuk dibunuh lalu ditinggalkan hingga membusuk!" lanjutnya lagi dengan bibir bergetar.
"Speechless," bisik Devan
"Kamu sangat memahami alam dan tradisi di sana, De," puji Devan.
"Papaku meninggal karena peluru para pemburu menembus jantungnya. Mereka perusak dan pembunuh." Dea meninggalkan Devan yang seketika diam terpaku.
Hati Dea rasa teriris mengenang kembali kematian papanya yang terbunuh karena ulah pemburu.
"De... Maaf." Devan tidak bisa berkata-kata lagi, ia mengikuti langkah Dea menuju lift.
Keheningan melanda.
"Apa kamu masih keturunan suku Dayak?" tanya Devan untuk memecah keheningan di dalam lift.
"Papa dan mama orang Jawa. Mereka lahir dan besar di Jawa. Papa ke Kalimantan karena surat tugasnya di sana untuk masa dinas tiga tahun. Tapi, waktu tiga tahun membuat papa mencintai tanah dan hutan Kalimantan. Promosi jabatan sering beliau dapatkan, papa tidak mau meninggalkan hutan dan semua makhluk yang menjadi temannya sehari-hari." tutur Dea.
"Emh... Mamamu?" tanya Devan hati-hati.
Sebenarnya Devan sudah tahu mengenai mama Dea yang sudah memiliki keluarga baru. Tapi ia ingin mendengar ceritanya langsung dari Dea.
Obrolan terjeda karena mereka sudah keluar dari lift. Saat akan menuju ke parkiran, hujan turun dengan deras. Mereka berlindung di pintu penghubung ruang bawah tanah dengan jalan menuju parkiran.
Dea menarik napas begitu dalam, lalu melanjutkan obrolan yang terjeda.
"Mama sudah kembali ke Jawa saat aku masuk SMP. Dia tidak bisa hidup terlalu dekat dengan alam liar. Mama suka sesuatu yang dinamis dan kehidupan urban yang bersifat materialistis, menyukai perubahan dan tidak menyukai kehidupan yang lambat seperti kehidupan di desa."
"Bagi mama... papa dan aku adalah manusia yang tidak memiliki masa depan," ucap Dea seraya menunduk menatap ujung sepatunya yang terkena cipratan air hujan.
"Kenapa begitu?" tanya Devan
"Karena kami menyukai hal-hal yang bersifat konstan. Seperti kami sangat sabar menempuh perjalanan ke kantor dan sekolah dengan menggunakan kano berjam-jam," tutur Dea.
"Dan kamu tidak pernah mengeluh dengan rutinitas itu?" Devan memperhatikan bulu mata Dea yang bergerak-gerak dengan cantiknya.
Dea menggeleng, "selagi ada papa, rutinitas itu sangat menyenangkan. Kami bercerita banyak hal, tentang hewan-hewan sungai, tentang pusaran air yang terjadi karena ketidakstabilan arus, masyarakat sekitar bilang sebagai pertanda musim kering sebentar lagi akan datang."
"Menarik. Kamu memiliki seorang papa yang baik."
"Ya," Dea tersenyum manis sambil memejamkan mata, menimang kenangan bersama papanya, wajahnya terlihat seperti anggora yang sedang dielus-elus kepalanya.
Pikiran Devan melayang pada putri kecilnya Zivanna. Betapa sering ia meninggalkan Zivanna sendirian, dan hanya di temani para maid di rumah. Perasaan rindu bercampur rasa bersalah perlahan memenuhi hatinya.
Hujan mulai reda, menyisakan rintik gerimis halus yang bisa diabaikan. Dea mengajak Devan beranjak dari tempat yang kini telah basah oleh kenangan.
Setelah memakaikan helm di kepala Dea dan menunggu gadis itu duduk dengan nyaman, motor melaju perlahan menyusuri jalanan aspal yang basah dan mulai lengang. Toko dan warung-warung tenda di pinggir jalan mulai menggulung layar karena dagangan yang telah habis juga malam yang semakin larut.
Perjalanan pulang mereka dinikmati dalam diam. Namun, dua hati itu diam-diam mensyukuri pertemuan asing tersebut. Sesekali tangan Devan meraba lembut punggung tangan Dea sambil menampilkan senyuman di pantulan kaca spion, dan Dea memperhatikan sikap manis Devan melalui kaca spion.
Kini mereka sudah berdiri di depan pintu kamar hotel tempat Dea menginap bersama Laras. Devan mengusap hidungnya yang mancung dengan perlahan.
"Dea, terima kasih untuk malam ini." Devan memperhatikan setiap inchi wajah Dea. Seakan sedang merekam segala bentuk dan gerakan panca indera yang ada di diri Dea.
"Aku... Seharusnya aku yang mengucapkan itu. Kalau tidak menerima tawaran bapak, aku nggak pernah lihat monas," Dea tertawa kecil.
"Ya betul, seharusnya kamu yang berterima kasih, tadi aku hanya basa basi agar kamu mengerti." Devan mengerutkan batang hidungnya membentuk mimik lucu untuk menggodanya.
"Aku sangat mengerti, terima kasih banyak Mr. Macchiato." Dea menangkupkan tangannya di depan dada lalu sedikit membungkukkan badan.
"Just a thank you?" tanya Devan menggoda.
Ada yang aneh dari cara Devan menatapnya. Dea mengedipkan matanya dengan cepat secara berulang lalu menggigit ujung kukunya tanpa sadar.
Tangan kekar itu mengulur ke atas kepala Dea, mengelusnya perlahan. "Berjanjilah, kamu harus kuat dan bangkit dari trauma yang saat ini kamu alami." Devan melirik sekilas bibir Dea, rasanya ingin sekali mencicipinya.
"Dea," panggilnya. "Jangan panggil aku bapak, kamu bisa panggil aku mas Dev atau mas Vano." Devan menarik bibirnya hingga membentuk garis.
"Kalau boleh tahu... Kenapa ma—mas begitu peduli padaku?" tanya Dea gugup.
Devan terdiam. Lama.
Sebuah rasa telah hadir mempengaruhi komitmen dan idealisme yang ia jaga selama ini. Tapi dia belum berani mengakui jika ia sedang jatuh cinta pada gadis kecil yang memiliki tatapan teduh dan hidung menggemaskan yang sedang berdiri di hadapannya.
Ada Kasandra dan Zivanna dalam hidupnya. Ada karier dan nama baik yang harus ia jaga. Jika ia mengakui sekarang tentang perasaannya pada Dea, di saat semua masih terlihat baik-baik saja... Apakah Dea mau dijadikan perempuan kedua dalam hidupnya?
Devan menundukkan kepala dan garis otot di keningnya terlihat menonjol, seakan ia sedang berpikir keras.
"Karena aku ingin, ada seseorang yang memanggilku, mamas... " jawab Devan dengan nada sedikit bergetar.
"Ck! Alasan macam apa itu!" Dea mencebik.
"Entahlah... " jawabnya datar. Devan terlalu malu untuk jujur mengatakan kalau ia tertarik pada Dea sejak pertemuan pertama dan selalu penasaran dengan gadis itu.
"Aku pamit." Devan menatap Dea begitu lekat.
"Selamat malam, mamas... " ucap Dea lembut.
Bibir Devan melengkung ke atas dengan lebar lalu menganggukkan kepala berulang dengan pelan. Ia segera membalikkan badannya untuk menutupi wajah merah meronanya. Tangannya ia lambaikan ke atas sebagai tanda perpisahan.
Senyuman di bibir keduanya tidak pernah lepas dari wajah hingga masing-masing tidak lagi saling melihat.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban