NovelToon NovelToon
Bayangan Si Cupu Tampan

Bayangan Si Cupu Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Taufik

Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.

Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.

Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tatapan Yang Tak Pernah di Undang

Bab: Tatapan yang Tak Pernah Diundang

Hening.

Langit yang tadinya terang seakan meredup, meski matahari masih bersinar cerah. Suasana di halaman kampus Universitas Nasional Jakarta mendadak bisu, ketika sosok Cheviolla Afanata—mahasiswi Fakultas Bisnis yang dikenal nyaris seperti dewi kampus—berdiri menatap ke arah seorang mahasiswa yang tak pernah dianggap siapa-siapa.

Raka Arya Pratama.

Nama itu hampir tak pernah disebut-sebut, kecuali dalam bisikan atau olok-olok. Namun pagi ini, dia berdarah. Dan Cheviolla menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri.

Langkah kaki Cheviolla terdengar pelan namun jelas. Setiap derap sepatunya seperti menyayat atmosfir.

Ia tak bicara, tak bertanya, bahkan tak marah secara gamblang. Tapi sorot matanya—tajam, dingin, menusuk—membuat Rico dan para mahasiswa yang berdiri di sekeliling perlahan mundur satu demi satu. Beberapa bahkan langsung menghindari pandangan, pura-pura melihat ke tempat lain.

Rico tersenyum kaku, berusaha mencairkan situasi. “Viola… ini cuma salah paham. Anak ini ngaku-ngaku suka kamu, terus bikin surat aneh. Kita cuma—”

“Pukulan itu,” suara Cheviolla memotong dengan tenang, tapi tajam. “Kau pukul dia dengan tangan kananmu, bukan?”

Rico terdiam.

“Kau tahu berapa banyak pembuluh darah kecil di pelipis? Atau kau terlalu bodoh untuk memikirkan itu?”

Nada bicaranya tetap datar, tapi siapa pun bisa merasakan kemarahan yang nyaris membeku di balik ketenangan itu.

“Viola, ayolah... aku cuma—”

“Diam.”

Hanya satu kata. Tapi cukup membuat Rico menggigit bibir, dan menunduk seperti anak kecil yang tertangkap mencuri.

Cheviolla mengalihkan pandangannya ke arah Raka. Pemuda itu masih berlutut, darahnya mulai mengering di sisi wajah. Ia tak bicara. Tak minta belas kasihan. Bahkan saat Cheviolla menatapnya… ia hanya membalas tatapan itu tanpa senyum, tanpa marah. Hanya diam, tapi mengandung sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

"Kenapa kamu tidak melawan?" tanya Cheviolla perlahan.

Raka tersenyum tipis. “Karena mereka sudah menang sejak awal. Bukankah itu yang kalian semua pikirkan?”

Cheviolla terdiam sejenak. Jawaban itu... membuat dadanya mengencang.

Bukan karena nada putus asa, tapi karena... sesuatu dalam cara bicara Raka. Seperti seseorang yang terlalu sadar akan perannya di dunia ini. Seseorang yang memilih menjadi 'tidak penting'—entah karena strategi, atau karena luka yang tak terlihat.

Ia berjongkok perlahan, lalu memungut kacamata Raka yang patah. Ia memeriksa bingkainya yang bengkok dan lensa yang retak, lalu berkata pelan, “Kau bisa melihat dengan ini?”

Raka tertawa kecil. “Sekarang tidak lagi.”

Cheviolla berdiri, lalu menyerahkan kacamata itu padanya. Ia menatap para mahasiswa lain—yang kini berdiri membeku, tak tahu harus bagaimana.

“Siapa pun yang membuat surat itu, kalau kalian pikir ini lucu, kalian salah besar.” Tatapannya menyapu semua wajah yang masih diam. “Dan jika satu lagi aku lihat ada yang menyentuh dia tanpa alasan yang sah…”

Ia tidak melanjutkan. Ia tidak perlu.

Semua orang tahu siapa ayah Cheviolla. Siapa koneksi keluarganya. Dan betapa kejamnya ia bisa bertindak saat marah.

Ia berbalik, dan berkata pelan pada Raka, “Kau bisa berdiri?”

Raka mengangguk pelan. Cheviolla tidak membantunya. Ia tahu, seseorang seperti Raka tak butuh bantuan dalam bentuk simpati murahan. Tapi... ada sesuatu dalam caranya bertanya, yang membuat Raka sedikit tercengang.

Saat ia berdiri, Cheviolla menarik tangan raka, melangkah menjauh dari kerumunan.

Seluruh halaman kampus masih terasa membeku bahkan setelah Cheviolla melangkah pergi, menarik tangan Raka Arya Pratama tanpa berkata sepatah kata pun lagi.

Beberapa mahasiswa yang tadi menonton adegan itu kini hanya mampu saling memandang, tercengang.

“Itu… barusan… Cheviolla?”

“Dia bicara sebanyak itu…”

“Dan—dia ngebela Raka?”

Suara-suara kecil bermunculan satu per satu. Tidak ada yang berani berkata keras-keras, karena semua masih dalam keadaan syok. Bukan hanya karena Cheviolla—yang selama ini nyaris seperti es yang tak bisa disentuh siapa pun—tiba-tiba bicara begitu banyak…

Tapi karena ia menarik tangan Raka. Pemuda culun berkacamata bulat, yang baru saja dipukul hingga berdarah. Yang katanya ‘katak merindukan bulan’.

Tidak.

Hari ini, 'katak' itu malah dibawa oleh 'bulan' itu sendiri.

---

Langkah kaki Cheviolla cepat, tak memberi Raka waktu berpikir. Tangan Raka masih digenggam, meski tak erat. Ia sendiri masih belum bisa mencerna segalanya.

“E-eh… kita… kemana?” Raka bertanya pelan, suara lirihnya nyaris tertelan angin.

Cheviolla tak menjawab. Ia hanya membuka pintu gedung UKS dengan satu tangan, lalu menarik Raka masuk ke dalam.

Ruangan itu kosong, seperti biasa di pagi hari. Sinar matahari menembus tirai tipis jendela, menciptakan siluet hangat di dalam.

“Duduk,” perintah Cheviolla.

Raka menurut, meski agak kikuk. Ia tak terbiasa diperintah oleh perempuan. Apalagi yang seperti Cheviolla—dingin, tajam, dan selalu tampak seolah hidup di dunia yang berbeda.

Cheviolla membuka lemari obat, mengambil kapas dan antiseptik, lalu kembali duduk di hadapan Raka.

Ia tak berbicara.

Hanya membersihkan luka di pelipis Raka dengan gerakan cepat dan rapi. Tapi bukan berarti tanpa hati-hati. Justru—Raka bisa merasakan, setiap usapan itu seperti menahan amarah yang belum selesai.

“Aku bisa bersihkan sendiri, kau tahu…” ucap Raka, canggung.

“Diam,” jawab Cheviolla pelan.

Raka menutup mulutnya.

Beberapa detik berlalu. Hening.

Hingga akhirnya Cheviolla membuka suara.

“Kau seharusnya melawan.”

Raka menoleh padanya.

Cheviolla tak menatapnya, hanya menekuk kapas baru dan melanjutkan pembersihan.

“Kau bisa saja menghindar, atau setidaknya berteriak.”

Raka tersenyum kecil. “Kalau aku melawan, orang-orang hanya akan bilang aku merasa besar kepala karena menyukai orang sepertimu.”

“Kau menyukaiku?” suara Cheviolla mendadak datar.

Raka mendesah. “Bukan aku yang menulis surat itu.”

Cheviolla diam.

“Dan aku juga bukan orang yang akan mengirim surat begitu ke meja mahasiswi yang bahkan tak pernah melihatku dua kali.”

Tangannya berhenti. Ia menatap Raka lurus-lurus.

“Aku tahu itu,” ucapnya perlahan.

Raka mengernyit. “Kau tahu?”

Cheviolla berdiri, meletakkan kapas ke tempat sampah logam di sudut ruangan. “Tanda tangan surat itu bahkan bukan gaya tulisanmu. Aku sudah beberapa kali melihat catatan tanganmu di kelas.”

Raka diam. Tak menyangka. Ia bahkan tak tahu bahwa Cheviolla pernah memperhatikannya.

Ia membuka mulut untuk bertanya sesuatu—tapi Cheviolla sudah melangkah ke arah pintu.

Klik.

Pintu ditutup dengan lembut, meninggalkan Raka sendirian di ruangan UKS—dengan pelipis yang kini bersih dari darah… dan jantung yang berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

1
Suyono Suratman
mantap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!