Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Jangan Berharap Lebih
Tubuh Arumi terbangun lebih dulu daripada pikirannya pagi ini. Kepalanya terasa berat, tengkuknya begitu kaku, dan rasa mual yang terus terasa sejak semalam. Ia duduk di tepi ranjang beberapa detik lebih lama dari biasanya dan mencoba menarik napas pelan, berharap bahwa dirinya baik-baik saja.
“Kenapa ya? Dari semalam rasanya mual terus,” lirih Arumi sembari memegangi kepala dan tengkuknya secara bergantian.
Raka bergerak dan membuka matanya, menatap Arumi yang tidak seperti biasanya.
“Kenapa?” tanya Raka dengan suara serak.
“Tidak apa-apa, hanya sedikit pusing saja.” Raka memutar posisi tidurnya sebelum ia menarik selimut kembali.
Arumi sudah biasa dengan sikap cuek itu, ia bergegas turun ke dapur menyiapkan sarapan untuk Raka. Sakit bukan alasan baginya untuk berhenti. Setidaknya, bukan di rumah ini.
Ia tetap melangkah ke dapur dengan gerakan yang lebih hati-hati. Lantai terasa sedikit berputar, tapi Arumi memilih mengabaikannya. Ada kewajiban yang menunggu, ada peran yang harus ia jalani. Tangannya meraih gelas, menuangkan air, lalu meletakkannya kembali sebelum sempat diminum.
“Kenapa pusing sekali? Semalam tidak separah ini.” Arumi duduk sejenak lalu meminum air di dalam gelas, ia berusaha menetralkan rasa sakit itu sebelum beraktifitas seperti biasa.
Arumi meraih celemeknya lalu mulai memasak makanan yang Raka sukai, ia pastikan kali ini tidak terasa asin atau hambar agar Raka menghabiskan sarapannya. Selama satu tahun ini, tak pernah pria itu memakan habis masakannya, selalu saja dia bungkus untuk para gelandangan di kolong jembatan.
Setelah menata makanan di meja makan, Arumi mengerjakan pekerjaan bersih-bersih lalu kembali ke dalam kamar menyiapkan perlengkapan kerja suaminya. Tak ada yang berbeda pagi ini, hanya saja, Arumi dengan sedikit rasa sakit yang membuat dia bekerja lebih pelan dari biasanya.
Raka yang baru saja keluar dari kamar mandi mendapati Arumi tengah rebahan di atas kasur, ia meringkuk di dalam selimut. Raka tak menanyakan apapun, ia fokus pada penampilannya lalu membangunkan Arumi untuk menemani dia makan.
“Kamu makan sendiri aja ya, dingin banget di luar rasanya,” keluh Arumi yang direspon tak senang oleh Raka.
“Begini ya kalau punya istri yang tidak pernah memperhatikan suaminya sama sekali. Tidur saja, mungkin kamu lelah sudah membuat sarapan pagi ini untukku,” balas Raka yang langsung beranjak ke ruang makan.
Arumi yang merasa sudah melukai hati suaminya bergegas menyusul dan segera menghidangkan makanan ke piring sang suami. Mereka berdua makan dengan tenang tanpa saling komunikasi sama sekali.
“Ini sangat asin, Rum. Sudah berapa kali aku katakan? Aku tidak menyukai makanan asin.” Arumi mencoba masakannya dan terasa biasa saja— tidak hambar dan tidak asin sama sekali.
“Ini lidahku yang bermasalah atau lidah kamu? Ini tidak asin sama sekali, Raka.” Raka membulatkan matanya ketika nada suara Arumi sudah meninggi.
“Kamu membentak dan menyalahkanku?” sengit Raka dengan nada rendah namun tajam.
“Maaf. Kalau memang makanan ini tidak enak, kamu sarapan di luar saja. Biasanya juga seperti itu kan?”
“Apa gunanya aku memiliki istri kalau sarapan mesti di luar setiap hari? Kau itu ada gunanya atau tidak? Aku ini bekerja untukmu tapi tidak pernah dihargai, tidak pernah dilayani dengan baik dan tidak pernah di perhatikan penuh kasih sayang.” Arumi memegangi kepalanya yang kian terasa berat, menghadapi suami seperti Raka nyatanya jauh lebih berat dari sakit yang dia rasakan.
“Maaf, Raka.” Hanya kata itu yang bisa dia ucapkan karena tak ingin memperpanjang perdebatan pagi ini.
Raka meraih tas kerja miliknya dan meninggalkan Arumi seperti biasa, tak peduli bahwa istrinya tengah sakit.
...***...
Di kantor, Raka menghempaskan pantatnya di atas kursi dan membanting tas kerja ke atas meja. Sapaan dari karyawannya tidak dia gubris sama sekali pagi ini, dia melonggarkan dasi dan menghela napas berat.
“Kenapa punya istri seperti tidak memiliki saja? Tak ada kehangatan, kedamaian, dan ketenangan yang aku rasakan ketika berumah tangga dengannya selama ini? Aku ini pria normal dan butuh istri yang bisa menjadi penyejuk mata dan jiwa.” Raka menggerutu kesal lalu membakar sebatang rokok agar bisa menangkan pikirannya.
Ia bekerja dengan fokus tanpa memikirkan Arumi lagi, baginya, Arumi tidaklah penting karena perempuan itu hanya bisa bekerja di rumah saja tanpa bisa mengobati kebosanan hatinya selama ini.
Sementara di kolong jembatan tempat para gelandangan berteduh, Arumi membagikan makanan yang telah dia bungkus rapi. Dari sana, Arumi lanjut ke klinik untuk berobat agar rasa pusing dan mualnya hilang.
“Magh anda kambuh, Bu. Usahakan makan yang teratur dan tepat waktu ya, jangan terlalu banyak beban pikiran dan atur pola hidup sehat.” Dokter memberikan saran yang dibalas senyuman oleh Arumi.
“Baik, Dokter. Terima kasih banyak.”
Arumi mengantri untuk mendapatkan obatnya sembari duduk di bangku tunggu. Di depannya, sepasang suami istri yang saling merangkul satu sama lain.
“Jangan terlalu banyak pikiran, pekerjaan rumah bisa dikerjakan sama pembantu nanti. Lihatkan, kamu sih ngeyel pengen ngerjain semua sendiri, jadi sakit begini,” kata sang suami sembari mengelus rambut istrinya, yang membuat Arumi tersenyum lantaran dia sendiri tak pernah mendapat perlakuan manis itu dari Raka.
“Aku cuma mau ngerjain pekerjaan rumah layaknya istri biasa, salah ya?”
“Gak salah, cuma kamu terlalu memporsir tenaga sampai sakit begini. Kerjakan saja yang ringan-ringan.”
“Iya deh aku nurut.” Sebuah kecupan ringan mendarat di kening si istri yang semakin membuat Arumi terenyuh.
Lama dia menanti dan akhirnya namanya terpanggil untuk menerima obat. Arumi segera pulang untuk istirahat karena rasanya begitu butuh menenangkan diri.
Sesampainya di rumah, ia meminum obat dan berbaring. Pikirannya tertuju kepada sebab pernikahannya dengan Raka yang diawali dari sebuah kesepakatan.
Flashback On
Arumi yang masih berusia 22 tahun dilamar oleh Raka, tentu saja Arumi senang karena akhirnya dia bisa keluar dari panti asuhan dan memulai kehidupan baru menjadi seorang istri.
Arumi sedari lahir dibesarkan di panti asuhan, dia mengabdikan dirinya di panti itu hingga Raka datang menjemput dengan sebuah lamaran pernikahan.
Zafran— ayah Raka yang merupakan donatur terbesar di panti itu tentunya menjadi tolak ukur bagi Arumi untuk menerima Raka. Secara, Zafran adalah pria baik dan bertanggung jawab penuh atas keluarganya. Kemungkinan besar, Raka akan menuruni sifat dan karakter sang ayah, begitulah pikir Arumi. Namun kenyataannya tidak begitu, Raka justru melamarnya kala itu hanya untuk menghindari perjodohan dari Zafran.
Usia Raka dan Arumi terpaut cukup jauh, yaitu 11 tahun. Di malam pertama, malam yang seharusnya menjadi hal terindah justru Arumi mendapati sebuah perkataan menyakitkan dari suaminya.
“Jangan berharap lebih dariku, semakin kau berharap maka semakin kecil peluangmu untuk sakit hati. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena aku ingin menghindari perjodohan dari papaku. Pernikahan ini hanya bersifat sementara, jadi, layani aku dengan baik dan aku penuhi kebutuhanmu. Tapi jangan pernah berharap cinta dariku, mengerti.”
Flashback Off
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir