#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Pergi ke Waduk
.
Amelia tersentak kaget. Wajahnya memerah padam. Jantungnya berdegup semakin kencang.
Raka tersenyum puas. Ia kemudian memacu motornya, meninggalkan dealer motor menuju tempat yang sudah ia rencanakan.
*
*
*
Tanpa mereka berdua sadari, dari kejauhan tampak seorang wanita memperhatikan. Safitri, dialah yang sedang mengawasi mereka. Sebenarnya, Safitri tadinya ingin datang ke rumah Raka. Namun, melihat Raka keluar dari rumahnya, ia merasa curiga dan memutuskan untuk mengikutinya diam-diam. Ia pun tahu kalau Raka pergi ke rumah Bu Sukma. Penasaran dengan apa yang dilakukan Raka di sana, Safitri berhenti tak jauh dari rumah Bu Sukma dan tetap mengawasi.
Saat Raka dan Amelia keluar dari rumah Bu Sukma dengan berboncengan motor, Safitri semakin penasaran. Ia terus mengikuti mereka dari jarak aman, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah dealer motor.
Dari kejauhan, Safitri mengamati Raka dan Amelia dengan tatapan penuh kebencian. Kedua tangannya terkepal erat saat Raka mendampingi Amelia memilih dan menjajal sepeda motor.
Dalam pikiran Safitri, pasti Amelia membeli sepeda motor dengan uang pemberian Raka. "Pembantu miskin dapat uang dari mana bisa beli sepeda motor baru kalau bukan Raka yang membelikan?" pikirnya sinis. Ia merasa semakin geram dengan kedekatan Raka dan Amelia. Ia tidak suka ada gadis lain yang mendekati Raka.
Setelah Raka pergi dari dealer dengan berboncengan dengan Amelia, Safitri segera pergi dari tempat itu. Ia memacu motornya dengan kecepatan tinggi, menuju rumah Raka. Ia harus mengadukan semua yang dilihatnya kepada Bu Sundari, ibu tiri Raka. Ia yakin, Bu Sundari akan marah besar mendengar berita ini.
Jika ia tak bisa mendekati Raka dengan cara baik-baik, maka dia akan memanfaatkan Bu Sundari. Biar nanti wanita tua itu yang membuat perhitungan dengan Amelia. Dia cukup menonton dan melihat hasil akhir.
.
Sesampainya di rumah Raka, Safitri segera masuk setelah dibukakan pintu. Ia mengedarkan pandangan di ruang tamu, tetapi Bu Sundari tidak ada di sana.
"Bi Inah!" panggil Safitri, dengan nada yang dibuat selembut mungkin. "Bulik Sundari di mana?"
Bi Inah, pembantu rumah tangga di rumah Raka, sudah terbiasa dengan keberadaan gadis itu. "Eh, Neng Safitri. Ibu ada di belakang, lagi nyiram tanaman, Neng."
"Oh, gitu," jawab Safitri. "Yaudah, saya ke belakang aja."
Tanpa menunggu jawaban Bi Inah, Safitri kemudian berjalan menuju halaman belakang rumah Raka. Ia melihat Bu Sundari sedang sibuk menyiram tanaman bunga dengan selang air.
"Bulik!" panggil Safitri, dengan nada bersemangat.
Bu Sundari menoleh dan tersenyum melihat kedatangan Safitri. "Eh, Safitri. Ada apa, Nak?" tanyanya.
Safitri menghampiri Bu Sundari dan mencium tangannya dengan takzim. Ia kemudian memasang wajah sedih dan berkata dengan nada lirih, "Bulik, maafin Safitri ya, sudah lancang datang ke sini."
Bu Sundari, yang sedang asyik menyiram bunga, menoleh dengan senyum ramah. "Lho, kenapa minta maaf, Nak? Justru Bulik senang kamu datang. Ada apa memangnya?"
Safitri menggigit bibir bawahnya, seolah ragu untuk berbicara. "Emm... sebenarnya, Safitri mau cerita sesuatu tentang Mas Raka," ucapnya, dengan nada pelan.
Bu Sundari langsung meletakkan selang air dan menatap Safitri dengan serius. "Raka? Ada apa dengan Raka? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya, dengan nada khawatir. Wanita tua itu langsung mengajak Safitri untuk duduk di salah satu bangku yang ada di halaman belakang tersebut.
Safitri mengangguk pelan. "Mas Raka baik-baik saja, Bulik. Tapi... ini tentang Mbak Amelia," ucapnya, dengan nada semakin lirih.
Bu Sundari mengerutkan keningnya. "Amelia? Ada apa dengan mantan pembantu itu?" tanyanya, semakin penasaran.
Safitri kemudian menceritakan semua yang dilihatnya di dealer motor. Ia menceritakan bagaimana Raka mendampingi Amelia memilih sepeda motor, bagaimana Raka terlihat begitu perhatian kepada Amelia, dan bagaimana Raka pergi dari dealer dengan berboncengan dengan Amelia.
"Safitri lihat sendiri, Bulik," ucap Safitri, dengan nada dibuat sedih. "Mas Raka kayaknya beneran suka sama Mbak Amelia. Safitri jadi khawatir, Bulik."
Bu Sundari mengepalkan tangannya erat mendengar cerita Safitri. Wajahnya memerah padam karena amarah. Ia tidak menyangka, Raka akan benar-benar tertarik dengan Amelia.
"Dasar gadis tidak tahu diri!" desis Bu Sundari penuh kebencian. "Dia pasti sudah guna-guna Raka!"
"Safitri juga mikirnya gitu, Bulik," sahut Safitri, dengan nada yang dibuat polos. "Soalnya, nggak mungkin kan Mas Raka mau sama pembantu kayak dia. Pasti ada sesuatu yang nggak beres."
Bu Sundari mengangguk-angguk setuju. Ia semakin yakin bahwa Amelia telah menggunakan ilmu hitam untuk menjerat Raka. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Tenang aja, Fitri," ucap Bu Sundari, sambil menepuk pundak Safitri. "Bulik nggak akan tinggal diam. Bulik akan melakukan apapun untuk menyingkirkan gadis itu dari kehidupan Raka."
Safitri tersenyum tipis mendengar ucapan Bu Sundari. Ia senang rencananya berjalan lancar. Bu Sundari adalah Pian yang akan melakukan apapun untuk mewujudkan keinginannya. Dan sekarang, keinginannya adalah menyingkirkan Amelia dari kehidupan Raka.
"Safitri cuma kasihan sama Mas Raka, Bulik," ucap Safitri, dengan nada lembut. "Sepertinya Mbak Amelia benar-benar ingin memanfaatkan Mas Raka. Sekarang baru sepeda motor yang diminta oleh Mbak Amelia, besok-besok entah apa.”
Wajah Bu Sundari semakin merah membara. "Kamu tenang aja, Fitri," ucapnya. "Bulik pasti akan melakukan sesuatu yang akan membuat gadis itu menyesal karena sudah berani macam-macam dengan Raka."
*
*
*
Sementara itu, sepeda motor yang dikendarai oleh Raka tiba di sebuah waduk yang hijau dan asri. Waduk itu bukan hanya berfungsi sebagai saluran irigasi yang airnya akan digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mengairi sawah, tetapi juga sebagai destinasi wisata yang cukup populer di kalangan anak muda.
Raka memarkirkan motornya di tempat parkir yang tidak jauh dari tepi waduk. Ia kemudian melepaskan helmnya setelah membantu melepas helm Amelia.
"Suka tempat ini, gak?" tanya Raka, sambil tersenyum menatap Amelia.
Amelia mengangguk-angguk kagum. "Suka banget, Mas," jawabnya, dengan mata berbinar-binar. "Tempatnya indah banget." Jawaban yang jujur, karena menurut Amelia tempat itu benar-benar nyaman. Jauh dari suasana kota di mana selama ini dia tinggal.
Raka tersenyum mendengar pujian Amelia. Ia senang Amelia menyukai tempat yang ia pilih.
"Sini, ikut aku," ajak Raka, sambil menggandeng tangan Amelia.
Raka menggandeng tangan Amelia dan mengajaknya berjalan menuju sebuah bangku yang ada di bawah pohon rindang di tepi waduk. Bangku itu menghadap langsung ke arah waduk, sehingga mereka bisa menikmati pemandangan yang indah dengan leluasa.
Raka dan Amelia duduk di bangku tersebut. Mata mereka mengamati permukaan waduk yang tenang, pepohonan hijau di sekeliling waduk, dan langit biru yang cerah. Suasana di sekitar mereka sangat tenang dan damai. Hanya terdengar suara gemericik air waduk dan suara burung berkicau.
Amelia mengangguk, merasakan udara sejuk yang berhembus lembut, membawa aroma segar dari pepohonan di sekitar waduk. Pemandangan di sekitar waduk sangat indah. Air waduk yang tenang memantulkan bayangan langit biru dan awan putih. Di kejauhan, tampak deretan perbukitan hijau yang menambah keindahan pemandangan.
"Indah banget ya, Mas, pemandangannya," ucap Amelia, memecah keheningan.
Raka mengangguk setuju. "Biasanya, aku ke sini bareng teman-teman aku," jawabnya, sambil menatap Amelia dengan tatapan lembut.
Amelia tersenyum. "Aku suka," ujarnya. "Tempatnya bikin hati jadi tenang."
Raka dan Amelia kembali terdiam. Mereka menikmati keindahan pemandangan di sekitar mereka. Beberapa saat kemudian, Raka kembali berbicara.
"Amel," panggil Raka, dengan nada serius.
Amelia menoleh ke arah Raka. "Iya, Mas?" jawabnya, dengan nada penasaran.
Raka menarik napas dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. Ia kemudian menatap Amelia dengan tatapan yang semakin serius.
"Sebenarnya…”
bentar lagi nanam padi jg 🥰