Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedua Puluh Tiga
# 23
“DASH !!”
Ki Danulung terkejut sekali, sama sekali serangan itu tidak diduganya, tahu – tahu dadanya seakan dihantam oleh sebuah benda yang cukup keras. Tubuhnya terjengkang ke belakang, punggungnya membentur dinding ruangan sementara Langkor sudah melompat bangun sambil tertawa terbahak – bahak, “Ha... Ha... Ha... Ha... maaf, Paman Tarian Penggoda Jiwamu tak mempan padaku.... ha... ha... ha... ha...aku telah mempelajari penangkal ajian itu dari Kakang Samitra Gantari, dan juga TAPAK PENGEJAR ROH,”
Wajah Ki Danulung merah padam, matanya terbelalak lebar dadanya serasa sesak sekali, “Bo... Bocah tengil, kau... kau..” perkataannya terputus, ia batuk – batuk sambil sesekali memuntahkan darah segar. Langkor masih saja tertawa sementara tangannya sudah meraih Kitab Pedang Setan, “Maaf, Paman ... aku sebenarnya tidak berniat menyerang dan melukai Paman dengan Aji Pengejar Roh, tapi, demi masa depanku, terpaksa kulakukan. Selamat tinggal, Paman setelah aku berhasil menguasai Pedang Setan, kitab ini akan kukembalikan .... ha... ha... ha...”
“Bocah tak tahu diuntung !” bentak Ki Danulung, “Kau takkan mungkin menguasai ilmu tersebut, percayalah, nak ...” sambungnya namun, Langkor tidak peduli, ia membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan tempat itu sambil tertawa – tawa penuh kemenangan. Tawanya lenyap bersamaan dengan tubuhnya yang sudah menghilang di balik kegelapan. Tinggallah Ki Danulung yang kini larut dalam sesal, luka di dada bercampur kecewa membuatnya tergolek lemas tak berdaya.
_____
Kadipaten BHUMISUKA, merupakan kadipaten yang cukup luas. Sejauh mata memandang dari Timur – Barat, Utara – Selatan yang tampak adalah deretan bukit – perbukitan, Gunung – Pegunungan, Lembah diselimuti awan bercampur kabut tipis, seolah menyembunyikan misteri yang tidak banyak orang mengetahuinya. Bentangan sungai dan anak sungai yang membelah daratan, hamparan pematang sawah hijau bak permadani seakan menjadi pemisah antara negeri khayalak ramai dengan negeri persinggahan para pencari ketenangan, kedamaian dan ketentraman, pemurnian diri yang tinggal dan menetap disana.
Gunung Gede Pangrao, adalah salah satu dari sekian banyak tempat atau gunung yang menyimpan banyak misteri. Hanya orang – orang tertentu sajalah yang berani menginjakkan kakinya di Gunung setinggi, nyaris 3.000 m, dikelilingi oleh hutan lebat, perbukitan dan pegunungan yang berlapis – lapis itu. Dalam keadaannya, Gunung tersebut mirip dengan benteng batu karang pembatas gerbang antar dimensi manusia dengan dimensi tak kasat mata.
Pagi itu udara begitu dingin, kabut melayang – layang rendah terbawa angin pegunungan dan lembah, menerobos celah – celah rimba belantara berselimut sisa – sisa kegelapan malam yang tinggal beberapa jam lagi. Begitu pekatnya kabut itu hingga dalam jarak 1 tombak di depan tidak nampak apa – apa. Mendadak, gumpalan - gumpalan kabut tersebut menyebar ke segala penjuru mata angin, bagai dihempaskan oleh hembusan angin kencang; mendadak pula kabut – kabut itu seperti terhisap masuk ke dalam sebuah lubang yang cukup besar.
Di dalam lubang yang ternyata menyerupai sebuah ruangan berdinding karang dengan bentuk aneh. Batu – batunya seakan dibelah – belah oleh benda tajam, ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya api obor menempel pada dinding. Sesosok bayangan duduk bersila di tengah ruangan, kepalanya tertunduk, matanya terpejam, menghadap ke dinding. Tidak peduli dengan gumpalan-gumpalan kabut yang seakan berlomba menembusi tubuhnya yang ramping dan hanya dibungkus oleh sehelai kain berwarna hijau dengan hawa dinginnya yang menusuk tulang.
Tubuh wanita itu bergetar hebat manakala kabut bercampur hawa dingin itu membentuk siluet tubuh seorang laki – laki tinggi, tegap dan kekar mengenakan baju panjang dan lebar mirip seorang resi atau begawan berwarna hitam ... wajahnya tertutup topeng tengkorak berwarna kuning keemasan.
"Mantili... Mantili... Mantili ... bukalah matamu.... lihat siapa yang datang,"
Suara itu menggema, memenuhi seisi ruangan. Berat penuh dengan kewibawaan membuat wanita itu bagai digerakkan oleh kekuatan tak kasat mata untuk membuka sepasang matanya.
"Hei, siapa, kau ? Berani benar mengganggu samadhiku ?" tanya wanita itu tegas dan lantang.
"Ha... ha... ha... watakmu masih saja emosional, Mantili. Itulah sebabnya, kau masih belum bisa mencapai apa yg disebut AVIRODHA / KETENANGAN BATIN (HATI),"
Suara itu kembali terdengar, membuat wanita itu segera mengangkat wajahnya, sepasang matanya terbelalak lebar mencerminkan rasa rindu dan bahagia. Bibirnya bergetar begitu pula sekujur tubuhnya.
"Ti... ti... tidak mungkin. Tidak mungkin kau adalah dia," katanya dengan suara gemetar.
"Ha... ha... ha... ha..." tawa sosok itu sambil melepas topeng emasnya. Wanita itu tersentak kaget manakala melihat wajah di balik topeng itu, seorang pemuda yang tampan dan gagah, sangat familiar sekali, "Kakang Brama," serunya sambil melompat memeluk tubuh pria di depannya itu.
"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, kakang ? Wajah kakang Brama semakin lama semakin bertambah muda dan segar, sementara, aku .... aku ...." tanpa terasa matanya berkaca – kaca, dua titik bening mengalir membasahi pipinya. Yah, wanita itu adalah Dewi Mantili Si Pedang Setan yang tengah melakukan PEMBERSIHAN DIRI / PENYUCIAN DIRI ( DHYAANA SUDHI WADANI ), sedang pemuda gagah dan tampan itu adalah BRAMA KUMBARA. Dua tokoh sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada masanya.
“Tenanglah, Mantili ... aku akan menjelaskan semuanya padamu,” kata Brama.
_____
Pesanggrahan Keramat, Gua Pantai Selatan, malam itu diselimuti oleh awan hitam. Tidak seperti biasanya, suasana yang lengang kini tampak ramai dan dipenuhi oleh para pejabat istana dari tingkat yang paling bawah hingga tingkat yang paling tinggi. Mereka semua duduk bersila, kepalanya tertunduk, wajahnya tampak murung. Aroma wewangian dari dupa yang dibakar oleh para sesepuh kerajaan dan para pemuka agama menyebar ke pelbagai penjuru, berpadu dengan aroma udara lautan lepas seakan mengiring doa – doa yang dipanjatkan oleh seluruh orang yang hadir di tempat itu. Suara burung kedasih terdengar saling sahut diikuti lolongan anjing hutan dari kejauhan membuat suasana tampak mencekam, membuat bulu kuduk merinding.
Sementara itu di dalam pesanggrahan tampak Dewi Harnum, Dewi Paramitha berikut keluarga besar kerajaan Madangkara duduk mengelilingi pembaringan dimana seorang laki – laki tua renta terbaring di atasnya. Bagi orang awam, pria itu hanyalah seorang kakek tua yang tidak berdaya. Akan tetapi, bagi orang – orang yang sudah lama malang melintang di rimba persilatan, juga rakyat Madangkara mengenalnya sebagai seorang yang sakti mandraguna sekaligus raja yang arif, bijaksana dan agung pada masanya. Dialah Brama Kumbara.
Sepasang matanya tampak sayu, wajahnya terlihat pucat pasi, tubuhnya kurus kering. Tidak lagi segagah dulu, sesekali ia menggigil saat udara malam merayap masuk melalui lubang udara membelai kulitnya yang keriput. Dalam keadaan seperti itu, Brama bagaikan seonggok kayu kering dan rapuh yang sewaktu – waktu patah. Keadaannya tak jauh berbeda dengan bayi lemah tak berdaya, menunggu ajal menjemput.
Tanpa sepengetahuan Dewi Harnum dan yang lain, tampak seberkas sinar putih keperakan melayang – layang mengelilingi pembaringan, berhenti di dekat kepala Brama. Cahaya itu berangsur – angsur, pelan tapi pasti, berubah menjadi asap membentuk siluet – siluet berwarna jingga. Dalam waktu yang tidak lama, berubah menjadi sesosok laki – laki berbaju putih dan bertubuh ceking. Rambutnya hitam panjang digelung dan dihiasi tusuk konde dengan ukiran sepasang rajawali kuning keemasan.
Wajah Brama semakin lama semakin pucat, cahaya matanya, tidak lagi seterang penerangan dalam ruangan yang kini pecah oleh isak tangis, sayu dan redup seakan tidak nampak lagi cahaya kehidupan. Di saat semua orang hanyut dalam isak tangis, dari ubun – ubun laki – laki tua itu keluar seberkas asap putih, bergerak mengelilingi ruangan dan berhenti di hadapan laki – laki ceking itu. Asap itu membentuk sesosok laki – laki gagah dan tampan, ia memberi hormat pada laki – laki di hadapannya itu.
“Eyang guru Astagina, murid memberi hormat dan sembah....” katanya.
Laki – laki ceking itu terkekeh, “Hormat dan sembahmu, aku terima, Brama...”
“Apakah Eyang Guru Astagina datang secara khusus menjemput saya ?” tanya laki – laki gagah itu.
“He... he... he... he... lihatlah keadaanmu itu , Brama...” kata laki – laki ceking yang dipanggil dengan sebutan EYANG GURU ASTAGINA itu. Ia menunjuk ke arah sosok yang terbaring lemah lalu melanjutkan perkataannya, “Dulu, aku menemukanmu saat kau masih bocah dan pada punggungmu tergantung sebilah pedang besar berwarna biru, kau tampak berantakan ... sekarang, kaupun tampak berantakan. Tubuhmu kurus sekali, hanya tinggal tulang berbalut kulit dan ditutupi sehelai kain putih dan nampak tua sekali. Apakah kau yakin, hendak beralih dari kefanaan menuju nirwana ? Menurutku itu adalah tindakan yang bodoh,”
“Mengapa demikian, Eyang Guru ? Bukankah ini takdir yang harus dijalani sebagai manusia ?”
“Itu benar, Brama ... akan tetapi, cara berpikirmu itu kurang tepat,” tegas Astagina, “Dulu kau adalah seorang pendekar yang digdaya, gagah berani, lautan darah pun kau seberangi, dalam keadaan apapun, kau selalu menemukan jalan keluar, pantang menyerah. Tetapi, sekarang ... kau mudah sekali putus asa. Aku berbicara seperti ini, karena aku tahu apa sebenarnya yang bergolak dalam lubuk hati sanubarimu, Brama,”
“Eyang Guru Astagina, benar. Tugas saya di dunia ini belumlah selesai. Garnis dan adik-adiknya, masih terlalu mudah untuk melibatkan diri dalam mengenal dunia seisinya. Semula saya ingin memberi kesempatan bagi yang muda untuk unjuk gigi, menyelesaikan semua yang berkaitan dengan kebenaran dan keadilan juga kefanaan. Namun, dalam DHYAANA SUDHI WADANI, saya dihadapkan pada sebuah peristiwa besar yang membuat hati saya terguncang,” ujar Brama.
“Apa itu, ngger ?”
“Saya bermimpi, entah ini sebuah firasat atau sekedar kembang tidur,” sambil berkata demikian Brama mengalihkan pandangannya ke arah Wanapati dan Paksi Jaladara yang duduk bersimpuh, bahunya naik – turun, isak tangisnya pecah saat memegangi kaki laki – laki tua di pembaringan, kaku dan dingin. Lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah gurunya yang masih berdiri sambil mengelus kumis dan jenggotnya kembali ia berkata, “Saya melihat sebuah pohon yang cukup besar, berbuah lebat dan rimbun, sebuah pemandangan yang cukup indah menurut saya, akan tetapi, entah darimana datangnya percikan api yang kemudian membakar habis pohon itu. Wanapati dan Paksi Jaladara, berdiri di tengah lautan darah yang bergolak, berhadap – hadapan sambil memegang pedang. Saya tidak tahu apa arti semua itu, Guru...”
“Madangkara akan terjadi pergolakan besar, muridku ...” sahut Astagina, “Seluruh Mayapada akan bergolak, tidak ada satu pun yang bisa mengendalikannya. Jika kau meneruskan perjalananmu menuju nirwana, kau akan melakukan sebuah kesalahan yang sangat besar,” jelasnya.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan, Eyang ?” tanya Brama.
“He ... he... he... he... hancurnya sebuah negeri, cepat atau lambat pasti terjadi, hanya masalah waktu saja. Tidak ada ceritanya semua yang ada di dunia ini bersifat kekal kecuali Sang Hyang Widhi Wasa sendiri. Malih Rupa, itulah penyelesaiannya, Brama.... Tapi, setelah menggunakan itu kau harus kembali melakukan Tapa untuk mengembalikan seluruh tenaga dalam yang tertidur selagi kau menjadi kakek tua. Tapi, ingatlah, setelah ini kuharap, kau mengerti dan paham bagaimana caramu untuk tidak lagi memancing lawan – lawanmu yang mungkin masih menaruh dendam padamu. Dengan demikian kau bisa tetap pada rencanamu semula ... memberi kesempatan bagi yang muda untuk unjuk gigi, melanjutkan tugas – tugas kita ... he... he... he... he...” tawa Astagina menggema, bersamaan dengan itu tubuhnya perlahan – lahan sirna dan tinggallah Brama sendirian, “Terima kasih, Eyang Guru Astagina,”
..._____ bersambung _____...