Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Ancaman Sang Pemimpin Muda
Pena emas di tangan Kirana terasa seberat bongkahan batu saat ujungnya menyentuh permukaan kertas yang dingin. Ia menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat, menyadari bahwa tidak ada jalan pulang jika ia tidak menuruti kehendak pria di depannya. Arkananta berdiri dengan angkuh sambil melipat kedua tangannya di depan dada yang bidang.
"Mengapa Anda harus mengancam saya dengan cara sekotor ini?" suara Kirana bergetar saat ia mendongak menatap mata elang pria itu.
Arkananta hanya menyunggingkan senyum tipis yang tampak sangat meremehkan di sudut bibirnya yang kaku. Ia melangkah mendekat, membuat bayangan tubuhnya yang tinggi besar menyelimuti sosok Kirana yang mungil. Udara di dalam ruangan itu terasa semakin menipis seiring dengan detak jantung Kirana yang kian memburu.
"Dunia bisnis tidak mengenal kata bersih, apalagi untuk membayar utang nyawa yang sangat besar," jawab Arkananta dengan nada suara yang rendah dan penuh penekanan.
Kirana merasakan perih yang luar biasa di dadanya saat membayangkan wajah ayahnya yang sedang sakit-sakitan di bawah sana. Dengan satu gerakan cepat yang dipenuhi keputusasaan, ia membubuhkan tanda tangan di atas materai yang tertempel pada kertas perjanjian tersebut. Air mata setetes jatuh membasahi kertas itu, menciptakan noda basah yang perlahan melebar dan meresap.
"Saya sudah melakukannya, sekarang biarkan ayah saya tetap bekerja," ucap Kirana dengan isak tangis yang tertahan di kerongkongan.
Arkananta mengambil map hitam itu dengan gerakan yang sangat tangkas dan memeriksanya sesaat dengan teliti. Ia mengangguk puas lalu memasukkan dokumen tersebut ke dalam brankas besi yang tersembunyi di balik lukisan besar. Kini, nasib Kirana sepenuhnya berada di dalam genggaman jemari pria yang tidak memiliki perasaan tersebut.
"Keputusan yang sangat cerdas untuk seorang gadis sekolah yang masih berbau matahari," puji Arkananta dengan nada sindiran yang sangat tajam.
Kirana meremas ujung rok seragam putih-abu-abu miliknya hingga kainnya menjadi sangat kusut dan tidak beraturan. Ia ingin segera lari dari tempat yang sangat mencekam ini dan bersembunyi di balik punggung ibunya yang hangat. Namun, Arkananta justru melemparkan sebuah kunci perak ke atas meja kaca hingga menimbulkan suara dentingan yang nyaring.
"Kunci itu adalah kunci paviliun belakang rumah saya, kamu akan mulai tinggal di sana besok pagi," perintah Arkananta tanpa menoleh sedikit pun.
Kirana terbelalak hingga kedua matanya yang jernih seolah ingin melompat keluar dari kelopaknya karena rasa terkejut. "Besok? Tapi saya harus tetap bersekolah dan mengurus keperluan ujian akhir saya, Tuan!"
Arkananta berbalik dengan gerakan yang sangat cepat hingga wajahnya kini hanya berjarak beberapa inci saja dari wajah Kirana. Gadis itu bisa mencium aroma kopi hitam yang kuat dan wangi kayu cendana yang sangat maskulin dari tubuh Arkananta. Keheningan yang tercipta di antara mereka membuat suara detak jam dinding terdengar seperti dentuman genderang perang.
"Sekolahmu tetap berjalan seperti biasa, namun setiap detik setelah bel pulang berbunyi, kamu adalah milik saya," bisik Arkananta tepat di depan bibir Kirana yang pucat.
Kirana terpaku di tempatnya berdiri seolah kedua kakinya telah tertanam kuat ke dalam lantai marmer yang sangat dingin. Ia membayangkan bagaimana ia harus membagi waktu antara pelajaran sekolah dan tuntutan gila dari pria yang sangat dominan ini. Rasa takut akan masa depan yang gelap mulai merayapi setiap sudut pikirannya yang sedang kacau-balau.
"Lalu bagaimana saya menjelaskan hal ini kepada orang tua saya?" tanya Kirana dengan sapaan yang nyaris tidak terdengar oleh telinga manusia.
Arkananta berjalan kembali menuju kursi kebesarannya dan duduk dengan posisi yang sangat santai namun tetap terlihat sangat berwibawa. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jemarinya yang panjang secara teratur, menciptakan irama yang membuat suasana semakin tegang. Sebuah senyuman misterius kembali muncul di wajahnya yang sangat tampan namun terlihat sangat berbahaya.
"Katakan saja kamu mendapatkan beasiswa magang dari perusahaan ini dengan fasilitas tempat tinggal yang sangat mewah," jawab Arkananta dengan nada yang sangat meremehkan.
Kirana menelan kepahitan yang menyumbat tenggorokannya sambil mengambil kunci perak yang terletak di atas meja dengan tangan gemetar. Ia menyadari bahwa mulai besok pagi, hidupnya tidak akan pernah lagi menjadi miliknya yang merdeka seperti dulu. Ia melangkah menuju pintu keluar dengan bahu yang merosot lesu karena beban yang sangat berat di pundaknya.
"Jangan pernah berpikir untuk melarikan diri, Kirana, karena mata-mata saya ada di setiap sudut sekolahmu," teriak Arkananta saat Kirana hampir mencapai gagang pintu.
Kirana berhenti sejenak tanpa menoleh sedikit pun ke arah pria yang sedang menatapnya dengan penuh kemenangan di dalam ruangan itu. Ia membuka pintu dan segera berlari menuju lift dengan air mata yang sudah tidak bisa lagi ia bendung dan tahan. Ia tidak tahu bahwa Arkananta sedang memperhatikan layar pemantau yang menunjukkan sosoknya yang sedang menangis tersedu-sedu.
Saat pintu lift tertutup, Kirana tidak menyadari bahwa ada seorang pria paruh baya dengan pakaian rapi yang sedang memperhatikannya dari sudut koridor. Pria itu segera menghubungi seseorang melalui telepon genggamnya dengan ekspresi wajah yang sangat serius dan penuh rahasia.
"Rencana pertama sudah berhasil, Arkananta sudah menjerat gadis itu ke dalam perangkap yang kita buat bersama-sama."
Kirana yang masih berada di dalam lift yang bergerak turun sama sekali tidak mendengar percakapan yang akan mengubah seluruh hidupnya. Ia tidak tahu bahwa ada bahaya yang jauh lebih besar sedang mengintai ayahnya di tempat parkir bawah tanah saat ini juga. Sesuatu yang sangat buruk baru saja terjadi tanpa ada satu orang pun yang memberikan peringatan kepada gadis malang tersebut.