Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 — Yang Dianggap Pergi, Ternyata Melaju
Dari balik jendela rumah, Bu Nina melihat Zahwa melangkah keluar sambil membawa tas dan satu buku tebal yang dipeluk erat di dadanya. Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti di depan pagar. Pintu terbuka, Zahwa masuk tanpa banyak bicara.
Rita mendengus.
“Belagu banget. Baru juga cerai udah gaya naik mobil.”
“Paling juga taksi online,” sahut Bu Nina ringan. “Sok-sokan aja biar kelihatan bahagia.”
Tak satu pun dari mereka tahu, di balik kaca gelap mobil itu, Zahwa duduk tenang dengan punggung tegak. Tidak ada ekspresi sombong. Tidak ada keinginan pamer. Yang ada hanya satu perasaan: ia sudah tidak perlu menjelaskan apa pun kepada siapa pun.
Mobil melaju menjauh.
Dan rumah itu yang dulu penuh suaranya kini benar-benar sunyi.
---
Di sisi lain kota, Farhan tertawa lepas di sebuah kafe dekat kantornya. Ia duduk bersama beberapa rekan kerja, salah satunya seorang perempuan yang akhir-akhir ini sering duduk di sebelahnya saat makan siang.
“Enak ya sekarang, Han,” kata salah satu temannya. “Pulang gak ada yang ngatur.”
Farhan tersenyum puas. “Iya. Bebas.”
Perempuan di sampingnya ikut tertawa kecil, mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat.
“Kamu kelihatan lebih santai sekarang.”
Farhan mengangguk. Ia tidak membalas, tapi senyum itu cukup menjadi jawaban.
Di kepalanya, Zahwa adalah bayangan lama perempuan terlalu sabar, terlalu diam, terlalu ‘rumahan’. Tidak ada greget. Tidak ada warna.
Ia sama sekali tidak tahu… bahwa dunia Zahwa sedang bergerak jauh tanpa menunggunya.
---
Gedung kantor Daniel pagi itu terasa lebih formal dari biasanya. Hari ini bukan presentasi percobaan. Ini adalah presentasi final di hadapan jajaran direksi.
Zahwa berdiri di depan cermin ruang rias kecil, merapikan tunik sage green dan rok panjang krem. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan tekad yang matang.
Daniel berdiri beberapa langkah di belakangnya.
“Are you ready?”
Zahwa mengangguk. “InsyaAllah.”
Daniel tidak banyak bicara hari ini. Ia tahu, ruang Zahwa bukan lagi untuk ditenangkan melainkan untuk dipercayai.
Ruang rapat besar itu terisi penuh. Para direksi duduk berjejer. Beberapa wajah asing. Beberapa wajah… familiar.
Dan salah satunya membuat jantung Zahwa berdetak lebih cepat.
Pak Arham.
Ia duduk di sisi kanan meja, mengenakan setelan gelap, wajahnya tetap tegas seperti terakhir kali Zahwa bertemu dengannya. Tapi kini, ada kilatan hangat di matanya.
Zahwa menunduk hormat.
“Assalamu’alaikum, Bapak-Ibu. Terima kasih atas kesempatan hari ini.”
Presentasi dimulai.
Zahwa menjelaskan konsep besar kerja sama, potensi bisnis frozen food, positioning brand, hingga rencana jangka panjang. Ia berbicara dengan percaya diri—tanpa meninggi, tanpa tergesa. Suaranya stabil. Pilihan katanya matang.
Pak Bram, salah satu atasan Farhan duduk memperhatikan sejak awal. Alisnya sempat berkerut, lalu perlahan terbuka.
Perempuan ini… familiar.
Saat Zahwa menjelaskan profil singkatnya, Pak Bram akhirnya menyadari.
Ini Zahwa… istri Farhan?
Dadanya terasa hangat sekaligus sesak.
Yang katanya cuma di rumah. Yang dibilang gak punya kontribusi.
Zahwa menutup presentasi dengan kalimat tenang:
“Saya percaya, makanan bukan hanya soal rasa. Tapi tentang kehangatan, konsistensi, dan kepercayaan.”
Ruangan hening sesaat.
Lalu tepuk tangan terdengar pertama pelan, lalu menyebar.
“Excellent,” ucap salah satu direktur.
“Very well-prepared.”
“Visioner, tapi membumi.”
Daniel berdiri.
“Dengan ini, kami sepakat melanjutkan kerja sama secara resmi.”
Zahwa menunduk, menahan getar di dadanya.
“Terima kasih atas kepercayaannya.”
Saat rapat selesai, satu sosok mendekat lebih dulu.
“Zahwa.”
Suara itu membuatnya langsung menoleh.
“Pak Arham…” suaranya bergetar.
Belum sempat ia berkata apa-apa, Pak Arham sudah memegang bahunya dengan lembut gestur seorang ayah.
“Kamu luar biasa,” katanya lirih. “Saya bangga.”
Air mata Zahwa jatuh begitu saja.
“Terima kasih, Pak… saya—”
“Tidak perlu bicara,” potong Pak Arham pelan. “Saya tahu perjalananmu tidak mudah.”
Ia menepuk bahu Zahwa.
“Kamu bukan hanya klien. Kamu keluarga.”
Zahwa menunduk, menangis tanpa suara. Untuk pertama kalinya, ia merasa diakui bukan sebagai istri seseorang, tapi sebagai dirinya sendiri.
Daniel memperhatikan dari kejauhan. Dadanya menghangat.
Ia tahu, keputusan mempercayai Zahwa… adalah keputusan paling tepat.
Pak Bram mendekat, wajahnya sedikit canggung.
“Bu Zahwa… maaf. Saya… baru tahu.”
Zahwa tersenyum sopan. “Tidak apa-apa, Pak.”
Pak Bram menghela napas.
“Farhan… dia tidak tahu apa yang ia lepaskan.”
Zahwa tidak menjawab.
Karena ia sudah tidak perlu membuktikan apa pun lagi.
---
Sore itu, mobil Zahwa melaju kembali dari gedung megah itu.
Kali ini, ia tidak menunduk.
Tidak bersembunyi.
Yang dianggap pergi…
ternyata sedang melaju.
Dan yang merasa bebas…
baru akan sadar apa arti kehilangan.