Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Mobil mewah hitam itu melesat membelah malam, membawa Areta kembali ke kediaman megah yang terasa seperti penjara.
Perjalanan pulang terasa singkat dan sangat mencekam.
Areta meringkuk di kursi penumpang, napasnya tersengal, kelelahan fisik dan mental mencapai puncaknya.
Vincent di kursi pengemudi mengemudi dalam keheningan yang mematikan, kemarahannya terasa begitu pekat hingga memenuhi mobil.
Begitu mobil berhenti di depan pintu utama yang menjulang tinggi, Vincent segera keluar.
Ia membuka pintu sisi penumpang, menatap tajam pada Areta yang masih gemetar.
"Keluar," perintah Vincent, suaranya serak dan dingin.
Areta menggelengkan kepalanya dan menolak perintah Vincent.
Tanpa membuang waktu, Vincent membungkuk, meraih tubuh Areta yang lemah, dan kembali memanggulnya keluar dari mobil.
Posisinya yang terbalik membuat Areta merasa mual dan semakin tak berdaya.
"Lepaskan aku!!" jerit Areta, memukul punggung Vincent dengan kepalan tangan lemahnya.
"Tolong!! Aku tidak mau ikut denganmu!"
Jeritan Areta bergema di keheningan malam rumah.
Vincent berjalan masuk ke dalam rumah, melewati beberapa anak buah yang membungkuk hormat, tanpa memedulikan rontaan dan jeritan Areta.
"Diam, Areta," desis Vincent, suaranya hanya terdengar oleh Areta.
"Setiap teriakanmu hanya akan memperburuk hukumanmu."
Ia membawa Areta langsung menuju kamar tidur utama.
Begitu tiba di kamar, ia melempar tubuh Areta ke atas ranjang king size.
Tubuh Areta terpental sedikit di atas seprai sutra.
Areta segera mencoba merangkak turun dari ranjang, tetapi Vincent dengan sigap mencengkeram pergelangan kakinya, menariknya kembali ke tengah.
"Kamu kelelahan, kamu sakit, dan kamu baru saja keracunan. Tapi kamu masih punya tenaga untuk lari? Bagus," ucap Vincent.
Ia mendekat, mencondongkan tubuhnya ke atas Areta, menjebaknya di bawah tubuhnya.
"Aku membiarkanmu pulih di rumah sakit. Aku menanggung semua biaya. Dan ini balasanmu? Mencoba lari lagi?"
Areta menangis sesenggukan sambil menatap Vincent dengan kebencian dan ketakutan.
"Aku tidak mau di sini! Aku tidak mau bersama kalian berdua yang menjijikkan!"
Sebutannya pada Clara dan dirinya sendiri membuat mata Vincent menyala.
"Jaga bicaramu, Areta," ancamnya.
"Kamu lupa posisimu? Kamu adalah istriku, jaminanku, dan tawanan di rumah ini. Kamu tidak punya hak untuk menghakimiku!"
Vincent bangkit mengambil sehelai kain sutra dari lemari dan dengan cepat mengikat pergelangan tangan Areta ke tiang ranjang yang kokoh, tidak sekasar borgol, namun sama membatasinya.
"Malam ini kamu akan tidur dengan tangan terikat. Sampai kamu mengerti bahwa lari adalah pilihan yang tidak ada dalam kamusmu," putus Vincent.
Ia kemudian menatap Areta dengan pandangan intens.
"Besok, aku akan membuat perhitungan dengan Clara. Dan kamu, Nyonya Areta, akan menjadi hakimnya."
Areta terbaring terikat, menatap bayangan Vincent yang berdiri di samping ranjang, merencanakan balas dendam yang melibatkan dirinya.
Vincent melepaskan pakaiannya dan ia naik ke atas tempat tidur
Ia menarik pinggang istrinya yang sedang terikat dan memintanya untuk tidur.
Areta dengan pergelangan tangan terikat kain sutra pada tiang ranjang, meringkuk di sisi seberang.
Ia merasakan panas tubuh Vincent yang begitu dekat, dan ia bisa merasakan bagian bawah Vincent yang bergerak-gerak di balik celana pendek tidurnya, pertanda jelas hasrat yang tertahan.
Vincent membalikkan tubuhnya, menarik pinggang Areta yang sedang terikat dan memaksanya merapat ke tubuhnya yang telanjang dada.
"Tidur," perintah Vincent.
Areta berusaha menjauh, namun ikatan di pergelangan tangannya membuatnya tak berdaya.
Ia menolak menatap mata Vincent. Merasakan penolakan itu, Vincent menekan pinggulnya lebih dekat ke punggung Areta.
"Jangan menguji kesabaranku setelah hari yang panjang ini, Areta," desisnya.
"Aku bisa membuatmu tertidur dengan cara yang 'menyenangkan', atau dengan cara yang lebih cepat."
Ia meraih bantal dan Areta bisa merasakan niat membunuh yang tersirat.
"Tidur, atau aku akan membiusmu dengan sapu tangan," ancam Vincent, mengacu pada sapu tangan yang pernah membuatnya pingsan di bus.
Areta menggelengkan kepalanya, air mata kembali membasahi pipinya.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha memutus kontak dengan teror yang melingkupinya.Ia menarik napas dalam-dalam, berpura-pura tenang, memaksa dirinya untuk diam dan tidak bergerak.
Vincent menghela napas panjang, frustrasi karena tidak bisa menuntut haknya sekarang.
Malam ini, ia membutuhkan Areta tetap hidup dan sadar untuk menjalankan rencananya.
Ia melonggarkan cengkeraman di pinggang Areta sedikit, membiarkan Areta bernapas, tetapi tetap menjaganya dalam pelukannya.
Rasa panas dan maskulin dari Vincent menyelimuti Areta, mengingatkannya bahwa ia adalah tawanan yang terikat.
Keheningan kembali menyelimuti kamar. Di pelukan Vincent yang brutal, Areta akhirnya menyerah pada kelelahan.
Teror dan rasa sakit yang ia rasakan mengantarkannya ke alam tidur yang dipenuhi mimpi buruk.
Keesokan paginya membawa cahaya yang terasa kejam menembus tirai tebal.
Areta terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di sekujur tubuhnya.
Lehernya kaku karena tertidur dengan posisi yang aneh, dan pergelangan tangannya terasa mati rasa karena ikatan sutra yang masih melilit.
Di sebelahnya, Vincent sudah tidak ada. Seprai di sampingnya dingin, menandakan ia sudah bangun dan pergi beberapa waktu lalu.
Areta memutar tubuhnya, mencoba melepaskan ikatan, tetapi sia-sia. Ia terikat pada pilar ranjang, sepenuhnya tak berdaya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Bukan Vincent, melainkan Jonas yang masuk ke kamar dan diikuti oleh dua pria berbadan besar lainnya.
Jonas membungkuk hormat. "Selamat pagi, Nyonya Areta. Tuan Vincent memerintahkan saya untuk menyiapkan Anda."
Ia melonggarkan ikatan sutra itu, melepaskan Areta dari belenggunya. Areta segera mengusap pergelangan tangannya yang terasa kebas.
"Menyiapkan apa?" tanya Areta, suaranya serak.
"Tuan Vincent menunggu Anda di ruang kerja. Ada pakaian yang sudah disiapkan untuk Anda. Setelah itu, saya akan mengantar Anda," jawab Jonas tanpa ekspresi.
Areta melihat ke sofa di sudut ruangan dimana di dekatnya terlipat rapi sebuah gaun midi sederhana berwarna abu-abu gelap. Ia tahu, melawan tidak ada gunanya.
Setelah Areta selesai mengenakan pakaian itu, Jonas mengantarnya menuruni tangga menuju ruang kerja Vincent, sebuah ruangan besar yang didominasi kayu gelap dan kemewahan yang dingin.
Begitu pintu terbuka, jantung Areta mencelos melihat suaminya.
Vincent duduk di kursi kebesarannya, tampak sempurna dalam setelan jas berwarna biru tua.
Namun, yang membuat napas Areta tercekat adalah pemandangan di tengah ruangan.
Clara berdiri mematung di tengah karpet tebal, tidak lagi mengenakan pakaian mewah.
Ia hanya dibalut slip dress tipis dan compang-camping, rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat pasi dan di kedua pergelangan tangannya mengenakan borgol perak yang sama persis dengan yang dikenakan Areta di malam pernikahan.
Ujung borgol itu terhubung ke rantai yang dipegang erat oleh salah satu anak buah Vincent.
Clara mengangkat kepalanya, matanya yang penuh air mata langsung bertemu dengan tatapan Areta.
Ada campuran kebencian, ketakutan, dan keputusasaan di mata Clara.
"Areta! Kamu bangun? Itu tidak mungkin! Kamu seharusnya mati!" jerit Clara.
Vincent mengangkat tangannya, memberikan isyarat agar anak buahnya membungkam Clara.
Pria di samping Clara langsung mencengkeram rahangnya, membuat Clara hanya bisa mengeluarkan rintihan tertahan.
"Selamat datang, Nyonya Areta," sambut Vincent, suaranya tenang, namun udara di ruangan itu bergetar oleh janji kekejaman.
"Duduk."
Areta berjalan kaku dan duduk di kursi yang ditunjuk Vincent, tidak jauh dari Clara.
Vincent bersandar di kursinya, tatapannya beralih dari Clara ke Areta.
"Aku sudah mendapatkan semua bukti. Jonas menyelidiki bagaimana dia mendapatkan Sianida itu," jelas Vincent.
"Ternyata, dia membelinya dari salah satu kontak lamanya, berbohong bahwa racun itu untuk membasmi hama di gudang."
Ia memberi isyarat kepada anak buahnya, yang kemudian melempar rekaman CCTV ke meja di depan Areta.
Areta melihat Clara di layar, masuk ke kamar mereka dengan gerakan mencurigakan, kemudian keluar dengan senyum licik.
"Clara melanggar perintahku, Areta. Dia mencoba menyentuh jaminanku. Dia mencoba membunuhmu, sayang."
Vincent berdiri dan melangkah ke dekat Areta, mencondongkan tubuhnya hingga tatapan mereka sejajar.
"Sekarang, Areta. Kamu berutang nyawa padaku. Aku akan menganggapnya lunas dengan satu cara. Dia adalah adikku, tapi dia adalah milikku. Dan kamu adalah istriku, yang nyawanya hampir hilang."
Vincent mengambil sebilah pisau kecil dengan ukiran indah dari laci mejanya, menggesernya di atas meja hingga berhenti tepat di depan Areta.
"Dia ada di tanganmu," putus Vincent, tatapannya menyala.
"Aku tidak akan menghukumnya. Kamu yang akan menjadi hakimnya. Hukum dia, Areta. Bebaskan kebencianmu. Hukum mati dia jika kau mau, atau..."
"Berikan hukuman yang membuat dia hidup, tetapi menderita sepertimu. Semua keputusannya ada padamu, Nyonya Vincent."
lanjut Thor💪😘