Akira, cinta masa kecil dan satu-satunya cinta di hati Elio. Ketika gadis itu menerimanya semua terasa hangat dan indah, layaknya senja yang mempesona. Namun, di satu senja nan indah, Akira pergi. Dia tidak perna lagi muncul sejak itu. Elio patah hati, sakit tak berperih. Dia tidak lagi mengagumi senja. Tenggelam dalam pekerjaan dan mabuk-mabukan. Selama tiga tahun, Elio berubah, teman-temannya merasa dia telah menjadi orang lain. Bahkan Elio sendiri seolah tidak mengenali dirinya. Semua bermula sejak hari itu, hari Akira tanpa kata tanpa kabar.
3 tahun berlalu, orag tua dan para tetua memintanya segera menikah sebelum mewarisi tanah pertanian milik keluarga, menggantikan ayahnya menjadi tuan tanah.Dengan berat hati, Elio setuju melamar Zakiya, sepupunya yang cantik, kalem dan lembut. Namun, Akira kembali.Kedatangan Akira menggoyahkan hati Elio.Dia bimbang, kerajut kembali kasih dengan Akira yang perna meninggalkannya atau tetap menikahi sepupu kecilnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mia Lamakkara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senja Yang Sama
Setelah orang tua Julia bicara dengan tetua desa, mereka sepakat aka menikahkan Yoshep dan Julia setelah acara mapparola sepupu Elio. Acaranya sangat sederhana, hanya ada pasangan pengantin dan sepuluh orang lain yang hadir sebagai saksi. Yoshep hanya memberi seperangkat alat shalat sebagai mahar. Julia menangis tak henti, impiannya tentang pernikahan besar dan mewah pudar sudah.
"Saya sudah mengingatkanmu sebelumnya. Jangan terus memikirkan ide buruk dan membuat masalah. Sekarang, kamu menuai apa yang kamu tabur. Semuanya sudah jadi bubur. Apalagi yang kamu tangiskan. Sekarang jalani apa yang kamu pilih sendiri." Meski kesal dengan kelakuan sepupunya itu, Amalia juga iba. Dia selalu tahu kalau Yoshep tidak mencintai wanita manapun karena pengalaman hidup cowok itu tidak beruntung tentang wanita.
Ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya, kawin lari dengan laki-laki kaya. Tantenya, adik dari ayahnya mengambil utang banyak mengatasnamakan ayahnya dan menikah di kota. Utang itu ditanggung ayahnya sampai maut memanggil. Status Yoshep sebagai kekasih Julia hanyalah pegakuan sepihak Julia juga. Menurut Reimon, Yoshep tidak keberatan dengan pengakuan Julia sebagai kekasihnya karena itu bisa menghalangi gadis-gadis lain yang mengincarnya. Yohep memiliki penampilan yang sangat baik bila dibanding pemuda desa. Tubuhnya proporsional, tinggi dengan kaki jenjang. Wajahnya tampan mirip oppa-oppa korea ataupun cowok-cowok dracin dengan kulit gandum yang terkesan eksotis.
"Mereka.... mereka mempermainkanku."
"Julia, jangan kataka apa-apa lagi. Tidak bisakah kamu belajar dari semua yang terjadi? Tindakanmu sendiri yang membawa sampai titik ini."Amalia dengan tulus menasehati Julia.
"Tidak perlu sok baik di depanku. Semua ini diatur oleh Elio. Sebagai pacar sepupunya, kamu pasti punya peran juga, kan? ngaku aja!." Sentak Julia. Marah.
"Aku tahu, kamu selalu iri padaku yang lebih cantik dari kamu. Aku gampang dapat cowok sedang kamu cuma bisa sama si Reimon. Itu juga karena kamu bisa dimanfaatin sama dia." Julia berapi-api menyerang Amalia.
"Kamu pikir dia cinta sama kamu? dia lama jadi kamu karena kamu terlalu lugu. Dia punya selingkuhan dimana-mana diluar sana. Hanya kamu yang terlalu polos percaya padanya. Sebelum kamu, dia sudah sering gonta -ganti cewek. Reimon itu mata keranjang. Kalian pacaran bertahun-tahun, tidak juga mau ngelamar kamu karena dia tidak perna serius. Kamu hanya pajangan sekarang. Pada waktunya, dia akan menikah dengan pilihan keluarganya. Gadis dari keluarga kaya yang setara dengan keluarga Enrico."
"Nggak usah banyak bicara. Urusi saja dirimu sendiri!." Tissa datang dan mendorong Julia menjauh dari Amalia.
"Apa kamu sedang ngomongi dirimu sendiri? kamu mengaku pacarnya Yoshep cowok paling cakep tapi nyatanya kamu yang ngejar-ngejar sampai naik ke tempat tidurnya. Pas dinikahi cuma mahar seperangkat alat shalat tanpa pesta, tanpa cincin apalagi duit. Jangan ngomongin orag kalau kamu tidak lebih baik bahkan lebih buruk situasinya daripada yang kamu bicarakan. Dasar!." Sembur Tissa menarik pergi Amalia.
"Kalian...."Julia mencengkram dadanya yang sakit bukan karena dorongan dari Tissa tapi apa yang dikatakan Tissa mengenai titik tersakit dalam dirinya. Dinikahi tanpa mahar yang diimpikan selama ini apalagi pernikahan mewah yang selalu dia eluk-elukkan.
"Aku akan membalas semua penghinaan kalian!. Aaahhhhh.....!!." Julia memegang kepalanya.
"Berhenti berteriak!." Hardik satu suara. Yosep dengan santai muncul di hadapan Julia. "Apa sekarang? apa kamu pura-pura gila? kenapa kamu tidak berteriak di depan penghulu dan pura-pura gila tadi jadi kita tidak perlu menikah segala. Sialan...."
Julia terdiam. Dia tidak berani bertingkah gegabah di depan Yoshep.
"Masuk mobil, aku akan membawamu ke rumah."
"Sekarang?."
"Tidak, tahun depan. Tentu saja sekarang, kecuali kamu mau jalan kaki ke rumahku."
rumah Yoshep berada di desa sebelah. Rumahnya tidak buruk, meski tidak besar namun semua terbuat dari kayu seppu, kayu termahal. Dia perna datang sekali kesana bersama Amalia dan Reimon. Menurut beberapa orang, dulu orang tua Yoshep punya kehidupan baik meski tak sebaik kehidupan keluarga Enrico. Karena, kehidupan Yoshep tidak buruk dan bergaulnyapun dengan anak-anak keluarga tuan tanah dan pejabat di desa.
"Tapi aku belum ambil pakaianku."
"Orang tuamu sudah membawanya, mereka sepertinya tidak sabar mengusirmu." Julia tahu karakter orang tuanya, selagi kamu masih memiliki nilai yang bisa dimanfaatkan, maka mereka akan perhatian. Sekarang, rencana Julia untuk menikahi Elio berantakan. Wajar kalau orang tuanya akan acuh.
"Ini, uang untuk bulan ini dan gunakan sebaiknya. Kamu harus hemat karena uang ini aku siapin untuk menghidupi diriku sendiri.Kalau kamu boros, aku tidak peduli kalau kamu kelaparan. Kalau kamu mau uang lebih, aku akan mencarikanmu pekerjaan sebelum musim panen." Kata Yoshep ketika mereka sudah sampai di rumahnya.
"Tidurlah di sana. di kamar tamu."
"Tapi kita.... suami istri..."Ujar Julia takut-takut.
"Aku tidak suka diganggu..." Yoshep masuk kamarnya sendiri.
Elio menerima semua laporan tentang tingkah Julia dan perlakuan dingin Yoshep dari asisten terpercayanya Unayo yang masih sepupu jauh dari pihak ibunya. Dia mengangguk. Setidaknya, dia bisa menyingkirka Julia yang punya seribu macam pikiran mendekatinya. Elio tidak menyukai gadis itu terlebih karena sangat suka membuat rumor buruk tentang Akira. Elio percaya, Yoshep punya caranya sendiri merawat gadis itu disisinya dengan baik.
Memang benar yang dikataka Julia, kalau dialah yang mengatur Julia tidur sekamar Yoshep dan membuat mereka menikah. Sejak Julia mengedarkan gosip tentang Akira dan masuk di kamarnya, semua tindak-tanduk Julia diawasinya. Yoshep juga tahu tentang Julia yang berencana menjebaknya. Dia dengan sadar setuju tawaran Elio untuk menggantikan dirinya. Termasuk, menikahi Julia juga masuk dalam perjanjian mereka. Bagi Yoshep, Elio adalah tangan Tuhan yang dikirmkan padanya saat malaikat maut mencengkram separuh nyawanya dalam kecelakaan bersama ayahnya. Menahan Julia, si pembuat masalah disisinya hanyalah cara kecil untuk membalas penyelamatan itu.
Elio memandangi senja, kali ini dari jendela rumahnya yang masih sepi. Senja itu masih sama. Waktu datangnya masih sama, warnanya masih sama hanya situasinya berbeda. Senjanya kini tanpa Akira.
"Akira, dimanapun kamu berada, aku harap kamu sesekali menatap senja. Sesekalipu tak apa. Agar kamu bisa mengingat kenangan kita bersama saat senja." Lirihnya.
Oktober cukup panas di Kaohsiung, kota terbesar kedua di negeri formosa. Akira menemani pasiennya, Wang Siensen ke taman untuk olahraga bersama lansia lainnya. Para lansia itu berjejer memperagakan gerakan -gerakan taichi berteman lantunan musik syahdu nan menenangkan.
"Nǐ shì nǎlǐ rén?." Seorang wanita menepuk Akira yang duduk di bangku taman.
"Inni."
"Sama, mbak. Aku juga orang indonesia." Wanita itu tersenyum ramah.
"Sukabumi. Mbaknya darimana?."
"Sulawesi."
"Ohhh...jarang-jarang lho orang sulawesi merantau ke Taiwan. Kalaupun ada, paling satu dua orang jadi TKL* baru kali ini ketemu cewek. Lewat pt mana?."
"CPI."
"Udah berapa lama?."
"Sekarang jaln tujuh bulan, sih."
"Masih baru. Potongan masih jalan apa udah selesai?."
"Alhamdulillah selesai bulan kemarin."
"Berarti ngambil yang enam bulan. Bagus itu, cepat selesai cepat lega meski sisa gaji agak ketat."
"Mbaknya udah berapa lama?." Akira balik bertanya.
"Aku udah tiga kali kontrak, udah sembilan tahun."
"Betah ya, mbak?."
"Tanggungan di kampung banyak. Jadi, betah nggak betah, ya dibetah-betahin." Mbak itu tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong, namanya siapa? aku Rosita, panggil aja Ita."
"Namaku Akira."
"Namanya lucu, kayak nama orang Jepang. Aku panggil Ira, ya? masa manggil Aki."
Keduanya mengobrol seperti teman lama yang baru bersua lagi. Ada banyak cerita yang mengalir.
"Ira, aku duluan, ya. Rumahku lumayan jauh dari sini. Minggu depan, aku kesini lagi. Semoga kita ketemu lagi."
Rosita tidak lupa meminta nomor ponsel dan nama akun medsos Akira. Sejak dia lari dari rumah, Akira menutup akun medsos lamanya dan membuat yang saat masih di BLK.
"Siapa tadi? teman?." Tuan Wang menghampiri dengan langkah tertatih.
"Ya. Kenalan baru. Dia dari Indonesia juga."
"Bagus kalau kamu punya teman baru disini jadi tidak kepikiran dengan negara asalmu lagi. Di kaohsiung banyak orang indonesia bekerja. Banyak dari Jawa. Kamu, beda kan, ya?."
"Ya, aku dari sulawesi selatan. Provinsi dan sukunya beda."
Perawat dan pasien itu duduk mengobrol di bangku taman menyaksikan matahari tergelincir.
"Saya perna ke bali, dulu. Sudah sangat lama. Singgah dulu di Jakarta. Pagi-pagi, ribut. Orang muslim pai-pai."
Akira tertawa "Ya, itu namanya Azan, suara orang panggi pai-pai untuk orang islam."
Wang Siensen mengangguk. " Bali sangat indah dan sejuk. Kemudian saya lanjut ke Malaysia. Wahh....panas.... disana banyak panas." Pria tua itu terkekeh menceritakan pengalamannya.
Senja di Kaohsiung, Taiwan, membentang dengan warna oranye dan ungu, tak berbeda dengan senja di desanya. Dulu, dia kerap menikmati senja bersama keluarga, teman-teman dan Elio tentu saja. Saat ini, di sampingnya adalah Wang Siensen, pasien yang dia rawat di negara ini. Akira menatap cakrawala yang mulai memerah. Angin sepoi membawa suara lalu lintas kota, tapi pikirannya melayang jauh ke sawah-sawah hijau di kampung halamannya. Sehari-hari, Akira bekerja sebagai perawat lansia, merawat Wang Sien-sen yang berusia 70 tahun, pasca operasi. Tugasnya mulai dari membantu makan, mandi, hingga mengantarnya berjalan-jalan di taman. Akira melakukan semua dengan sabar, tapi ada kekosongan di hatinya yang tak bisa diisi. Setiap sore, dia naik ke rooftop ini, duduk di sudut yang teduh, menatap senja, dan mengenang. Elio. Senyumnya, tawanya, cara dia menatap sawah dengan bangga. Akira menarik napas dalam, mencoba menelan rasa pahit yang naik ke tenggorokan. Angin Kaohsiung membawa aroma lalu lintas dan deru kendaraan.
"Apa kamu masih menatap senja seperti aku?" bisiknya pada angin. Di desa, Elio lebih sering memilih tinggal di rumah-rumah sawah, jauh dari hiruk pikuk warga. Dia duduk di pematang, menatap senja yang sama, merasakan angin yang sama, tapi rasanya hampa.
"Malam ini, nggak perlu masak. Cece keluar makan dengan teman-temannya." Kata Wang siensen.
"Kita juga makan diluar. Disana ada rumah makan vegertarian. Itu aman buat kamu, kan?."
"Aku hanya tidak makan babi. Kalau Siensen mau makan daging, bisa. Aku bisa makan mie di rumah nanti."
"Nggak usah. Kita makan sama-sam saja. Sesekali makan vegetarian juga baik."
Keduanya jalan bersisian.
"Kata temanku, Indonesia juga maju pesat sekarang. Dia tiga bulan lalu dari sana. Dia ada sedikit kerja di Kalimantan."
"Ya, Indonesia memang banyak melakukan pembangunan belakangan ini."
"Itu baik. Negara oleh maju tapi prinsif leluhur harus dipegang. Jangan ikut-ikut prinsif negara luar. Leluhur akan marah."
"Taiwan banyak bagus, iya. Tapi, banyak ikut prinsif orang luar. Tidak bagus di Taiwan juga banyak sekarang. Harus punya agama, prinsif, ingat kata-kata leluhur, hidup akan baik...."
Mereka membelah kesibukan senja menuju restoran vegetarian sembari bercerita. Akira tersenyum tipis. Tapi senja ini masih terasa sunyi seperti bagian hatinya yang masih di desa.
Konsisten dan tetap percaya