Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#02
Lalu, untuk Desi. Nisa sayang bukan kepalang. Selain berasal dari keluarga terpandang, wanita itu juga punya pendidikan yang sangat bagus. Anak pertamanya, meskipun tidak punya bakat apapun, tapi bisa menikah dengan gadis yang ia anggap cukup luar biasa seperti Desi. Bukankah itu berkah yang sangat luar biasa?
Nisa menatap lekat wajah anak dan menantunya secara bergantian. Perlahan, dia bergerak mendekati Nindi. Lalu, plak. Sebuah tamparan dia hadiahkan ke wajah menantu yang tidak ia inginkan ini.
"Mama!" Afi kaget bukan kepalang. Sedang Nindi, dia hanya bisa terdiam sambil menahan air mata agar tidak jatuh.
"Apa yang mama lakukan? Kenapa mama tampar Nindi, Ma?"
"Kenapa aku tampar dia? Karena dia tidak tahu diri, Afi."
"Dia tidak tahu dari masa asalnya. Dia tidak pernah mau bersyukur dengan apa yang dia punya. Dia sungguh tidak tahu malu."
"Ma."
Anindia yang sebelumnya diam dengan wajah tertunduk, kini sudah mengangkat wajahnya. Linangan air mata terlihat di mata indah milik sang wanita cantik. Tatapan mata yang biasa teduh, kini sudah berubah tajam menusuk.
Hati yang sakit adalah penyebabnya. Hati yang sakit mampu mengubah perasaan sayang jadi benci. Hati yang sakit, bisa mengubah yang lemah jadi menakutkan.
Anindia bangun. Tatapan tajamnya seakan tidak berkedip. Terus menatap wajah Nisa tanpa berubah sedikitpun. Seringai menakutkan terlihat.
"Barusan, mama bilang, aku tidak pernah bersyukur? Aku tidak tahu diri, dan aku tidak tahu malu. Jadi, tolong katakan padaku, Ma. Apa yang harus aku syukuri sekarang! Apakah aku harus bersyukur ketika suamiku mau menikah lagi? Apakah-- "
"Anin. Tenang, Nin. Tolong jangan jawab apa yang mama katakan," ucap Afi memotong perkataan Nindi. Afi juga berusaha mencegah Nindi yang ingin terus melangkah.
Sungguh. Afi cukup terkejut akan sisi asing yang baru saja Nindi perlihatkan. Karena selama ini, dia tidak pernah melihat sisi yang menakutkan itu dari sang istri.
"Anindia. Tolong, tenanglah. Jangan jawab mama. Jangan bertengkar dengan mama. Mama itu orang tua. Selaku anak, kita harus mengalah."
Tatapan tajam Nindi langsung beralih ke arah Hanafi. Sedikit merinding, tapi Afi berusaha untuk tetap tenang. Namun, belum sempat Anin bicara, sang mama yang baru saja dibela anaknya semakin besar kepala. Langsung angkat bicara lagi.
"Sekarang lihat, Afi! Inilah wanita yang dulunya kamu perjuangkan. Wanita yang kamu anggap baik. Kamu puji-puji depan mama. Sekarang lihat! Dia sudah menampakkan wajah aslinya. Wajahnya sungguh mengerikan."
"Ma. Tenanglah. Jangan bicara lagi. Anin-- "
"Cukup, Afi. Mama juga tidak ingin berdebat. Mama hanya ingin kamu melakukan apa yang telah kakak mu wasiatkan. Tapi kenapa? Kenapa istrimu malah menjadi penghalang?"
"Afi. Dulu, saat kamu ingin mendapatkan restu dari mama, kamu berusaha sangat keras. Setelahnya, barulah mama merestui pernikahan kalian. Lalu sekarang, kenapa istri yang kamu perjuangkan jadi seperti ini, ha? Kenapa dia malah jadi wanita yang sangat egois?" Sang mama terus memberikan penekanan pada anaknya.
Ucapan itu membuat Nindi tidak tahan lagi. Dia yang sudah kesal, semakin di buat kesal dengan kata-kata yang mertuanya ucap. "Aku? Egois? Apakah mama tidak salah bicara?"
"Cukup, Anindia. Jangan berdebat lagi. Jangan bantah apa yang mama katakan."
"Mas Afi. Aku membantah? Pokoknya, aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah tidak bisa untuk bertahan. Kesabaran ku sudah habis. Jika kamu ingin menikah, aku bersedia. Tapi, jangan pertahankan aku agar tetap menjadi istrimu. Itulah keputusan terakhirku. Aku ingin pisah. Kita bercerai. Maka kamu bebas untuk menikah lagi."
"Cukup, aku bilang! Cukup! Kita tidak akan bercerai. Aku tidak akan-- "
Sang mama yang merasa terpojok, seketika mengeluarkan jurus pamungkasnya. Jurus, sakit. Tiba-tiba saja, Nisa langsung merasakan sesak pada dadanya. Dia langsung merintih kesakitan. Dan, perlahan jatuh ke lantai.
"Mama!" Wajah panik Afi terlihat dengan sangat jelas.
Teriakan itu langsung memanggil Hana untuk datang ke kamar kakak keduanya. Dengan wajah penasaran, Hana melontarkan pertanyaan. "Apa yang terjadi, Kak?"
Wajah penasaran itu langsung berubah panik saat melihat kakak keduanya berusaha merangkul sang mama yang sedang terjatuh di lantai. "Mama!"
"Hana. Panggilkan dokter!"
Tanpa menjawab, Hana langsung melakukan apa yang kakaknya katakan. Suasana rumah sangat tegang sekarang. Segalanya terasa tidak baik-baik saja.
Afi memindahkan mamanya ke atas ranjang. Sambil menunggu dokter yang Hana panggilkan datang, dia terus membelai tangan mamanya dengan perasaan bersalah. Sementara itu, Nindi yang juga merasa bersalah akan apa yang sedang terjadi, hanya bisa diam di ujung ranjang.
Beberapa waktu kemudian, dokter yang Hana panggil datang. Sesaat kemudian, Desi yang sedang tinggal di rumah yang berbeda, juga ikut datang karena panggilan dari Hana. Maklum, Desi adalah menantu sekaligus ipar terbaik di hati keluarga Afi. Jadi, tentu saja kabar apapun akan dibagikan dengan wanita tersebut.
"Hana. Apa yang tejadi pada mama? Kenapa mama bisa sampai pingsan, Han?"
Pertanyaan Desi membangkitkan amarah yang tertahan dalam hati Hana. Dengan tatapan penuh dengan marah, Hana menatap lekat wajah Nindi.
Telunjuk ia arahkan ke Nindi. "Semua gara-gara dia. Dialah yang telah menyakiti mama. Dialah yang telah membuat mama pingsan. Aku heran, mungkin, dia sangat tidak suka tinggal di keluarga ini sampai sering bikin ulah."
"Hana! Jaga ucapan mu." Bentak Afi dengan nada tinggi sesaat setelah mendengar adiknya bicara kasar tentang sang istri.
Tentu saja bentakan itu semakin menambah rasa tidak suka Hana pada kakak iparnya. Dengan wajah kesal, dia tatap si kakak yang sedang memunggungi mereka.
"Kenapa, kak? Kenapa kamu selalu saja membela dia? Apakah dia sebegitu pentingnya buat kamu sampai saat dia menjadi penyebab mama pingsan pun kamu tetap ada di pihaknya? Kamu tetap bela dia walau dia salah. Apakah mama tidak lebih penting darinya?"
"Hana, cukup!"
"Afi. Sudah. Jangan bentak Hana lagi. Hana bicara begitu hanya karena dia sedang emosi. Tolong, jangan perkeruh suasana."
"Hana. Kamu juga jangan bicara lagi ya. Kalian sama-sama sedang dipengaruhi oleh amarah yang tinggi. Jadi, sebaiknya, jangan keluarkan kata-kata kalian. Jika tidak, keadaan yang sedang kacau akan semakin bertambah kacau nantinya."
Ucapan yang Desi keluarkan bisa membuat Hana dan Afi bungkam. Inilah kenapa Hana paling suka Desi. Dia terlihat sangat tenang. Bisa menjadi penengah dalam segala hal. Maklum, orang kalau sudah suka, apapun kondisinya, tentu saja akan terlihat baik. Begitu pula sebaliknya. Jika sudah tidak suka. Sebaik apapun orang tersebut, tetap saja, kesannya akan buruk.
Sesaat kemudian, setelah si dokter memeriksa kondisi Nisa. Dokter itu meminta mereka yang ada di kamar untuk keluar. "Bisakah kalian keluar dulu? Nyonya Nisa butuh udara segar sekarang."
"Apa yang terjadi dengan mama saya, Dok? Apa mama baik-baik saja?" Afi bertanya dengan wajah tegang.
"Saya perlu memeriksanya lagi. Jika memang kondisinya sangat buruk, kita harus membawanya ke rumah sakit. Jadi tolong, berikan saya waktu untuk berduaan saja dengan Nyonya Nisa. Dengan begitu, saya bisa lebih leluasa dan juga lebih fokus lagi untuk melakukan tugas saja dalam memeriksa kondisi fisik nyonya Nisa."
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.