Dikhianati dan difitnah oleh selir suaminya, Ratu Corvina Lysandre terlahir kembali dengan tekad akan merubah nasib buruknya.
Kali ini, ia tak akan lagi mengejar cinta sang kaisar, ia menagih dendam dan keadilan.
Dalam istana yang berlapis senyum dan racun, Corvina akan membuat semua orang berlutut… termasuk sang kaisar yang dulu membiarkannya mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Pintu terbuka perlahan. Meriel masuk dengan penampilan yang sudah rapih, wajahnya tampak lesu tapi tetap berusaha tersenyum. “Meriel dengar Yang Mulia belum tidur,” katanya lembut. “Meriel sangat khawatir.”
Cassian tidak menjawab. Ia hanya menatap gadis itu lama seolah baru menyadari, sosok yang dulu ia kira sumber ketenangan, kini justru menjadi awal dari semua kekacauan.
Meriel melangkah mendekat ke arah Cassian, lalu duduk di tepi meja. “Meriel tahu Yang Mulia marah karena masalah di sidang kemarin,” ucapnya pelan. “Tapi Meriel bersumpah, Meriel tidak tahu apa pun soal surat itu. Count Felix memfitnah Meriel. Meriel tidak tahu kalau isi surat itu tentang pengkhianatan.”
Cassian menatap wajah Meriel, mencari sebuah kejujuran di matanya, itu pun mungkin jika ada. Tapi yang ia temukan hanya mata yang basah yang semakin membuatnya ragu.
“Kenapa kau datang kemari?” tanyanya datar. “Aku sudah memerintahkan agar kau beristirahat.”
Meriel menunduk, suaranya gemetar. “Meriel mencemaskan Yang Mulia, ayah dari anak yang Meriel kandung.”
Cassian terdiam. Kalimat itu menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun. “Mengandung?” suaranya rendah, nyaris saja ia lupa kalau Meriel sedang mengandung.
Meriel mengangguk pelan. Matanya menatap Cassian sendu, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Anak Anda, Yang Mulia. Meriel tahu ini sulit dipercaya, Meriel di nyatakan sedang mengandung disaat kekacauan sedang terjadi. Tapi Meriel bersumpah demi Tuhan, ini anak Anda.”
Cassian menatapnya tanpa berkedip. Ada keheningan panjang di antara mereka. Lalu ia bangkit perlahan, berjalan mendekat, tapi langkahnya seperti terseret.
“Anakku.” gumamnya, seolah mencoba mencicipi kata itu di lidahnya.
Meriel menggenggam tangannya, dan menatap penuh harap. “Ini kabar baik, bukan? Sekarang Anda tidak perlu lagi mendengar sindiran dari mereka tentang keturunan. Meriel ingin membahagiakan Anda, Yang Mulia.”
Cassian menatap genggamannya. Tangannya kaku dan terasa sangat dingin.
“Kau benar,” katanya datar. “Ini kabar baik.”
Tapi matanya tak berbinar saat mengatakannya, tidak seperti pria yang baru saja mendengar kelahiran pewaris takhta. Ia menarik tangannya perlahan, lalu melangkah ke arah jendela.
“Yang Mulia,” suara Meriel lembut tapi terdengar bergetar halus, “apa Anda tidak akan menyiarkan kabar ini? Mengadakan perayaan untuk calon penerus Anda?”
Cassian berbalik lalu menatap Meriel lama. Wajah Meriel terlihat tampak pucat, tapi matanya berbinar penuh harap. Ia menunduk, tangannya mengusap lembut perutnya yang belum terlihat membesar.
“Setiap rakyat berhak tahu, bukan?” lanjutnya pelan, seraya tersenyum kecil. “Mereka pasti bahagia mendengar bahwa Kaisar akhirnya akan memiliki pewaris.”
Cassian menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya. “Belum saatnya,” katanya datar.
Senyum Meriel menipis. “Tapi … kenapa? Bukankah ini kabar baik?”
Cassian berpaling, tak sanggup menatapnya. “Karena akan menyinggung perasaan Ratu.”
Senyum Meriel menjadi kaku. Sekilas ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang berubah. “Ratu?” suaranya pelan, hampir berbisik. “Anda sangat menjaga perasaan Yang Mulia Ratu.”
“Corvina tetaplah Ratu meskipun kamu melahirkan anakku. Selama dia belum dicopot dari tahtanya, aku wajib menjaga martabatnya.”
Meriel menggigit bibirnya, menahan emosi yang nyaris meledak. “Tapi Meriel mengandung anak Anda,” katanya dengan suara gemetar, “Meriel yang membawa penerus kerajaan ini, bukan dia. Haruskah Meriel terus mengalah? Meskipun Meriel hanya seorang selir tapi Meriel ingin di perlalukan adil oleh Yang Mulia?”
Cassian menutup matanya sejenak. “Kau tidak mengerti, Meriel. Istana ini … tak semudah itu dibolak-balikkan semauku.”
Meriel mendekat perlahan, suaranya melembut tapi matanya tajam. “Meriel hanya ingin di perlakukan yang seharusnya, Yang Mulia. Untuk Meriel … dan anak Anda.”
Cassian menatapnya sekilas dan di mata itu, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Ia berusaha menjawab, tapi kata-kata tertahan di tenggorokan.
Meriel mencoba membaca situasi. “Yang Mulia…?”
"Kamu harus banyak-banyak istirahat agar kandunganmu sehat.” kata Cassian, "nanti aku akan coba bicarakan dengan Ratu."
“Baiklah,” bisiknya. Ia membungkuk sopan, lalu melangkah keluar.
Begitu Meriel pergi dan pintu tertutup rapat, Cassian menunduk, menarik napas panjang seolah udara di ruangan tiba-tiba menolak masuk ke paru-parunya.
“Bagaimana aku harus mengatakannya pada Corvina…” gumamnya lirih. “Mendengar Meriel dibebaskan saja dia sudah murka … apalagi kalau aku harus meminta izinnya untuk perayaan kehamilannya.”
Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap kosong ke langit-langit.
bertele2