NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Api dan Belati

Seorang prajurit yang menggiringnya maju satu langkah, seketika menunduk di hadapan sang Duke dengan sikap formal militer. Tubuhnya kaku, napas tertahan seolah menahan rasa hormat dan ketakutan sekaligus. Dentingan sepatu prajurit itu menyatu dengan gema aula, menimbulkan resonansi yang menegangkan, seperti pukulan palu yang lambat tapi pasti menghantam ketenangan ruangan.

"Yang Mulia. Kami telah membawa gadis ini," ucapnya dengan suara tegas, tapi tetap rapi, selaras dengan protokol militer yang ia pelajari sejak kecil.

Duke Orion hanya melirik sekilas ke arah prajurit itu, tanpa ekspresi yang jelas. Tatapan singkatnya seperti cambuk yang melayang di udara, menusuk kulit dan tulang. Sekali lagi, ia berbicara dengan nada datar namun memerintah.

"Kalian boleh pergi."

Prajurit itu segera mundur, langkahnya berat namun teratur. Ia meninggalkan Rosella seorang diri di tengah aula besar yang berlapis batu dingin. Semua mata seketika tertuju padanya, dari tamu undangan sampai jenderal yang menunggu di sisi ruangan. Hening yang menggantung di udara terasa seperti lapisan besi, lebih berat daripada dentuman genderang perang yang pernah menggema di medan tempur. Suara langkah terakhir prajurit itu seakan menutup tabir antara dunia luar dan pertarungan yang baru saja dimulai di mata.

Tatapan Orion melintasi tubuh Rosella dari ujung kepala hingga ujung kaki, tak menyembunyikan sedikit pun perhatian yang ia berikan. Tidak ada sopan santun. Tidak ada belas kasih. Tidak ada rasa bersalah yang terselip di balik senyumnya. Hanya keheningan dingin yang penuh penghakiman, tajam dan menusuk.

Rosella berdiri diam, seperti batu di tengah sungai yang deras, merasakan tatapan Duke yang membakar kulitnya. Ada panas yang menusuk dari matanya, tetapi ia tetap tegap. Tidak mundur. Tidak kali ini.

Duke Orion menyandarkan satu sikunya ke sandaran kursi, wajahnya setengah tersembunyi dalam bayangan. Akhirnya ia membuka mulut, nada suaranya tenang, datar, namun menggigit seperti bilah besi yang lama direndam dalam salju yang membeku.

"Kudengar para bangsawan di Vermont memiliki tarian mereka sendiri."

"Tarian Virellea, bukan?"

Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Rosella. Sebuah senyum samar muncul di sudut bibirnya, bukan senyum hangat, bukan pula ramah. Lebih mirip kepuasan seorang pemburu yang menatap mangsanya masih berusaha bertahan di dalam jebakan.

"Sttt ...," desisnya perlahan, suaranya lembut, tapi sarat ancaman. "Namun melihat penampilanmu sekarang, kau lebih menyerupai seorang penggoda, Tuan Putri."

Kata-kata itu halus, tetapi mematikan. Ia seperti jarum kecil yang menancap jauh ke dalam dada Rosella, meninggalkan sensasi panas yang menyakitkan. Beberapa jenderal tertawa kecil. Valdrosh bahkan menepuk pahanya, menikmati situasi ini seperti hiburan murahan yang menyenangkan bagi mereka.

Rosella mengangkat dagunya perlahan, tanpa membiarkan kemarahan atau rasa terhina terlihat. Sebuah senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. Senyum itu bukan manis, bukan jinak. Tapi liar, penuh duri dan ancaman tersembunyi.

"Benarkah, Tuan Duke?" suaranya keluar dengan nada yang tegas, menantang, sekaligus menahan bara emosi yang ingin meledak.

"Kalau begitu ... kita lihat saja."

"Apakah kau benar-benar bisa menahannya mulai dari sekarang?" Rosella berucap, suaranya bening, namun berisi bahaya tersembunyi. Kalimat itu seolah tali yang ia tarik, memancing reaksi dari Duke yang selama ini terlihat tak tergoyahkan.

"Musik!" serunya lantang, suara itu bergema di aula batu, menembus setiap sudut dengan kekuatan yang tak terlihat namun nyata.

Begitu musik dimainkan, denting lembut harpa mengalun seperti desir angin malam yang membelai kulit. Irama itu merambat perlahan, menembus dada siapa pun yang mendengarnya, menimbulkan sensasi aneh antara ketegangan dan kecantikan yang memabukkan. Semua mata tertuju pada Rosella—wanita muda dalam gaun keperakan tipis, berkilau seperti embun beku yang menari di bawah cahaya bulan. Bukan gaunnya yang membius, tetapi cara ia bergerak penuh kendali, terukur, dan memikat tanpa terlihat dipaksakan.

Rosella melangkah maju, setiap gerakan perlahan, anggun, dan penuh perhitungan. Seolah setiap langkahnya adalah tetes racun yang ia titipkan dengan presisi, setiap tarikan napas seirama dengan ritme musik yang memutar aura bahaya dan misteri di seluruh aula. Kedua tangannya terangkat, membentuk lengkungan sempurna seolah menyambut malam, kemudian turun perlahan, menyapu udara seakan mengusap luka yang belum kering, luka yang tersimpan dalam diam selama bertahun-tahun. Kepala menunduk sepersekian detik, lalu menoleh ke arah Orion dengan lirikan tajam dari balik bulu mata lentik.

Bibirnya melengkung, bukan senyum hangat, tapi ejekan lembut yang menusuk, memikat, dan nyaris berbahaya. Ia berputar sekali, kaki kanan diangkat ringan, rambut pirangnya berayun membentuk lingkaran cahaya yang memikat. Udara seketika menjadi tegang, tercekik dalam diam, karena gerakannya mengalir seperti air jernih, tetapi menyimpan arus deras yang bisa menyeret siapa pun ke dalamnya.

Langkah berikutnya lebih berani. Ia mendekat langsung pada Duke yang duduk tenang di singgasananya. Ia menari bukan sebagai tawanan, bukan pula sebagai putri yang dilucuti kehormatan. Ia menari seperti wanita yang tahu tubuhnya adalah alat, dan malam ini ia menggunakannya seperti algojo yang memegang pisau terakhirnya.

Jari-jarinya menari di udara, membentuk pola misterius, setiap putaran pinggul dan lirikan mata mengandung makna yang lebih tajam daripada kata-kata. Ia tidak sekadar menghibur—ia menantang, membalas, dan menegaskan keberadaannya di dunia yang telah merampas segalanya darinya.

Saat tubuhnya berbalik, lengannya menyapu udara tepat ke arah Orion, lalu ia bersimpuh perlahan di lantai, tangan terangkat tinggi, wajah menoleh ke arah pria yang telah merenggut kehidupannya. Matanya menatap lurus ke mata Orion, hazel yang berkilat seperti api dalam gelas kristal. Bibirnya berucap lirih, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk mengguncang dada sang Duke:

"Bagaimana, Tuan Duke? Masih bisa menahan diri sekarang?"

Rosella kemudian naik ke pangkuan Duke Orion dengan gerakan halus namun penuh bara. Sehelai rambut pirangnya meluncur, menyentuh pipi pria itu saat ia menyesuaikan posisi. Gaunnya tipis, berkilau, mengalir seperti air malam yang membelai permukaan gelap tempat tidur, menambah ketegangan yang terasa hampir tak tertahankan.

Dalam tangannya, sebuah teko porselen kecil bergemerincing lembut, seperti detak jantung yang halus di tengah ruang yang menahan napas. Ia menuangkan teh ke dalam cangkir, uapnya naik perlahan, menari seperti kabut tipis antara dua musuh yang saling mengintai dalam diam.

Namun tak ada yang lebih panas dari tatapan Rosella saat itu, dan tak ada yang lebih membakar daripada keheningan Duke Orion yang memilih menahan diri.

Setelah cangkir terisi, Rosella menyodorkannya, tapi seperti seorang penari yang tahu persis kapan harus memutus musik sebelum klimaks, ia menarik cangkir itu kembali perlahan. Suara seraknya rendah, nyaris bisikan di telinga Orion:

"Tuan Duke, akan lebih menggairahkan jika yang kutuang adalah segelas anggur merah."

Ia menoleh, mendekat, wajah mereka hanya berjarak napas. Senyum itu adalah luka: indah, tajam, menyimpan niat tersembunyi yang tak terhitung.

"Anggur yang kuat, pekat ... dan mungkin sedikit memabukkan." Ia menambahkan, lalu meletakkan cangkir kembali ke meja. Tangannya bergerak menyapu dada Orion, turun perlahan ke sisi jubahnya, seakan menandai wilayah, seakan mengingatkan bahwa malam ini, permainan telah dimulai.

Orion tetap tak bergeming, rahangnya mengeras, jemarinya mengepal samar. Pandangannya menajam, membekukan napas siapa pun yang menyaksikan. Malam itu, sesuatu dalam diri Rosella telah menembus batasnya, menimbulkan getar yang ia jarang rasakan. Ia membaca setiap maksud tersembunyi, setiap ancaman yang terselip dalam kelembutan gerakan Rosella. Ini bukan rayuan, bukan cinta, bukan permohonan—ini ancaman terselubung, dikemas dengan keanggunan dan kematangan yang mematikan.

Orion mencondongkan tubuh sedikit ke depan, hanya sejengkal, dingin, lembut, namun berbahaya. Tangan kirinya terangkat, mencengkeram pergelangan Rosella dengan ketegasan baja, tanpa melukai. Ia menatap lurus ke dalam mata gadis itu.

"Kau bermain api, Putri," gumamnya rendah. "Dan kau lupa satu hal penting."

Rosella menatap balik tanpa gentar. Napasnya tertahan.

"Api ... adalah temanku," jawabnya.

Senyum tipis Orion muncul, bukan ancaman kali ini, tapi pengakuan diam-diam: permainan Rosella telah menembus sesuatu yang selama ini ia sembunyikan. Perlahan, ia mengambil cangkir teh, menyesap sedikit, tetap menatap wajah gadis yang duduk di pangkuannya.

"Teh ini pahit," katanya. "Aku tidak bisa menikmatinya."

Rosella turun dari pangkuan dengan gerakan cepat tapi terkontrol, amarah kecil berkedip di matanya. Para tamu berdiri, mulai bertepuk tangan, terpukau oleh pertunjukan yang baru saja mereka saksikan, tanpa menyadari bahwa panggung tadi adalah medan perang, bukan hiburan.

"Lancang!" teriak Veyrund, menunjuk ke arah Rosella, suaranya menggelegar seperti petir.

"Bagaimana bisa seorang putri bangsawan mencoba menggoda Duke kami?!"

"Jendral Veyrund, apa maksudmu?!" Rosella membalas tajam, suaranya menusuk balik seperti bilah belati.

"Bukankah seharusnya kau sadar diri, jika kau adalah seorang tawanan?!"

Suara Veyrund menggema di aula, menghantam dinding batu, tepuk tangan berhenti. Harpa membisu. Para tamu menunduk, terjebak dalam ketegangan yang menusuk seperti dingin baja pada kulit.

Rosella berdiri tegak, wajahnya merah padam—bukan malu, tapi terbakar rasa terhina. Bahunya tetap tegak, jari-jarinya mengepal diam-diam, menahan bara yang mulai membara.

Suara berat dari atas singgasana membelah udara.

"Cukup."

Satu kata. Sederhana, tapi mampu menghentakkan seluruh udara di aula besar. Ruangan itu seketika hening, seakan dunia berhenti sejenak untuk mendengarnya. Jantung para jenderal berdegup tak menentu; napas mereka tertahan. Veyrund terhenti di tempatnya, tubuhnya membeku, lututnya seolah melemah, matanya menunduk dalam-dalam, menyembunyikan rasa takut yang samar.

"Jendral," suara Duke Orion mengalir, tenang, tapi setiap kata memiliki bobot berat seperti palu besi yang menghantam, memaksa siapa pun untuk tunduk. "Aku tidak butuh penjaga mulut. Terutama dari orang yang tidak tahu bedanya tarian dan pemberontakan."

Veyrund mengangkat wajahnya sedikit, ragu, seperti ingin melawan tapi menyadari bahwa satu langkah yang salah bisa berakibat fatal. "Tapi Yang Mulia—"

"Aku menyuruhnya menari. Dan dia menari."

Tatapan Orion lurus, menembus, tajam seperti pisau, menusuk langsung ke dada siapa pun yang menatapnya. Tidak ada nada tinggi, tidak ada kemarahan yang berlebihan—hanya ketenangan yang begitu pekat sehingga menekan lutut siapapun yang berdiri di sekitarnya.

"Kalau kau ingin memprotes pilihan hiburanku, lakukan di medan perang. Bukan di meja makan."

Kata-kata itu seperti cambukan. Veyrund menunduk lebih dalam, rahangnya terkepal, tubuhnya bergetar sebentar sebelum sepenuhnya tunduk. "Ampun, Yang Mulia," gumamnya, tak tersisa keberanian untuk melanjutkan.

Aula kembali sunyi. Suara yang tersisa hanyalah langkah sepatu Rosella—pelan, mantap, pasti. Setiap langkah menekan lantai kayu dengan ritme tekad yang tak tergoyahkan. Dagunya tetap terangkat, punggungnya lurus, menandakan keberanian yang tidak memerlukan kata.

Saat ia hampir melewati jajaran jenderal dan tamu, tubuhnya menahan sejenak. Rosella menoleh ke belakang. Sekali, dua kali. Matanya bertemu dengan Duke Orion. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, namun pandangannya adalah pesan yang membakar ruangan—tidak perlu kata, semua telah tersampaikan.

'Aku belum selesai.'

Orion membalas tatapan itu. Matanya seperti batu gelap yang menyimpan bara. Tidak ada kata yang diucapkan. Tidak perlu. Mereka saling memahami; pertempuran yang sesungguhnya baru saja dimulai, meski tak seorang pun di ruangan ini menyadarinya.

Beberapa jam kemudian, setelah perjamuan usai dan para tamu mulai bubar, Duke Orion tetap duduk di singgasananya. Bayangan obor menari di wajahnya yang hampir tidak pernah memperlihatkan emosi. Hanya sedikit perubahan di garis rahangnya—apakah itu kemarahan, atau ketertarikan, sulit ditafsirkan.

Ia mengangkat tangan, memberi isyarat pada salah satu pengawal di pintu. Suaranya tetap dingin, tapi setiap kata membawa bobot yang tak bisa diabaikan.

"Bawa dia ke kamarku."

Pengawal itu tertegun, matanya membesar. Tidak seorang pun menyangka perintah itu akan keluar di tengah semua mata yang mengawasi. "Yang Mulia ...?"

Orion menoleh singkat, tatapannya datar, tanpa emosi, hanya ketegasan yang menembus ruang.

"Aku tidak ingin dia disentuh oleh jenderal, prajurit, atau tamu manapun pun malam ini. Jika ia suka menari di depan singa, maka biarkan saja dia tidur bersama ketakutannya."

Ruangan itu seketika menjadi sunyi, hening seperti liang kubur. Para jenderal saling bertukar pandang, ragu, tapi tak ada yang berani bersuara. Bahkan Veyrund, yang tadi hampir melawan, kini hanya mengepalkan rahangnya, menunduk sepenuhnya.

Rosella tetap diam. Tapi caranya berdiri, tegap, bahunya tidak merosot, dagunya tetap tinggi, sudah cukup berbicara tanpa kata. Tidak ada rasa takut di matanya; hanya tekad yang mengalir dalam diam, dalam setiap helaan napas. Detak jantungnya berirama seperti genderang perang, siap meledak setiap saat.

Ia tahu—perintah itu bukan perlindungan, bukan belas kasih. Ini adalah ujian. Atau ... jebakan.

~oo0oo~

Malam itu tiba.

Kamar pribadi Duke Orion berdiri di tengah barak militer yang keras dan dingin, bukan sekadar kamar tidur perwira perang—lebih seperti benteng kedua. Dinding batu abu-abu tinggi menjulang, rak senjata di pojok, meja penuh peta, dan tempat tidur besar berlapis kain beludru gelap yang menelan cahaya obor. Setiap sudutnya memancarkan ketegangan, otoritas, dan rahasia yang tak tersentuh.

Di ambang pintu, Rosella berdiri. Diam. Rambut pirangnya menjuntai lembut, tapi kini balutan tipis kain malam transparan melingkupi tubuhnya. Tidak ada penjaga. Tidak ada saksi. Hanya dirinya, dan sebilah belati perak tersembunyi di balik pita pinggangnya—satu-satunya peninggalan ibunya, satu-satunya bukti kehormatan yang tersisa, darah dan rumah yang direnggut begitu kejam.

Langkahnya pelan, setiap gerakan diperhitungkan. Lantai kayu berdecit lembut di bawah kaki telanjang, bayangan di dinding menari mengikuti geraknya. Setiap tarikan napasnya adalah persiapan, setiap detik adalah pengukuran waktu dan ruang, menunggu.

Pintu di seberang terbuka perlahan. Langkah berat Duke Orion terdengar. Mantelnya tersampir tanpa rapi, pistol dilepas dan diletakkan begitu saja. Ia tidak menoleh, tidak menyambut.

"Tidurlah. Jangan membuatku kehilangan kesabaran malam ini."

Nada itu, dingin, tajam, lebih mematikan dari baja yang disimpan di dinding.

Rosella menurut. Perlahan ia naik ke ranjang, berbaring di sisi yang berlawanan, punggung menempel ke kasur. Matanya menatap gelap, pikirannya lebih gelap lagi. Setiap helaan napas pria di sampingnya ia hitung, setiap denyut jantungnya ia ukur. Menunggu.

Ketika bunyi napas berat dan dalam terdengar, Rosella tahu saatnya.

Ia duduk perlahan. Tangan masuk ke balik kain pinggang, mencabut belati perak peninggalan ibunya. Cahaya obor di dinding memantul di permukaan logam, menari-nari seakan memberi nyawa pada niatnya.

Ia berjalan perlahan, langkah ringan tapi pasti. Bayangan Orion terlihat damai, terlalu damai.

Rosella berdiri tepat di samping ranjang. Tangannya gemetar, tapi tidak ragu. Belati itu diangkat tinggi, kedua tangan menggenggam gagang erat.

'Kau mencabut mahkotaku. Kau menjatuhkanku. Dan sekarang kau tidur seolah tak bersalah.'

'Kalau dunia ini harus kubakar untuk mendapatkan kehormatanku kembali, maka aku akan mulai dengan lehermu.'

Ia mengayun.

Namun belum sempat ujung pisau menyentuh kulit Orion …

Sebuah tangan kokoh dan dingin mencengkeram pergelangan tangannya, sekuat baja.

Rosella terperanjat. Napasnya tertahan. Matanya membelalak dalam keterkejutan.

Kepala Orion menoleh perlahan. Matanya terbuka sepenuhnya. Biru, tajam, jernih. Bukan mata seseorang yang baru bangun, tapi mata yang tak pernah tidur, yang selalu waspada, menunggu.

Dan untuk pertama kalinya, Rosella merasakan dingin yang lebih tajam dari baja belatinya sendiri. Tatapan itu tidak berkata apa-apa—tapi seolah menyatakan satu hal.

'Aku sudah menunggumu.'

.

.

.

Bersambung

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!