Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Clara menarik Helena, berjalan cepat ke arah ujung jalan. Ada sebuah kafe kecil yang tampak sepi, hanya beberapa meja terisi. Aroma kopi bercampur rempah tipis memenuhi udara begitu mereka masuk.
Clara memilih meja di pojok, jauh dari jendela, lalu duduk dengan punggung menghadap pintu. Wajahnya agak pucat, matanya terus bergerak gelisah.
Helena duduk berhadapan dengannya, menunggu.
Clara meraih cangkir kosong di depannya, seolah butuh sesuatu untuk menenangkan tangan yang bergetar. “Apa yang ingin kamu tahu"
Helena mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya rendah tapi mantap. “Dimana Amara? Kau tiba-tiba kembali saat dia menghilang, apa kau ada hubungannya dengan kepergian Amara? Mungkin kau menyukai Lucian?"
Clara kaget mendengar tuduhan itu. Ia menggeleng cepat. "Nggak, aku nggak tahu dimana Amara. Aku juga baru tahu kalau dia menghilang. Aku bersumpah tidak ada hubungannya dengan kepergian Amara."
Helena mengamati wajah wanita itu, dia tampak sangat meyakinkan dengan kata-katanya.
'apa dia berkata jujur?' tanya Helena dalam hati. Clara kelihatannya memang tidak tahu apa-apa, tapi pembicaraannya di restoran tempo hari dengan Lucian seperti Clara tahu segalanya.
Pelayan meletakkan dua cangkir kopi di meja mereka, lalu pergi begitu saja. Suara denting sendok dari meja lain terdengar samar, tapi di antara Helena dan Clara, hening terasa berat, menekan.
Clara menggenggam cangkirnya erat, sampai uap panas membuat kulit tangannya memerah. “Aku tidak tahu banyak. Ya, aku memang sahabat Amara tapi aku baru kembali dan kabar hilangnya Amara juga membuatku terkejut, siapa yang tidak kaget saat mendapati kabar buruk tentang orang terdekatnya.”
Helena menatapnya tajam. “Clara jangan mengelak, beberapa hari lalu aku melihatmu bersama Lucian dan kalian membicarakan Amara. Aku tahu kau tahu sesuatu, aku tidak minta banyak. Aku hanya ingin tahu di mana Amara. Dia kakakku.”
Clara tampak ragu-ragu, sedang menimbang apakah harus bicara lagi atau berhenti saja.
"Please, katakan sesuatu. Aku mendengar rumor dia kembali, apa kau sudah bertemu dia?" Tanya Helena penuh harap, meskipun ia tahu jika Amara kembali mungkin ia akan kehilangan Lucian tetapi Helena masih berharap Amara benar-benar kembali.
Tatapan penuh harap Helena membuat Clara tertegun. Helena hanya bayangan Amara yang tidak pernah benar-benar dilihat oleh siapapun bahkan oleh orang tuanya, dan Clara juga tahu itu. Kali ini, Clara melihat Helena sangat tulus ingin menemukan Amara, kakaknya, tidak peduli dengan resiko yang mungkin membahayakannya.
"Kumohon Clara..."
"Aku belum bertemu dia, Helena." Clara memejamkan matanya sejenak, lalu mengatakan sesuatu yang membuat Helena terkejut. "Jangan beritahu siapapun, tapi aku tahu sesuatu yang mungkin bisa kau jadikan petunjuk. Sebenarnya hubungan Antara dan Lucian sudah berakhir beberapa hari sebelum Amara menghilang."
Helena merasakan dadanya bergetar hebat. Berakhir? Hubungan Antara dan Lucian berakhir saat pernikahan mereka sudah di depan mata.
"Tidak mungkin. Mereka saling mencintai," Helena menolak percaya, karena ia tidak melihat sesuatu yang janggal dari kakaknya sebelum menghilang. Amara terlihat kuat dan ceria seperti biasanya. Kalau hubungannya dengan Lucian berakhir seharusnya ada jejak kesedihan di wajah Amara.
"Itu yang terjadi Helena. Aku tidak tahu apa yang terjadi karena Lucian hanya mengatakan itu padaku. Kau bisa tanyakan pada Lucian jika ingin tahu lebih banyak."
Clara mengambil tasnya kemudian bergegas pergi tanpa meminum kopinya.
Helena membiarkan Clara pergi, informasi yang baru saja ia dapatkan cukup membuatnya syok.
"Berakhir... Hubungan mereka sudah berakhir, lalu kenapa Lucian masih mencari Amara?" Helena menundukkan kepalanya, ia ingat pembicaraan keluarga sebelum hari pernikahan ~ penuh ketegangan, Lucian tampak sangat marah karena calon istrinya menghilang.
Helena menekan pelipisnya. "Apa kau yang berkhianat Amara, sebab itu kau pergi dan melemparkan aku ke dalam pernikahan dingin tanpa cinta."
Hanya saja, kenapa Amara tidak mengatakan apa-apa, kenapa dia pergi begitu saja?
Helena menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Kata-kata Clara berputar di kepalanya, mengiris pikirannya seperti bilah tipis.
Tangannya meremas buku catatan Amara yang tersembunyi di dalam tas. Ia ingin percaya Clara berlebihan. Ia ingin menepis semua ini sebagai kebohongan. Tapi hatinya bergetar, seolah nalurinya sudah tahu ada yang terjadi antara Amara dan Lucian yang tidak bisa selesai begitu saja.
Helena menatap ke arah pintu kafe, berharap Clara kembali. Tapi hanya bayangan orang-orang asing yang masuk dan keluar.
Akhirnya, ia menutup matanya sejenak, merasakan sunyi menekan dadanya. Dalam diam, ia berbisik lirih pada dirinya sendiri.
“Amara… apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku? Kau selalu menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan.”
Helena masih menatap kosong ke arah pintu kafe, ketika getar ponselnya membuatnya tersentak. Nama itu terpampang jelas di layar: Lucian.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu, terlalu lama menunda pulang hanya akan menimbulkan kecurigaan. Tapi jemarinya gemetar saat hendak menggeser layar untuk menjawab.
Ia biarkan ponsel berdering sampai berhenti. Sekejap ia merasa lega, tapi tak lama kemudian getaran itu kembali, kali ini lebih lama, lebih mendesak.
Helena menelan ludah, lalu menjawab dengan suara yang dipaksa tenang. “Halo?”
“Kau di mana?” Suara Lucian terdengar rendah, datar, namun dinginnya menusuk telinga.
Helena melirik sekeliling kafe, seolah takut suaminya bisa melihat meski hanya lewat suara. “Aku… masih di luar. Ada tugas yang harus kucari.”
“Aku sudah menunggu sejak tadi,” ucap Lucian, nadanya nyaris tanpa emosi. “Kau bilang akan segera pulang.”
Helena menggenggam cangkir dinginnya erat-erat. “Aku… aku baru saja selesai. Akan segera pulang.”
Hening sejenak. Lalu terdengar desah napas berat dari ujung sana.
“Helena.” Suara Lucian menurun, tapi justru lebih mengintimidasi. “Aku tidak suka menunggu. Pulang. Sekarang.”
Sambungan terputus begitu saja, meninggalkan dengung kosong di telinga Helena. Ia menatap ponsel di tangannya, lalu menyimpan kembali ke dalam tas kemudian meneguk habis kopi yang sudah dingin.
Helena tahu, setiap menit yang ia habiskan di luar akan menambah pertanyaan dan mungkin kemarahan Lucian. Tapi di sisi lain, pikirannya masih dipenuhi kata-kata Clara, buku catatan Amara di dalam tasnya seakan membakar kulitnya sendiri.
Ia menutup matanya sejenak, mencoba mengatur napas. Ia meletakkan beberapa lembar uang di bawah gelas kemudian segera meninggalkan kafe tersebut.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...