NovelToon NovelToon
ALVANA

ALVANA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: aufalifa

"Aku insecure sama kamu. kamu itu sempurna banget sampai-sampai aku bingung gimana caranya supaya bisa jadi imam yang baik buat kamu."
~Alvanza Utama Raja

🍃🍃🍃

Ketika air dan minyak dipersatukan, hasilnya pasti menolak keduanya bersatu. Seperti Alvan dan Ana, jika keduanya dipersatukan, hasilnya pasti berbeda dan tidak sesuai harapan. Karena yang satu awam dan yang satu tengah mendalami agamanya.

Namun, masih ada air sabun yang menyatukan air dan minyak untuk bisa disatukan. Begitu juga dengan Alvan dan Ana, jika Allah menghendaki keduanya bersatu, orang lain bisa apa?

🍃🍃🍃

"Jika kamu bersyukur mendapatkan Ana, berarti Ana yang harus sabar menghadapi kamu. Sebab, Allah menyatukan dua insan yang berbeda dan saling melengkapi."
~Aranaima Salsabilla

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufalifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam syukur empat nama

Ruang tamu penuh dengan aroma sate yang baru dibakar, suara tawa, dan langkah kecil Rey yang berlari setengah oleng. Bocah itu tertawa-tawa sambil menunjuk kue di meja.

“Umma… kue! Mau kue… ley mau kue,” ucapnya terbata-bata, lidahnya belum benar-benar fasih, tapi sudah cukup jelas membuat semua orang tertawa gemas.

Ana mengusap kepalanya lembut. “Sabar ya, Nak. Itu nanti kalau sudah waktunya makan. Rey sudah pintar bisa minta dengan kata-kata.”

Di lantai dekat karpet, Alvarez dan Alvira sibuk merangkak. Keduanya sesekali saling tarik baju, lalu kembali bersuara, “Babibu… baba…,” seakan-akan sedang berbincang dengan bahasa mereka sendiri. Tamu yang melihat tingkah si kembar tak kuasa menahan senyum.

Sementara itu, Alan masih nyaman di pangkuan Ana. Sesekali ia menggeliat kecil, lalu kembali tertidur dengan wajah teduh. Ana mencium keningnya penuh kasih.

Di tengah suasana itu, Arden dan Noval masuk dengan pakaian rapi, disambut hangat oleh Alvan. Mereka sudah lama tak berkunjung, dan kali ini melihat sahabatnya dikelilingi empat buah hati seakan menghadirkan nostalgia sekaligus rasa bangga.

“Ya ampun, Al,” ujar Noval langsung terkekeh sambil menunjuk Rey. “Dulu lo aja ngomongnya ngelantur pas lagi mabuk ngopi di warung, sekarang anak lo ngomong patah-patah tapi lebih jelas daripada lo dulu!”

Rey menoleh polos. “Apa, Om?” tanyanya dengan logat cadel yang membuat semua orang meledak tawa.

Arden mengangguk sambil tersenyum tenang. “Gue salut, Van. Lihat lo sekarang dikelilingi anak-anak kayak gini… hidup berubah total, ya? Dari anak jalanan jadi ayah teladan.”

Alvan menghela napas, matanya menatap Ana yang sibuk menenangkan si kembar. “Iya, Den. Kalau bukan karena Ana, mungkin gue nggak akan pernah tahu arti rumah yang sesungguhnya.”

Ana melirik, pipinya merona. “Sudah, Aa' jangan lebay,” katanya pelan, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.

Abah Ahmad yang duduk di kursi teras masuk nimbrung. “Lebay pun nggak apa-apa. Bagus kalau seorang suami bisa bersyukur punya keluarga. Kalian bertiga dulu nakalnya minta ampun, sekarang lihatlah, sudah bisa jadi panutan.”

Ibu Ida menimpali sambil membagikan piring berisi sate. “Betul, Bah. Arden, Noval, jangan kebanyakan kerja di perusahaan, nanti keburu nggak kebagian jodoh.”

Noval langsung batuk-batuk pura-pura, membuat semua tertawa lagi. “Aduh, Bu… kalau soal itu jangan diomongin di depan umum, malu saya.”

Di sela canda tawa, Rey kembali bersuara. “Baba… ley cayang Baba…” katanya dengan pengucapan yang belum sempurna, tapi cukup jelas. Suasana seketika hening beberapa detik.

Alvan tersenyum haru, meraih tubuh kecil Rey dan mengangkatnya tinggi. “Baba juga sayang, Nak.”

Mata Ana berkaca-kaca. Di pangkuannya, Alan menggeliat kecil, seakan ikut merasakan getaran kasih sayang itu. Alvarez dan Alvira berhenti merangkak, memandang kakaknya yang tertawa di pelukan Abah mereka.

Arden menepuk bahu Alvan pelan. “Lo beruntung, Al. Nggak semua orang bisa ngerasain momen kayak gini. Simpan baik-baik.”

Alvan mengangguk mantap. “Iya, Den. Hari ini bukan cuma syukuran aqiqah. Buat gue, ini penanda awal perjalanan keluarga kami. Semoga anak-anak ini tumbuh jadi penyejuk hati, bukan beban.”

Semua orang terdiam sejenak, mengamini doa itu dalam hati. Lalu, perlahan, riuh kembali memenuhi rumah. Suara tamu yang makan, tawa kecil Rey yang minta digendong, ocehan “babibu” dari si kembar, dan tangisan manja Alan yang baru terbangun.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Alvan memandang sekeliling, sahabat-sahabatnya, orang tuanya, istrinya, dan anak-anaknya. Semua ada di sini. Lengkap.

Setelah semua tamu duduk rapi, Abah Ahmad berdiri di depan dengan suara tenang namun penuh wibawa. Di sampingnya, Alvan dan Ana duduk berdekatan, Ana masih memangku Alan, sementara Rey gelisah ingin duduk di pangkuan Abahnya. Alvarez dan Alvira digendong bergantian oleh pembantu agar tidak merangkak ke mana-mana.

“Bismillahirrahmanirrahim,” Abah Ahmad membuka acara dengan suara bergetar. “Hari ini kita berkumpul untuk mensyukuri karunia Allah, atas lahir dan tumbuhnya anak-anak Alvan dan Ana. Rey, Alvarez, Alvira, dan yang paling bungsu, Alan. Semoga mereka semua menjadi anak-anak yang salih, salihah, penyejuk mata, dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.”

“Aamiin...” suara hadirin bergemuruh, menundukkan kepala khusyuk.

Alvan menunduk dalam-dalam, menggenggam tangan Ana erat. Air matanya jatuh diam-diam, mengenang perjalanan hidupnya dulu yang berliku. Kini ia duduk di tengah keluarga dan sahabat, disaksikan mertua yang penuh doa.

Hatinya tiba-tiba digelayuti rindu. Rindu pada sosok yang paling berarti, mamanya. Sosok yang dulu selalu percaya padanya meski dunia seakan menutup pintu.

“Liat, Ma… sekarang Alvan punya keluarga kecil. Ana yang selalu sabar, Rey yang cerdas meski masih kecil, si kembar Alvarez dan Alvira yang bikin rumah rame, dan Alan yang baru lahir.” Matanya memanas tak kuasa menahan tangis. “Ma, Alvan janji jagain mereka. Semoga doa Mama dulu jadi kenyataan, kalau Alvan akhirnya bisa bahagia. Mama yang tenang disana yaa, Alvan akan selalu doain yang terbaik buat mama."

Setitik air mata jatuh, tapi Alvan cepat menghapusnya dengan punggung tangan. Tak ingin ada yang melihat. Disampingnya, ada Ana yang menatapnya. Ia tahu sesuatu baru saja lewat di hati suaminya. Tangannya bergerak mengusap pipi Alvan yang basah, memeluknya sebentar dan meninggalkan kecupan singkat di pipi Alvan.

"Aa'..." panggilnya lirih, membuat Alvan kembali menatapnya. “Aku nggak tahu apa yang Aa' pikirkan barusan, tapi aku bisa lihat… mata Aa' penuh sama sesuatu yang berat. Kalau itu tentang Mama Aa', aku yakin beliau lagi tersenyum liat keluarga kecil kita sekarang.”

Alvan terdiam sesaat, bibirnya bergerak tapi tak jadi. Ana lalu menambahkan dengan suara lembut. “Kita nggak akan pernah bisa berhenti rindu sama orang tua. Tapi Aa' harus percaya, doa mereka nggak pernah putus buat anak-anaknya. Dan sekarang, tugas kita nerusin, jadi orang tua yang selalu doain anak-anak kita juga.”

Ana menatap wajah Alvan penuh keyakinan,

“Harapan aku cuma satu, A'. Selama kita saling percaya, saling jaga, dan saling ingat kalau semua ini titipan Allah, insyaAllah kita bisa jalanin hidup ini. Berat pasti ada, tapi aku percaya sama Aa'. Kita berdua bisa, A'.”

Alvan menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil, menunduk menatap Ana dan anak-anak.

“Terima kasih, sayang... kamu selalu bikin aku kuat.”

Ana membalas dengan tatapan penuh kasih,

“Bukan aku yang bikin Aa' kuat. Tapi cinta dan doa kita, yang Allah jaga. Selama kita bareng-bareng, Aa' nggak pernah sendirian.”

Selesai doa, Rey bersuara lantang dengan cadelnya, “Aamiin…,” membuat semua orang tergelak kecil tapi juga terharu.

Ibu Ida mendekat, mengelus kepala Rey sambil tersenyum. “MasyaAllah, lidahnya ikut berdoa, meski belum sempurna.”

Ana mengusap matanya pelan, lalu mengecup kening Alan. “Semoga doa ini jadi penguat langkah anak-anak kita, A'.”

Alvan mengangguk, menatap Ana dengan tatapan yang hanya bisa dimengerti oleh dua orang yang pernah jatuh, lalu sama-sama memilih bangkit.

Arden berbisik ke Noval sambil menahan senyum. “Gila, Al. Kita dulu doa aja lupa, sekarang lihat anaknya Alvan malah paling semangat.”

Noval terkekeh pelan. “Ya, itulah. Hidup memang berputar, Den. Tapi gue bersyukur bisa lihat ini semua dengan mata kepala sendiri.”

Acara ditutup dengan pemotongan kambing aqiqah. Suara takbir kecil mengiringi, anak-anak kembali riuh dengan ocehannya, tamu-tamu sibuk berbagi hidangan.

Dan di tengah hiruk pikuk itu, Alvan berdoa dalam hati, Ya Allah, lindungi keluarga kecilku. Jadikanlah rumah ini tempat penuh cinta, dan biarkanlah anak-anakku tumbuh dengan hati yang Kau ridhoi.

Ia menatap anak-anaknya, Rey yang sibuk menunjuk sate, si kembar yang tertawa “babibu”, dan Alan yang kembali tertidur di pelukan Ana.

Senyum Alvan merekah. Ia tahu, inilah kebahagiaan yang sebenarnya.

1
Bukhori
lanjut👍
Bukhori
kerennn👍
Elisabeth Ratna Susanti
like plus subscribe 👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!