NovelToon NovelToon
Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Beda Usia
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 2

Tiba-tiba langkah Ganendra terhenti. Matanya membelalak menatap spanduk putih yang dibentangkan tepat di gerbang rumah besar itu, dihiasi bunga-bunga dan pita emas.

“Selamat Bertunangan Rania & Sandi”

Tulisan itu menamparnya lebih keras dari angin yang menyapu wajahnya. Ganendra tercekat. Suara tawa dan riuh musik organ tunggal terdengar samar dari dalam.

Tangannya masih memegang kotak seserahan, tapi lututnya nyaris tak mampu menopang tubuhnya sendiri.

Bu Siti yang berjalan di belakangnya ikut membaca tulisan itu. Seketika wajahnya pucat, lalu menoleh cemas ke arah putranya.

“Ganendra… itu… apa maksudnya?” tanyanya Bu Siti.

Ganendra menggeleng pelan. Ia ingin percaya bahwa ini semua hanya salah paham. Tapi saat pintu gerbang terbuka dan muncullah Rania kekasih yang ia jaga dalam doa dan janji berbalut kebaya mewah warna peach, menggandeng seorang pria berkemeja batik mahal semuanya runtuh.

Tatapan Rania membeku saat melihat Ganendra berdiri di sana, memeluk kotak seserahan seperti seseorang yang salah alamat.

“Ra…nia…?” suara Ganendra serak.

Sandi, pria di samping Rania, melirik Ganendra dengan kening berkerut. “Siapa dia, Sayang?” tanyanya pelan namun cukup terdengar.

Rania menunduk, tudak ada jawaban. Hanya diam, seperti duri yang menusuk perlahan.

Bu Siti langsung menarik tangan Ganendra pelan. “Nak… kita pulang, ya.”

Tapi Ganendra masih menatap perempuan yang selama ini ia yakini akan menjadi istrinya. Yang selama dua tahun ia perjuangkan tanpa banyak bicara, tapi dengan doa yang tak pernah putus.

Kini, doa itu patah di depan matanya. Dan Ganendra berdiri di tengah pesta, sebagai tamu yang tak diundang, membawa seserahan untuk perempuan yang sudah memilih orang lain.

Kepalanya menunduk. Tapi sebelum melangkah pergi, ia berkata lirih cukup pelan, namun menusuk ke jantung Rania,

“Kamu nggak pernah bilang sedang dilamar orang lain…”

Dan dengan sisa harga dirinya, Ganendra melangkah pergi. Membawa kotak seserahan yang tak pernah sempat diletakkan. Membawa hati yang diam-diam hancur, tapi tetap memilih pulang dengan tenang.

Langkah Ganendra terhenti lagi saat tangan pamannya, Pak Mahfud, menahan lengan bajunya. Napas Ganendra masih tersengal, tapi ia menunduk, mencoba tetap tenang.

“Jangan pulang dulu, Nak. Kita belum dapat kejelasan,” ujar Pak Mahfud tenang tapi menahan emosi.

Pak RT, Pak Salim, Daeng Malik maju beberapa langkah, menatap langsung ke arah Pak Darto dan istrinya, Bu Erna, yang berdiri di teras rumah megah itu. Beberapa tamu mulai berkumpul, bisik-bisik semakin ramai.

“Kami hanya minta penjelasan,” kata Pak RT dengan suara lantang. “Hari ini kami datang dengan niat baik, membawa lamaran secara resmi seperti yang sudah dibicarakan dari jauh-jauh hari. Tapi kami malah disambut dengan acara tunangan yang bukan untuk Ganendra.”

Pak Darto mendengus pelan, lalu mengangkat dagunya. “Kalau tahu diri, harusnya kalian sadar dari awal... rumah kami bukan tempat untuk orang-orang dengan tampang pas-pasan dan seserahan ala kadarnya.”

Mata Bu Siti membelalak. Ganendra mendongak pelan, seakan tak percaya. Tapi sebelum ia bicara, Bu Erna ikut menimpali dengan suara nyaring.

“Rania itu anak tunggal kami. Cantik, pintar, masa depannya cerah. Masa iya mau dikasih ke anak supir angkot yang nggak jelas masa depannya? Dua tahun pacaran juga bukan jaminan, Bu! Maaf, tapi kami sudah terlalu sabar membiarkan hubungan nggak setara ini jalan terus!”

Orang-orang mulai terdiam. Beberapa tamu yang tadinya bersorak sekarang menutup mulut, malu sendiri mendengar ucapan itu.

Wajah Bu Siti memucat, tapi ia menggenggam tangan anaknya erat, berusaha tegar meski air matanya menahan luka.

“Kami datang baik-baik, Bu. Membawa niat tulus. Mungkin kami bukan orang kaya, tapi kami tidak pernah mengajari anak kami untuk merendahkan orang.”

Pak Mahfud mulai kehilangan kesabaran. “Hormat kami sudah cukup, Pak, Bu. Tapi kalian baru saja menunjukkan siapa yang sebenarnya tidak punya martabat. Bukan karena kami miskin kalian boleh semena-mena. Kami ini datang bukan minta, tapi memberi.”

Ganendra menatap lurus ke arah Rania. Bibirnya bergetar, tapi bukan karena ingin marah melainkan karena menahan hati yang diremukkan di depan umum.

“Aku datang bukan karena aku tak pantas, tapi karena aku percaya kamu pernah menganggapku layak. Tapi ternyata, kamu lebih takut kehilangan gengsi daripada kehilangan seseorang yang selama ini paling jujur menjaga cintamu.”

Rania masih diam. Tak berkata apa-apa. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tetap berdiri di sisi Sandi, membiarkan semuanya menyakitkan.

Pak RT pun menengahi. “Sudah. Kita tidak akan memperpanjang ini. Biar orang-orang lihat sendiri siapa yang menjunjung adab dan siapa yang menepikan rasa hormat demi gengsi.”

Pak Mahfud menepuk bahu Ganendra. “Ayo, Nak. Kita pulang. Bukan karena kalah, tapi karena kita masih punya harga diri.”

Dan dengan langkah pelan tapi penuh wibawa, Ganendra menggandeng ibunya, meninggalkan rumah besar itu.

Meninggalkan cinta yang ternyata tidak cukup kuat melawan ego.

Pak Darto yang sejak tadi menahan diri, akhirnya melangkah turun dari teras rumah dan menunjuk ke arah Bu Siti sambil tertawa merendahkan.

“Sudah cukup semua ini! Kalian datang ke rumah kami seolah membawa kehormatan, padahal siapa kalian sebenarnya? Bu Siti cuma tukang jahit keliling, janda pula. Mau kasih anaknya nikah sama anak kami? Huh, jangan mimpi tinggi-tinggi, Bu!”

Beberapa tamu yang tadinya mendukung acara bertunangan mendadak terdiam. Udara mendadak terasa panas, bukan karena matahari, tapi karena ucapan Pak Darto yang memotong urat harga diri.

Bu Siti menunduk. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tetap berdiri tegar di samping anaknya. Tangan keriputnya menggenggam ujung kerudung, menahan perasaan yang nyaris meledak.

Namun sebelum ibunya bicara, Ganendra melangkah maju. Suaranya tenang, tapi penuh ketegasan dan nyawa.

“Pak Darto…”

Semua mata menoleh padanya. Ia menatap lurus ke mata pria yang baru saja menghina ibunya.

“Benar, ibu saya seorang tukang jahit. Janda pula. Tapi dari tangan beliau yang kasar itu, saya bisa sekolah. Dari air matanya yang jatuh malam-malam karena lelah menjahit baju orang, saya belajar tentang keteguhan. Dari status janda yang kalian hina itu, saya belajar menjaga kehormatan keluarga, meski hidup pas-pasan.”

Ia menarik napas, lalu melanjutkan lebih dalam dan menohok.

“Dan kalau hari ini kalian lebih bangga memilih pria kaya untuk anak kalian, silakan. Tapi jangan pernah lupa… kemewahan bisa dibeli, tapi adab dan akhlak tidak semua orang punya. Kalian punya rumah megah, tamu banyak, pesta besar tapi maaf, Pak hari ini justru kalian yang memperlihatkan betapa miskinnya hati kalian.”

Suara bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa tamu saling menatap, tak nyaman.

Ganendra melirik ibunya yang masih berdiri di belakangnya. “Saya bangga jadi anak tukang jahit. Karena dari ibu saya, saya belajar cara menjahit kesetiaan dan cinta dengan benang kejujuran, bukan kepura-puraan.”

Ia membungkukkan badan sedikit sebagai salam hormat, lalu melangkah mundur.

“Terima kasih sudah memperlihatkan wajah asli kalian. Hari ini saya tidak kehilangan tunangan, saya hanya diselamatkan dari keluarga yang salah.”

Suasana benar-benar hening. Pak Darto tak mampu berkata-kata. Bahkan Rania menunduk dalam diam mungkin menyesal, mungkin hanya malu.

Dan Ganendra berjalan pergi dengan kepala tegak, meninggalkan luka yang akan sembuh, dan harga diri yang tetap utuh.

Tepat saat Ganendra berbalik hendak pergi, suara lembut namun bergetar terdengar dari arah teras.

“Ganendra… tunggu.”

Langkah Ganendra terhenti. Ia menoleh perlahan, begitu juga semua mata tamu yang hadir. Rania akhirnya bicara. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, tapi matanya menatap Ganendra penuh rasa bersalah yang selama ini ia pendam.

“Aku tahu, aku salah dan aku nggak akan cari pembenaran.” dia menarik napas panjang, mencoba menahan air matanya. “Tapi kamu harus tahu, aku nggak pernah menyesal pernah mengenalmu. Dua tahun bersamamu, itu bukan permainan. Kamu orang baik dan kamu pria yang sangat pantas untuk dicintai. Aku cuma nggak cukup berani untuk melawan keinginan orangtuaku.”

Bu Erna mencibir pelan, namun Rania melanjutkan, lebih mantap.

“Dan kalau hari ini kamu merasa dikhianati, aku tidak akan membantah. Karena memang begitu kenyataannya. Tapi tolong jangan pernah ragukan betapa aku menghargai setiap perjuanganmu. Mungkin aku bukan wanita yang cukup kuat berdiri di sampingmu hari ini, tapi suatu saat nanti aku yakin kamu akan menemukan perempuan yang tidak hanya berani mencintaimu, tapi juga berani bertahan di sisimu, meski dunia menertawakan kalian.”

Air mata menetes perlahan di pipinya. Ia melangkah maju, melepas genggaman tangan Sandi tanpa berkata sepatah kata pun padanya.

Ia berdiri beberapa langkah dari Ganendra, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk menyampaikan isi hatinya.

“Terima kasih pernah mencintaiku dengan tulus. Terima kasih pernah membuatku merasa cukup hanya dengan pelukan sederhana dan mimpi-mimpi kecil. Dan maaf, karena aku membalas cinta sebesar itu dengan kebisuan dan kebodohan.”

Suasana sunyi. Bahkan angin pun terasa enggan berhembus. Beberapa tamu perempuan tampak menyeka mata, dan Pak RT pun terlihat menunduk, menghargai keberanian Rania berbicara.

Ganendra menatap Rania lama, dalam diam yang mengandung makna. Ia tidak marah, tidak menyalahkan hanya menatap seorang perempuan yang pernah ia jaga dalam doa, kini berdiri tak lagi sebagai miliknya.

Ia tersenyum tipis, getir, namun tulus.

“Kalau suatu saat kamu ingat aku, cukup ingat bahwa aku pernah datang dengan cinta yang jujur. Itu saja cukup.”

Dan dengan itu, Ganendra kembali berbalik. Kali ini tanpa beban, tanpa ingin kembali. Ia sudah melepaskan dengan cara paling laki-laki yang berani mencintai, dan lebih berani kehilangan.

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
sunshine wings
dan kamu emang udah layak dari pertemuan pertama insiden itu Livia .♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Wah aku yg salting.. asekkk.. 💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻
sunshine wings
hahaha.. energi ya mas.. powerbank.. 💪💪💪💪💪😍😍😍😍😍
sunshine wings
Kan.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Good Ganendra.. 👍👍👍👍👍
sunshine wings
Yaa begitulah..Mantapkan hati.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Memang ada pilihan lain tapi hati hanya punya satu ya mau gimana lagi ya kan..
sunshine wings
Sudahlaa Lintang nanti makan diri sendiri.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
sunshine wings
kerana Livia yg pertama ada selepas hati Ganendra hancur berkeping².. ♥️♥️♥️♥️♥️
Naila
lanjut
Purnama Pasedu
lintang jadi badai
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: duri dalam daging 🤭🤣
total 1 replies
sunshine wings
😘😘😘😘😘
sunshine wings
Yesss!!! 💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
daaan calon suami juga.. 🥰🥰🥰🥰🥰
Purnama Pasedu
Livia,,,sekali kali ajak ibunya ganen sama ganen ke restoran
Purnama Pasedu: begitu ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum waktunya kak mereka belum resmi pacaran
total 2 replies
sunshine wings
Laa.. rupanya adek sepupu kirain adek sekandung.. buat malu aja.. sadar dri laa ɓiar sedikit.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Al Ghifari
lanjut seru banget
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak insyaallah besok 😘🙏🏻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!