INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Velucci
" ... Pesta esok lusa, aku tidak ingin ada masalah apapun, persiapkan dengan baik, karena akan ada sesuatu yang sangat penting."
"Pesta? Dalam rangka apa?"
Giorgio memberikan seluruh perhatian kepada putri bungsunya. "Jika kau hadir di meja ini pada malam tadi, kau pasti tidak harus mengajukan pertanyaan itu, Putriku." Ingrid menelan salivanya, bergerak membenarkan posisinya duduknya yang sama sekali tak bermasalah. "Aku tidak ingin mendengar ke mana atau alasanmu. Mulai saat ini, aku akan menempatkan seorang pengawal bersamamu, dan kau tidak bisa pergi tanpa izin terlebih saat malam hari."
Ingrid menatap Ayah kandungnya itu dengan berani. "Kau tidak bisa mengekangku seperti itu!"
"Tentu aku bisa, Nona muda."
"Tidak, kau tidak mempunyai hak untuk itu. Aku tidak akan mengikuti peraturan konyol itu. Kau bukan ayahku!"
"Faktanya, aku ayahmu. Dan kau tinggal di rumahku, kau harus mematuhi peraturanku."
"Aku tidak pernah memohon untuk tinggal di neraka ini."
"Jaga mulutmu!" hardik Vilia.
"Kau juga tidak memiliki hak atas diriku sejak hari dimana kau meninggalkanku." Atmosfer di meja itu semakin panas. Marcello menahan lengan Ingrid, agar tidak bertindak lebih jauh. Tapi, tak berpengaruh apapun untuknya.
"Aku tidak menyesal telah meninggalkanmu, dan seharusnya kau juga mati membusuk bersama ayah tidak bergunamu itu."
"Cukup."
Tangan Ingrid mengepal erat sampai bergetar. Matanya munusuk tajam, walau pupilnya bergetar. "Aku harap juga begitu," katanya sebelum mendorong kursinya dan berjalan meninggalkan orang-orang itu.
Frenzzio menyusul Ingrid, menarik diri dari meja itu.
Vesa melihat kakaknya dari sudut matanya. "Dia hanya anak-anak, tidak seharusnya kau mengatakan hal sekejam itu. Kau menyebut dirimu seorang ibu?"
"Setidaknya begitu, dibanding dirimu yang bukan siapa-siapa."
"Kau—"
"Kalian berdua hentikan!" murka Giorgio, kedua istrinya itu tidak pernah sekali saja akur, selalu saja mendapat alasan untuk bertengkar. "Jika aku mendengar kalian bertengkar lagi, aku akan mengirimmu keluar dari sini Vilia."
"Vesa atur pestanya tanpa cacat sedikitpun," sambungnya.
Vesa mengangguk. "Baik." Dia melirik Vilia dengan merendahkan disertai kemenangan.
Meskipun Vilia adalah istri sah pemimpin keluarga Constanzo itu, tapi Vesa-lah yang selalu menjadi bagian utama dari suaminya, dialah yang memegang kendali atas rumah tangga. Itulah salah satu hasil dari kebodohan Ibu tiga anak itu, kini dia tak lebih dari istri pajangan di kediaman itu. Jika saja bukan karena keberadaan anak-anaknya, Vilia dipastikan tak akan lagi berada di sekitar Giorgio.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Aku benar-benar tidak mengerti kenapa dia membenciku. " Ingrid membalik kertas yang menguning, semilir angin menerbangkan anak-anak rambutnya yang tak terikat, matanya tak lepas dari kata-kata yang tercetak di buku.
"Sejak kau kecil?" Kakek Letro tidak percaya, setelah mendengar cucunya tentang putri sulungnya.
"Ya. Ketika aku bertanya kepada ayah Ricc, dia juga tak pernah menjawab mengapa." Ingrid menutup buku tebalnya. "Apa aku ini bukan putri kandungnya? Dia selalu membedakanku dengan Irina dan Marcello."
Letro menatap iba cucunya. "Kakek akan bicara pada ibumu, dia sudah keterlaluan."
"Kakek ingin menunjukkan sesuatu, ayo!"
Bibir Ingrid melengkung ke atas, matanya berbinar, dia berdiri dari duduknya dan menyusul kakeknya yang lebih dulu berjalan.
Letro membawa Ingrid ke sebuah ruangan dengan jendela besar yang menghadap langsung ke halaman belakang yang luas.
Di atas dinding maroon, terpajang bangkai-bingkai foto besar keluarga Velucci dari berbagai generasi. Mulai dari lukisan, foto hitam-putih, hingga berwarna.
Gadis yang memiliki darah Velucci itu berjalan dengan langkah kecil, demi memperhatikan dengan seksama satu-persatu benda yang menyimpan sejarah tersebut.
Ingrid berhenti di dua lukisan terakhir. "Apa ini Kakek?" Ingrid menunjuk pada anak laki-laki yang tersenyum lebar.
Alis Letro naik. "Mengapa kau dapat bicara seperti itu?"
"Senyumannya sangat mirip seperti Kakek, tidak berubah sama sekali."
Kakek terkekeh, dagunya menunjuk lukisan terakhir, tepatnya tertuju pada seorang wanita muda berambut coklat gelap. "Nenekmu juga bilang begitu, saat pertama melihat lukisan ini dulu." Dia berjalan mendekati lukisan itu, mengelus foto wanita itu." Kakek tidak menyangka akan mendengarnya lagi." Bola mata Letro terselimuti air mata, ia tersenyum tipis.
"Kakek sangat mencintainya, ya?"
"Sangat. Aku ingat senyuman pertamanya padaku saat aku menyebut namanya, Emilia Demori."
Ingrid turut tersenyum. "Nama yang indah."
Pria tua itu menyeka air matanya. Matanya memandang Ingrid lembut. "Kakek tahu sejak pertama kali melihatmu, bayangan Emilia ada padamu. Sesuatu yang bahkan tidak dapat ditemukan pada anak-anak kakek."
"Rasanya aku tidak pantas disamakan dengan wanita spesial seperti nenek," tolak Ingrid.
"Kau pantas, kakek tahu." Gadis itu tersenyum, menanggapi keyakinan kakeknya.
Ingrid kembali pada lukisan keluarga kakeknya, kali ini fokusnya tertuju pada anak laki-laki yang lebih tinggi dari kakeknya, yang sepertinya adalah kakak dari kakeknya.
Jari telunjuk Ingrid menunjuk anak itu. "Kakak kakek sangat tampan," pujinya jujur.
"Jangan termakan wajah tampannya. Dia psikopat, dia dipenjara dan mendapat hukuman mati karena perbuatannya."
Raut wajah gadis itu berubah, dia cepat-cepat menjauhkan telunjuknya, seakan-akan takut anak dalam foto itu akan melompat keluar.
"Kakek bukankah seharusnya sudah ada lukisan baru?" Seharusnya sudah ada lukisan Vilia, Vesa, Giorgio, dan Marcello terpajang di sana sebagai keluarga generasi baru.
Metro mengendikkan bahunya perlahan. "Kakek hanya merasa belum waktunya."
Ingrid mengangguk mengerti, tak bertanya lebih jauh.
"Kakek hanya khawatir tidak akan ada lagi penerus keluarga Velucci, putra pertama kakek telah meninggal, hanya tinggal ibu dan bibimu. Tapi mereka mengambil nama Constanzo. Bibimu tidak memiliki anak, hanya tinggal dirimu dan Marcello." Kakek berjalan ke jendela, menerawang jauh. "Marcello akan menjadi pemimpin keluarga Constanzo suatu hari nanti, dan kau akan menikah nanti."
Ingrid menggeleng, tidak ingin hal itu terjadi pada nama keluarga yang berusia sangat tua ini. "Aku akan mengambil marga Velucci."
Ayah dua putri itu berbalik, dia menggeleng. "Ayahmu tidak akan membiarkanmu melakukan itu, Ingrid. Kakek tidak masalah, selagi darah Velucci tetap mengalir, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Kakek meyakinkan cucu perempuannya.
"Aku janji kakek, Velucci tidak akan hilang, keluarga Velucci akan terus berlanjut."
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Kaki Ingrid melangkah keluar dari kediaman Velucci. Letro mengantarnya keluar. "Kau yakin tidak ingin menginap?"
"Maaf, tidak sekarang Kakek. Aku akan menginap lain waktu, aku berjanji." Dia tahu kakeknya pasti kesepian di rumah sebesar ini sendirian.
Letro mengiyakan ucapan Ingrid. Dia sedikit sedih dan kecewa, tapi dia tidak bisa memaksa cucunya itu.
Ingrid memeluk kakeknya singkat. "Aku pulang, Kek." Dia memeluk beberapa buah buku yang dipinjamnya dari sang kakek. Sopir membukakan pintu untuknya, dia masuk ke dalam mobil, memberi batas antara dirinya dan kakeknya.
Dari kediaman sang kakek, Ingrid tak langsung pulang ke rumah. Dia mampir sebentar di kota, tepatnya di sebuah toko gelato dan roti. Saat tengah menunggu pesanan di siapkan, seorang anak kecil datang menghampirinya, memberi secarik kertas kepadanya. Baru akan bertanya, anak laki-laki itu berlari keluar, Ingrid ingin mengejarnya, tetapi ia dipanggil untuk mengambil pesanannya. Gadis itu menyelesaikan urusannya itu dengan terburu-buru, setelahnya dia berlari keluar toko untuk menyusul anak itu. Namun, dia terlambat, anak itu sudah menghilangkan tanpa jejak.
Langit telah berubah menjadi kelabu. Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berguguran, ujung mantelnya melayang-layang tertiup angin, rambut hitamnya yang tergerai menari-nari dikendalikan angin, orang-orang di sekitar mempercepat langkah mereka.
Ingrid melihat ke sekelilingnya, jari-jarinya membuka lipatan kertas yang familiar itu—kertas yang sama dengan di toilet sekolah.
Hati-hati dengan darah.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
lopyu thorr