bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mencari kartika
Agenda Miranda hari ini adalah mengumpulkan sekutu.
Miranda duduk di kursi belakang. Dua mobil bodyguard mengawalnya, tetapi tidak terlalu dekat. Pandangannya mengarah ke jendela mobil. Awan tampak mendung, seolah hujan akan turun.
Tak lama kemudian, Miranda sampai di perkampungan kumuh.
Miranda melangkah dengan gontai. Para bodyguard mengikutinya dari belakang. Kenangan indah menyeruak. Tempat ini adalah tempat yang paling sering ia kunjungi selain sekolah. Tempat paling aman setelah rumah yang seperti neraka dan selalu memojokkannya.
“Ih, kayak Miranda ya,” celetuk salah satu warga. Ia hanya berani berbisik karena melihat banyak pria kekar.
Miranda hanya melemparkan senyum ramah.
Hingga sampailah ia di sebuah rumah kontrakan. Tempat di mana ia sering berkeluh kesah pada Kartika, menceritakan bagaimana dirinya selalu diabaikan. Tak terasa air mata menetes mengingat hal itu. Rasa rindu pada Kartika semakin membuncah.
Namun, saat mendekati kontrakan, Miranda menemukan pemandangan memilukan.
Rani, ibu Kartika, dengan wajah pucat sedang menarik Dika, adik Kartika.
“Mas, jangan bawa Dika, Mas. Kartika belum gajian,” isak Rani.
“Alah, percuma gajian juga kalau uangnya selalu habis untuk berobat lu,” ucap seorang pria bernama Rukmana, mantan suami Rani yang sudah lama tidak datang dan akhir-akhir ini sering muncul.
“Tolong jangan bawa Dika, Mas. Kamu ayah gila. Dika juga anak kamu, Mas,” ucap Rani terisak.
“Biar, Bu. Jangan pertahankan Dika, Bu. Biar Dika dijual saja sama Ayah. Biar Ayah puas. Dika kecewa, Bu. Kata Ibu, Ayah Dika baik. Kalau seperti ini, mending Dika mati,” ucap Dika. Tidak ada air mata atau ketakutan di wajahnya, hanya kemarahan.
“Jangan, Dika. Jangan. Nanti mbak kamu akan marah sama Mamah kalau kamu tidak ada,” ucap Rani putus asa.
“Bresik. Pokoknya aku akan membawa anak ini. Aku butuh uang,” bentak Rukmana.
“Jangan coba-coba bawa Dika atau kupatahkan leher kamu.”
Semua orang menoleh ke arah Miranda.
“Hantu,” teriak Lion, teman Rukmana. Wajahnya penuh ketakutan lalu lari tunggang-langgang.
Miranda mengernyitkan dahi. “Apakah aku terlihat seram sampai menakutkan?”
“Lion brengsek, kenapa lu kabur. Awas kalau laku anak ini tidak akan gua bagi duitnya,” gerutu Rukmana kesal.
“Tidak ada jual beli manusia, apalagi Anda ayahnya,” ucap Miranda tegas. Dadanya terasa nyesek. Bukankah nasibnya juga sama. Ia dijadikan alat untuk membayar utang. Ucapan itu seolah menghantam bayangan ayahnya sendiri.
“Siapa lu. Anak-anak gue terserah dong,” balas Rukmana kasar.
“Dasar ayah gila. Brengsek,” umpat Miranda geram.
Rukmana hendak mengayunkan tamparan, tetapi tangannya keburu ditangkap lalu dibanting.
“Bruk.”
Tubuhnya menghantam tanah.
“Krek.”
Jari Rukmana diinjak hingga terdengar retakan tulang.
Rukmana menjerit. Ia melihat empat pria kekar sudah berdiri di belakang Miranda.
“Jangan sentuh nyonya saya. Kalau tidak, akan kulempar kau ke kali sebagai mayat,” ancam pria kekar berambut gimbal.
“Kurang ajar. Siapa kalian. Ini wilayah gue. Gue yang punya kuasa di sini,” teriak Rukmana.
Pria gimbal itu menjambak rambut Rukmana. “Kamu pikir kamu siapa. Atas perintah nyonya, bahkan aku bisa mematahkan leher kamu sekarang.”
“Cukup, Jon,” ucap Miranda dingin.
Joni menghempaskan kepala Rukmana dengan sikap merendahkan.
“Amankan dia. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan,” ujar Miranda.
“Baik, Nyonya,” jawab Joni patuh. Ia mengikat tangan Rukmana lalu membawanya ke mobil.
Miranda menoleh ke arah Rani, ibu Kartika. Wajah perempuan itu pucat. Penyakit komplikasi yang dideritanya tidak ditangani dengan benar, membuat tubuhnya kurus dan rapuh.
Miranda memeluk Rani erat. Rani sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Miranda menahan diri agar tidak memeluk terlalu kuat karena tubuh Rani terasa ringan, hanya tinggal kulit dan tulang.
“Ini kamu, Mir?” ucap Rani dengan suara serak.
“Benar, Bu. Ini Miranda,” jawab Miranda lirih.
“Kartikanya mana, Bu?” tanya Miranda.
“Kartika kerja, Mir. Dia pulang seminggu sekali. Kalau harus bolak-balik Cikarang Jakarta kan capek, Mir. Makanya ibu suruh dia ngontrak di sana,” ucap Rani pelan.
“Terus tadi itu suami Ibu?” tanya Miranda hati-hati.
“Iya. Sudah tiga bulan dia baru bebas dari penjara dan tiba-tiba saja minta uang terus sama ibu,” ucap Rani lirih.
Mata Miranda berkaca-kaca. Ia membantu Rani masuk ke rumah kontrakannya dengan langkah perlahan.
“Dika, kamu tidak sekolah?” tanya Miranda lembut.
“Malas aku, Kak,” jawab Dika sambil membantu mendudukkan ibunya.
“Kenapa?” tanya Miranda lagi.
“Ternyata Ayah dipenjara bukan karena kerja. Selama ini Ibu bohong. Sudah dua bulan aku selalu dibully hanya karena ayahku seorang kriminal,” ucap Dika ketus. “Jadi lebih baik aku jaga Ibu saja.”
Miranda semakin terharu. Ia mengusap rambut Dika perlahan.
“Bu, berobat ya,” ucap Miranda penuh harap.
“Ah, jangan, Mir. Kasihan Kartika. Dia juga harus punya masa depan yang baik. Uangnya selalu habis sama ibu,” ucap Rani menolak.
“Aku yang bayar, Bu,” ujar Miranda tegas.
Rani menatap Miranda dengan sorot sendu.
“Apakah ayah dan saudara kamu sudah baik sama kamu, Mir? Pasti mereka menyesal, Mir, sampai kamu terlihat sangat cantik dan kaya,” ucap Rani lirih.
“Belum sih,” jawab Miranda jujur. “Ini suamiku yang memberikan, Bu.”
Rani melongo tertegun. “Kamu sudah menikah, Mir?”
Miranda menganggukkan kepala. “Ceritanya sangat panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang Ibu berobat, ya. Ibu bayangkan betapa hancurnya hati Kartika kalau melihat Ibu seperti ini. Ibu pikir Kartika akan senang melihat kondisi Ibu seperti ini? Jadi mau ya berobat. Semua biaya aku yang tanggung,” ucap Miranda meyakinkan.
“Ibu menyusahkan kamu, Nak,” ucap Rani terisak.
“Ibu juga suka memberi aku makan dan mendengarkan ceritaku. Jadi anggap saja aku ini anak Ibu,” ucap Miranda tulus.
“Kamu baik sekali, Mir. Ya sudah, Ibu siap-siap dulu,” ucap Rani pasrah.
Dika tanpa disuruh langsung menyiapkan keperluan ibunya untuk dirawat di rumah sakit. Ia sudah hafal betul apa saja yang dibutuhkan, saking terbiasanya mengurus ibunya keluar masuk rumah sakit
Beberapa bidy guar membantu rani di masukan ke mobil Miranda,
“Astaga, sultan mana suami Mir?” ucap Rani tertegun. Badannya gemetar, merasa tidak pantas naik mobil mewah.
“Sultan Kutub Utara, Bu,” jawab Miranda terkekeh.
“Pesankan Ibu taksi online saja. Ibu tidak pantas naik mobil ini,” kata Rani gugup.
“Sudahlah, Bu. Ibu sangat pantas naik sama aku,” ucap Miranda menenangkan.
Dengan tubuh gemetar, Rani akhirnya naik ke mobil mewah milik Miranda.
Sementara itu, Dika tampak sumringah. “Ini sih kayak drama, Kak. Anak gembel naik mobil mewah,” celetuknya polos.
“Sus, tidak boleh berkata begitu. Kamu itu adikku, tidak boleh bilang seperti itu, ya,” tegur Miranda lembut.
“Iya, maaf, Kak,” ucap Dika menunduk.
Tiga mobil mewah itu kemudian melaju menuju sebuah rumah sakit elit.
“Ibu, apa ada nomor Kartika?” tanya Miranda.
“Ibu ga hafal nomer baru Kartika Mir, ponsel ibu juga di ambil suami ibu” keluh Rani lirih.
“Baiklah. Nanti aku akan cari Kartika ke tempat kerjanya,” ucap Miranda mantap.
Sementara itu, Lion, teman Rukmana, bersembunyi di semak-semak sampai mobil-mobil itu berlalu.
“Kenapa dia hidup lagi? Bukankah dia sudah meninggal?” gumamnya dengan wajah pucat.
hemmm obat perangsang Weh Weh lagu lama Audy tapi banyak yg berhasil sih
Kakak ga punya akhlak