NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

anna kamu kemana?

Hari itu udara terasa cukup terik. Panasnya bahkan seolah menempel di kulit, tapi tak sedikit pun mengurangi niatku memberi kejutan untuk sepupu cantikku—sekaligus musuh bebuyutanku.

Sudah lama sekali ya, Anna…

Aku sengaja langsung terbang dari Singapura tanpa memberi kabar apa pun. Aku ingin melihat reaksinya. Aku ingin mendengar ocehannya, melihat wajah kesalnya, lalu—seperti biasa—bertengkar dengannya. Rindu yang aneh, memang. Tapi begitulah caraku merindukannya.

Sejak dia menikah dan ikut suaminya ke Kota Palu, hidup kami berjalan di arah berbeda. Aku memilih pergi ke Singapura, bekerja di perusahaan pamanku dari pihak ibu. Sementara Anna… kini sepupuku dari pihak ayah itu telah menjadi istri orang.

Masih sulit diterima kalau dia sudah menikah.

Hubungan kami sebenarnya cukup rumit. Kami bukan sepupu satu kali. Ayah kami yang bersaudara sepupu; kakeknya dan kakekku adalah saudara kandung. Sejak kecil kami tumbuh bersama. Terlalu dekat, bahkan untuk sekadar disebut sepupu.

Kami selalu ribut. Entah soal apa. Hal sekecil apa pun bisa berubah jadi pertengkaran. Tapi anehnya, justru dari situlah kedekatan kami terjaga.

Kalau kami nggak ribut, rasanya malah aneh.

Aku tersenyum sendiri mengingat itu.

Begitu sampai di bandara, aku langsung memesan taksi menuju rumahnya. Dengan sengaja, aku membeli buah anggur—buah yang paling tidak dia sukai.

Biar ribut sekalian. Sudah lama aku nggak dengar ceramah absurdnya soal rasa anggur.

Anna memang unik. Katanya anggur rasanya seperti telur ikan. Entah dari mana logikanya. Menyebalkan, keras kepala, tapi selalu berhasil membuatku merasa… pulang.

Mobil berhenti di depan rumah minimalis dua lantai itu. Sepi. Terlalu sepi.

Loh? Biasanya jam segini dia di rumah.

Belum sempat aku turun sepenuhnya, seorang anak kecil berlari menghampiriku dengan senyum lebar.

“Om Alif! Kok datang nggak bilang-bilang?” katanya riang.

“Mama lagi pergi, Om. Dari pagi. Adek nggak tahu ke mana. Tapi penampilan Om aneh.”

Aku mengernyit, menatap kemeja lusuhku akibat perjalanan panjang.

Aneh? Sejak kapan bocah sekecil ini jadi komentator fashion?

“Mama kamu nggak bilang mau ke mana, Ayyan?” tanyaku sambil menoleh ke dalam rumah. “Terus papa kamu mana?”

Dadaku mendadak terasa sedikit tidak nyaman.

Kenapa rasanya nggak enak, ya?

Aku hanya pernah bertemu iparku satu kali—saat pernikahan mereka. Pria itu terlihat tenang, dewasa, dan… terlalu tua untuk Anna. Usia kami terpaut sepuluh tahun. Aku dan Anna seumuran, sementara dia sepuluh tahun lebih tua dari kami.

Dia masih terlalu muda untuk semua ini.

Entah kenapa, pikiran itu kembali muncul. Perasaan protektif yang seharusnya sudah lama padam justru menyala lagi.

Anna… kamu baik-baik saja, kan?

“Om Alif, kenapa melamun?”

Keponakanku menatapku polos sambil menarik ujung kemejaku. “Masuk temani adek, Om. Adek sendirian dari tadi.”

Aku tersentak kaget. Terlalu jauh melamun, batinku.

Aku lalu tersenyum lebar, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba muncul.

“Eh, nggak kok,” ujarku sambil mengacak rambutnya pelan. “Ya sudah, ayo masuk. Om bawa mobil mainan terbaru buat kamu sama abang kamu.”

Mata kecilnya langsung berbinar.

“Ngomong-ngomong, Bian belum pulang, Nak?” tanyaku sambil menoleh ke sekeliling, mencari anak sulung sepupuku itu.

“Belum, Om,” jawab Ayyan polos. “Kakak pulang jam tiga, seperti biasa.”

Aku mengangguk pelan.

Seperti biasa…

Entah kenapa, kata-kata itu membuat dadaku terasa sedikit lebih berat.

Ayyan langsung menggenggam tanganku dan menarikku masuk ke dalam rumah.

“Masuk, Om. Adek takut sendirian,” katanya lirih.

Aku mengangguk dan mengikuti langkah kecilnya. Begitu pintu tertutup, suasana rumah terasa sunyi. Terlalu rapi, terlalu tenang.

Sepi sekali… biasanya rumah ini berisik karena suaranya.

“Adek sudah makan belum?” tanyaku sambil meletakkan tas dan kantong berisi anggur di atas meja.

Ayyan menggeleng. “Belum. Adek nunggu Mama.”

Dadaku terasa menghangat sekaligus nyeri. Kenapa anak sekecil ini harus menunggu selama itu?

“Ya sudah,” kataku cepat, berusaha terdengar ceria. “Sekarang Mama belum pulang, tapi Om ada. Kita masak bareng, mau?”

“Mau!” jawabnya antusias.

Aku mengajaknya ke dapur. Kubuka kulkas, isinya cukup lengkap, tapi tak ada masakan siap santap. Aku menghela napas pelan.

Dia pasti terlalu capek… atau terlalu sibuk.

“Oke, kita bikin yang gampang saja,” ujarku sambil mengambil telur dan sosis. “Adek bantu Om, ya.”

Ayyan mengangguk semangat. Ia berdiri di kursi kecil sambil mengawasi setiap gerakanku.

“Om bisa masak?” tanyanya ragu.

Aku terkekeh kecil. “Bisa dong. Di Singapura Om sering masak sendiri. Kalau nggak, bisa kelaparan.”

Tak lama kemudian, aroma telur goreng dan sosis memenuhi dapur. Aku menata nasi hangat di piring kecil dan meletakkannya di depan Ayyan.

“Ini spesial buatan Om Alif,” kataku.

Ayyan tersenyum lebar, lalu menyuapkan makanan ke mulutnya.

“Enak,” katanya jujur.

Aku menatapnya sambil tersenyum tipis.

Anna… anakmu seharusnya nggak sesering ini makan seadanya.

Aku ikut duduk di hadapannya, mengambil piring lain. Rumah itu terasa sedikit lebih hidup, meski hanya oleh suara sendok dan kunyahan kecil.

“Kalau Mama pulang, Om marahin?” tanya Ayyan tiba-tiba.

Aku terdiam sejenak.

“Enggak,” jawabku akhirnya, lembut. “Om cuma mau pastiin Mama kamu baik-baik saja.”

Dan entah kenapa, di dalam hatiku, kalimat itu terasa seperti janji.

1
Dew666
🍭🔥
Ann: terimakasih banyak 🙏🙏🙏
total 1 replies
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!