NovelToon NovelToon
Manisnya Dosa Janda Penggoda: Terjerat Paman Direktur

Manisnya Dosa Janda Penggoda: Terjerat Paman Direktur

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Janda / Konflik etika / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12: Ujian Batas di Lokasi Proyek

Pagi itu, Ayana terbangun dengan rasa mual yang melilit perutnya. Bukan karena sakit, tapi karena kecemasan yang menggantung berat seperti awan mendung. Hari ini. Pertemuan itu. Di lokasi proyek yang Vina tunjuk, yang entah mengapa terasa begitu terpencil dan… strategis.

Ia mencoba mengusir bayangan Arfan dari benaknya saat menyiapkan sarapan untuk Reno. Tapi setiap sentuhan spatula pada wajan, setiap aroma kopi, seperti memanggil kembali ingatannya akan sentuhan Arfan yang membakar di kantor tempo hari. Rasa bersalah dan gairah, dua kutub yang kini bertarung sengit di dalam dirinya.

Setelah mengantar Reno ke sekolah, Ayana menuju kantor seperti biasa. Dia menghabiskan waktu dengan menenggelamkan diri dalam laporan, mencoba terlihat profesional dan tenang, padahal jantungnya berdegup seperti genderang perang setiap kali ia melirik jam dinding.

Sore itu tiba lebih cepat dari yang ia duga. Tepat pukul dua, Ayana sudah berada di dalam mobilnya, memacu kendaraan menuju lokasi proyek pengembangan sayap baru perusahaan. Sebuah area yang masih dalam tahap awal pembangunan, jauh dari keramaian pusat kota dan sorot mata karyawan lain.

Jalanan berubah dari aspal mulus menjadi jalanan berbatu yang berdebu. Bangunan-bangunan mulai jarang terlihat, digantikan oleh lahan kosong dan beberapa kerangka baja yang menjulang tinggi, saksi bisu dari ambisi perusahaan. Lokasi ini memang sempurna untuk melakukan apa pun tanpa diketahui.

Ayana memarkir mobilnya di dekat pos keamanan yang sepi. Hanya ada satu atau dua pekerja yang lalu lalang, sebagian besar area terasa sunyi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. “Profesional, Ayana. Ingat, ini demi pekerjaan,” bisiknya pada diri sendiri.

Tidak lama kemudian, sebuah sedan hitam mewah berhenti di samping mobilnya. Jendela terbuka, dan Arfan tersenyum tipis padanya, senyum yang menyimpan sejuta makna terlarang. Ia turun dari mobilnya, mengenakan kemeja biru tua yang pas di tubuh atletisnya, memancarkan aura karismatik yang mampu meluluhkan siapa pun.

“Tepat waktu, Ayana,” sapanya, suaranya renyah dan hangat, bertolak belakang dengan dinginnya suasana hati Ayana. “Sudah siap melihat calon mahakarya kita?”

Ayana memaksakan senyum. “Tentu, Pak Arfan.” Ia mengambil tumpukan dokumen dan tablet di tangan, menciptakan semacam benteng tak terlihat di antara mereka.

Mereka mulai berjalan, menyusuri area yang akan menjadi gedung baru. Arfan menjelaskan detail konstruksi dengan bahasa teknis yang fasih, dan Ayana menanggapi dengan pertanyaan-pertanyaan cerdas, membuktikan bahwa ia benar-benar fokus pada pekerjaan mereka. Untuk beberapa saat, Ayana berhasil meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah pertemuan kerja biasa.

Namun, Arfan adalah seorang ahli dalam membaca situasi. Ia melihat garis ketegangan di bahu Ayana, sorot mata yang waspada, dan cara Ayana menjaga jarak fisik mereka.

“Sepertinya bagian dalam akan lebih mudah kita diskusikan,” Arfan menunjuk ke sebuah kerangka bangunan yang baru saja selesai dipasang dindingnya, namun belum memiliki jendela atau penerangan yang memadai. “Di sini ada beberapa struktur kolom yang ingin saya pastikan penempatannya.”

Ayana menelan ludah. Bagian itu lebih terpencil lagi. Jauh dari pandangan pekerja yang sesekali lewat. “Baik, Pak Arfan.”

Mereka masuk ke dalam bangunan setengah jadi itu. Udara di dalamnya terasa lembap dan pengap, berbau semen basah dan debu. Cahaya matahari hanya menembus celah-celah kecil, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di dinding beton. Arfan menyalakan senter di ponselnya, cahaya kuningnya menari di antara mereka.

“Ini… sedikit gelap,” komentar Ayana, berusaha terdengar biasa saja, namun suaranya bergetar tipis.

Arfan terkekeh pelan, suaranya rendah dan merdu. “Petualangan kecil, bukan? Seperti hubungan kita yang mencoba menyelinap dalam gelap.”

Seketika, Ayana berhenti berjalan, menatap Arfan tajam. “Pak Arfan, saya mohon… kita di sini untuk bekerja.” Ia mencoba menarik diri, namun Arfan sudah memblokir jalannya, tangannya bersandar di dinding di samping kepala Ayana, menjebaknya di antara dirinya dan tembok kasar.

“Aku tahu, Ayana.” Suaranya kini lebih dekat, hampir berbisik. “Tapi bisakah kamu menyangkal bahwa ada sesuatu yang selalu menarik kita? Sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan? Apalagi setelah Vina sengaja membuat kita berdua di sini?”

Ayana menunduk, matanya menatap ke sepatunya sendiri. Kata-kata Arfan menusuk tepat ke inti kekhawatirannya. Vina. Vina pasti curiga. Dan kini ia terjebak dalam perangkap yang Vina sendiri pasang.

“Aku tahu kamu merasakan hal yang sama,” Arfan melanjutkan, ibu jarinya perlahan membelai pipi Ayana, mengangkat dagunya agar mata mereka bertemu. Sorot mata Arfan pekat, penuh gairah yang tak terbendung. “Mata itu, Ayana… tidak bisa bohong.”

Ayana merasakan panas menjalari pipinya, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri. Bau maskulin Arfan membanjiri indra penciumannya, memabukkan. Ia ingin menolak, berteriak, mendorongnya pergi. Tapi tubuhnya seolah tak mau menuruti perintah otaknya. Ada bagian dari dirinya yang justru ingin menyerah.

“Ini salah,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, seperti hembusan napas yang putus asa.

“Apa yang salah, Ayana?” Arfan mendekatkan wajahnya, napas hangatnya menerpa bibir Ayana. “Merasa hidup kembali? Merasakan hasrat yang sudah lama kamu kubur?”

Ia tak punya jawaban. Pertanyaan Arfan menghantamnya tepat sasaran. Sudah terlalu lama ia hidup sebagai ‘janda terhormat’, mematikan semua gairah dan kebutuhan pribadinya demi sang anak dan citra. Tapi Arfan… Arfan adalah percikan api yang membakar padang kering dalam jiwanya.

Bibir Arfan menyentuh bibirnya, perlahan, menggoda. Ayana memejamkan mata, merasakan sentuhan itu. Rasa takut, bersalah, dan gairah membanjiri dirinya. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa menolak. Atau lebih tepatnya, tidak *ingin* menolak. Bibir Arfan semakin mendalam, menuntut, dan tanpa sadar, Ayana balas menciumnya. Sebuah ciuman yang terasa begitu manis, begitu terlarang, di tengah kegelapan dan kesunyian lokasi proyek.

Tangan Arfan melingkar di pinggang Ayana, menariknya semakin dekat, menyatukan tubuh mereka. Ayana merasakan otot-otot keras di balik kemeja Arfan, panas tubuhnya menembus kain tipis blusnya. Ia membalas pelukan itu, jari-jarinya meremas erat kemeja Arfan di punggungnya, seolah mencari pegangan di tengah badai emosi yang menerpanya.

Ciuman itu semakin panas, Arfan menyesap bibirnya, menjamah setiap sudut mulutnya. Ayana meronta dalam gairah yang baru ia sadari, terbuai dalam sentuhan yang sudah lama ia rindukan. Otaknya menjerit untuk berhenti, untuk kembali ke akal sehat, tapi tubuhnya justru merespons dengan cara yang lebih jujur, lebih primitif.

Tiba-tiba, Arfan melepaskan ciuman itu, tapi wajahnya masih sangat dekat. Matanya menatap dalam ke mata Ayana, napas mereka berburu. “Sekarang… apakah masih salah, Ayana?” tanyanya, suaranya serak dan penuh kemenangan. “Atau justru terasa… sangat benar?”

Ayana terengah-engah, bibirnya sedikit bengkak dan merah. Ia tidak bisa menjawab. Pikirannya kosong, hanya dipenuhi sensasi ciuman Arfan yang baru saja terjadi. Ia telah melewati batas. Batas yang ia coba pertahankan mati-matian, kini hancur lebur di bawah ciuman paman suaminya. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah ia akan menyerah pada hasrat ini sepenuhnya, ataukah ini adalah awal dari kehancuran yang tak terhindarkan?

1
zaire biscaya dite
Gw trs trg bingung dgn jln ceritanya novel ini, selain berganti2 nama para tokoh yg ada, jg perbedaan rahasia yg diungkapkan oleh Arfan kpd Ayana
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
panjul man09
bosan
panjul man09
sudah janda koq ,bisa memilih jalan hidup , siapa vina , bisa bisanya mengatur hidup orang .
panjul man09
siapa nama anak ayana , maya , kirana atau raka ?
zaire biscaya dite
Tolong perhatikan dgn benar ttg nama tokoh dlm novel ini, spt nama anak yg selalu berganti2 nama, Arsy, Maya, Raka, Alisha
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini
panjul man09
mereka boleh menikah, karna mereka bukan mahrom
panjul man09
lanjuut
zaire biscaya dite
Betul, tlg diperhatikan dgn baik nama yg ada di dlm novel ini. Nama suami itu Adnan atau Daniel, nama anaknya itu Arsy, Maya, Kirana atau Raja ? Jgn smpe ceritanya bagus, tp malah bikin binging yg baca krn ketdkkonsistenan penyebutan nama tokoh di dlmnya, y
Bang joe: terimakasih atas masukannya kak 🙏
total 1 replies
Greenindya
yg bnr yg mana ya kok nama anaknya gonta ganti Kirana maya raka
Bang joe: mohon maaf atas kekeliruannya kak
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!