sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji itu
Bio berdiri di sisi ranjang, tubuhnya kaku, seolah takut gerakan sekecil apa pun bisa membuat Bintang semakin terluka. Lampu redup membuat wajah pucat Bintang tampak lebih rapuh, garis halus di bawah matanya menunjukkan betapa keras ia berjuang mencari Bio sebelum akhirnya tumbang.
Perlahan, Bio duduk di kursi kecil di samping ranjang. Napasnya bergetar saat ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Bintang yang hangat tapi lemah.
“Maaf…,” bisiknya, suaranya pecah sendiri. “Aku benar-benar minta maaf, Bintang…”
Ia menunduk, menempelkan kening di punggung tangan Bintang. Ada rasa sesak yang aneh—campuran takut, lega, dan hancur—yang membuat dadanya sulit mengembang.
Waktu berjalan lambat. Detik pada monitor jantung terdengar seperti jarak antara kesalahan dan pengampunan.
Lalu… jemari kecil itu bergerak.
Hanya sedikit, tapi cukup untuk membuat Bio mengangkat wajah, terkejut.
Kelopak mata Bintang berkedut. Ia membuka mata perlahan—seperti seseorang yang memaksa diri kembali ke dunia setelah terjatuh jauh.
Dan hal pertama yang ia lihat…
Adalah Bio.
Sejenak, Bintang seperti tidak percaya. Matanya melebar, air bening muncul begitu cepat.
“Bio…?” suaranya serak, lemah, tapi penuh harap.
Bio hampir tersenyum, tapi yang keluar justru helaan napas patah.
“Iya, aku di sini. Aku di sini…” ujarnya cepat, seolah takut Bintang mengira ini mimpi.
Bintang mencoba bergerak, tapi tubuhnya protes. Bio langsung menahan bahunya lembut.
“Jangan gerak dulu. Kamu masih lemah.”
Bintang menggeleng pelan, bibirnya gemetar. “Aku… aku pikir kamu nggak mau ketemu aku lagi…”
Bio menelan keras—dan itu menyakitkan.
Ia menggeser kursinya lebih dekat, menggenggam tangan Bintang lebih erat, bahkan mengusap ibu jarinya di punggung tangan Bintang seperti cara menenangkan anak kecil.
“Maaf karena bikin kamu takut,” ucap Bio lirih. “Maaf karena aku pergi. Maaf karena aku bikin kamu kayak gini.”
Air mata Bintang jatuh. “Aku cuma… mencarimu.”
“Aku tahu.” Bio menunduk, suaranya pecah. “Dan mulai sekarang… aku nggak akan bikin kamu merasa sendirian lagi.”
Bintang memegangi tangan Bio dengan dua tangannya, seolah takut Bio menghilang begitu saja jika disentuh terlalu ringan.
"Aku minta maaf karena menyembunyikan_"
"Sssttt jangan dibahas lagi, aku mengerti. Aku yang harusnya minta maaf karena telah menyakiti kamu seperti ini" potong Bio.
"Aku gak akan pergi lagi, kamu gak perlu mencari aku lagi"
“Kamu beneran… nggak akan pergi lagi?” suara Bintang nyaris berbisik.
Bio mengangkat wajah, memastikan mata mereka bertemu.
Dan di sana—dalam sorot mata Bio—terlihat ketakutan, rasa bersalah, tapi juga ketulusan yang begitu dalam hingga Bintang merasa dadanya hangat.
“Aku janji,” kata Bio pelan, penuh makna. “Aku bakal percaya sama kamu. Sama kata-kata kamu. Sama hati kamu. Aku… aku nggak mau kehilangan kamu.”
Sebuah senyum lembut muncul di wajah Bintang, senyum yang pernah membuat Bio jatuh cinta pertama kali. Senyum yang membuat ruangan itu terasa sedikit lebih terang.
“Terima kasih… udah datang,” kata Bintang. “Aku senang banget lihat kamu.”
Bio meraih tangan Bintang dan mengangkatnya, menempelkan punggung tangan itu ke bibirnya—ciuman kecil yang penuh penyesalan dan cinta yang tak terucap.
“Seharusnya aku yang cari kamu,” ucapnya. “Seharusnya aku yang datang duluan.”
Bintang menggeleng pelan. “Yang penting kamu di sini sekarang.”
Bio tersenyum tipis, lalu mengusap rambut Bintang dengan lembut—sentuhan penuh hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang sangat berharga.
“Boleh aku tetap di sini sampai kamu tidur?” tanya Bio, ragu tapi berharap.
Bintang memejamkan mata sebentar, lalu membuka kembali dengan senyum manis yang membuat jantung Bio serasa dihimpit sesuatu yang hangat.
“Jangan cuma sampai aku tidur,” jawab Bintang dengan suara lembut. “Temenin aku sampai besok… dan besoknya lagi.”
Bio tertawa kecil, napasnya lega.
“Iya. Aku bakal tetap di sini.”
Bintang melemah kembali, tapi matanya tetap menatap Bio, penuh rasa sayang.
“Bio…”
“Hm?”
“Jangan lupa janji kamu.”
Bio mendekat sedikit, menyentuh kening Bintang dengan keningnya sendiri.
“Aku nggak akan lupa.”
Lalu ia menutup mata, membiarkan kehangatan itu mengalir.
“Aku janji… aku akan tinggal.”
Bintang tersenyum, lalu akhirnya tertidur pelan—masih menggenggam tangan Bio seolah itu jangkar yang membuatnya aman.
Dan malam itu…
Bio duduk di sana, tak melepaskan genggaman.
Untuk pertama kalinya sejak masalah itu pecah, hatinya tenang.
Karena ia memilih tinggal.
Dan Bintang… memilih mempercayainya kembali.
...****************...