NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:543
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AKU BUKAN PENCURI!

Pagi itu, langkah Luna terasa berat. Sepatu yang biasanya membawanya melangkah ringan kini seakan menjerat setiap langkahnya. Udara sekolah yang selalu ramai dengan suara tawa dan obrolan dari setiap murid, kini terdengar asing di telinganya.

Luna menunduk, berusaha menghindari tatapan mata yang ia tahu sedang menelusuri setiap gerakannya. Menyusuri koridor kelas pagi itu, ia seperti berjalan di tengah lorong penghakiman. Bisikan-bisikan lirih terdengar di sudut-sudut, meski tak ada yang berani mengatakannya keras-keras. Hatinya pedih. Tuduhan itu seperti noda yang melekat di wajahnya, tak peduli seberapa keras ia mencoba menjelaskan bahwa ia bukan pencuri.

Namun, itulah dilema yang mengikat dirinya sekarang. Jika ia memilih untuk tidak datang ke sekolah, orang-orang akan semakin yakin kalau ia memang bersalah. Tapi dengan datang seperti ini, ia harus menelan bulat-bulat rasa malu dan tatapan curiga yang menusuk.

Ia menarik napas panjang. “Aku bukan pencuri!” Bisiknya lirih, menguatkan kepada dirinya sendiri. Ya. Sebuah mantra kecil yang ia harap cukup kuat untuk menopang langkahnya. Meski hatinya bergetar hebat, ia tahu, satu-satunya cara adalah bertahan.

Satu per satu murid menoleh, menatapnya seperti sebuah tontonan. Ada yang berbisik sambil menutup mulutnya, ada yang sengaja menertawakan pelan, ada pula yang hanya menatap dengan rasa ingin tahu. Semua itu bercampur menjadi satu—membuat Aleta merasa semakin ciut.

Namun, ia terus melangkah. Meski dadanya sesak, meski jantungnya berdegup tak beraturan, ia tahu bahwa menyerah bukan pilihan. Bahkan jika hari ini harus menjadi salah satu hari terburuk dalam hidupnya, ia tetap harus hadir.

"Luna." Sapa seseorang.

Luna berbalik dan mendapati seorang wanita berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya tenang, tapi matanya memancarkan sesuatu yang sulit diartikan—antara rasa ingin tahu dan kewaspadaan. Rambutnya digelung rapi, namun ada kesan anggun namun berwibawa dari helai yang lolos. Namanya Bu Desi, guru Fisika sekaligus wali kelas Luna. "Luna, ikut Ibu ke ruang BK sekarang juga." Ujarnya, lembut tapi tegas.

Ruang BK. Rasanya lebih menakutkan dari ruang TU. Batin Luna. Ia kemudian mengangguk dan mulai berbalik mengikuti langkah wanita itu di belakang. Apakah ini masih ada kaitannya dengan tuduhan kemarin? Bagaimana ia harus mengungkapkan kejujuran, jika semua orang tak mempercayainya?

Pintu ruang BK terbuka perlahan dengan bunyi engsel yang sedikit berderit.

"Masuk, Luna,” Ucap Bu Desi pelan, memberi isyarat agar gadis itu melangkah masuk.

Namun, Luna terdiam sejenak. Jemarinya menggenggam erat tali tas lusuh yang selalu menemaninya ke sekolah saat mendapati tidak hanya Bu Desi yang kini bersamanya, namun juga Bu Yanti, alias guru konseling yang terduduk di badan sofa.

Bu Desi kemudian menuntun Luna duduk di sofa lain, tepat dihadapan keduanya. Luna menundukkan kepalanya. Di dadanya, jantung berdegup tak beraturan. Entah karena takut, malu, atau campuran keduanya.

"Luna, tolong jelaskan ini Nak." Ujar Bu Desi sembari memperlihatkan ponselnya.

Luna membeku di kursinya. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang kini berada di tangan Bu Desi. Tenggorokannya terasa kering, seolah setiap napas adalah beban yang menekan dadanya.

Berarti… sejak aku datang tadi pagi, sejak melewati gerbang sekolah itu… mereka semua sudah tahu. Pikiran itu berputar pelan, menyesakkan dada. Tatapan-tatapan yang tadi ia rasakan di sepanjang koridor kini terasa masuk akal—tatapan yang menusuk, berbisik, dan tertawa samar di balik tangan.

Luna menunduk semakin dalam, jemarinya menggenggam ujung rok seragamnya yang kusut. Ia teringat bagaimana beberapa teman menatapnya tanpa senyum, bahkan ada yang sengaja menjauh seolah kehadirannya menodai udara di sekitar.

Langkah-langkahnya tadi terasa begitu panjang, seolah setiap ubin di lantai sekolah menyimpan rahasia tentang dirinya. Kini semua jelas: bukan rasa salah, tapi tuduhan yang belum tentu benar telah menjelma menjadi cap di dahinya—pencuri.

“Saya … saya tidak mencuri, Bu." Suara Luna tercekat. Ingatannya melayang pada kejadian kemarin sore pulang sekolah.

"Lalu kenapa... dompet Angel ada di tas kamu, Luna?" Tambah Bu Yanti. "Di video itu, jelas dompet Angel Bela temukan di tas kamu."

Luna menggeleng. "Tapi saya tidak mencurinya, Bu."

Bu Yanti dan Bu Desi saling berpandangan sejenak—tatapan yang seolah mengandung seribu makna. Ada keraguan di sana, tapi juga rasa iba yang tak tersampaikan.

“Luna,” ucap Bu Yanti pelan, suaranya lembut namun tegas, “Ibu ingin percaya padamu. Tapi video ini… sulit dijelaskan tanpa bukti lain. Ibu harap kamu bisa bantu kami memahami apa yang sebenarnya terjadi.”

Luna mengangkat wajahnya perlahan. Matanya memerah, namun tetap menatap kedua guru itu dengan keberanian yang tersisa. "Sungguh, saya tidak tahu Bu. Saya mau pulang, tapi Bela tiba-tiba merampas tas dan entah kenapa bisa dompet Angel ada di tas saya, saya tidak tahu."

Bu Desi menatap Luna lama. Jemarinya mengetuk pelan meja kayu di depannya, menciptakan jeda yang membuat suasana semakin berat. “Angel bilang dia melihatmu memasukkan barang itu,” Ucapnya hati-hati.

Luna tercekat. “Dia... dia bohong, Bu.” Suaranya bergetar, hampir pecah. “Saya tidak melakukan itu. Kalaupun aku melakukannya, kenapa Angel tidak mencegahku?"

Bu Yani menarik napas panjang, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Begini, Nak. Untuk sementara, kami akan memanggil Angel dan beberapa teman yang ada di tempat kejadian. Kita akan dengarkan semua keterangan mereka dulu, ya? Ku tenang dulu disini."

Luna mengangguk pelan, meski hatinya gemetar. Tenang? Bagaimana bisa ia tenang, ketika seluruh sekolah mungkin sudah menatapnya sebagai pencuri?

Ia menunduk kembali, mencoba menahan air mata yang akhirnya jatuh juga—setetes, diam-diam, membasahi punggung tangannya.

Bu Desi beranjak dari sofa, menepuk lembut pundak Luna sebelum melangkah keluar ruangan. Suara langkahnya terdengar sayup di koridor, disusul keheningan yang menekan dada Luna semakin dalam.

Tak sampai lima menit, pintu ruang BK kembali terbuka. Aroma parfum manis segera menguar bersamaan dengan kemunculan Angel—berdiri di ambang pintu dengan raut wajah tenang, nyaris terlalu tenang.

Hati Luna langsung mencelos. Dada yang tadi hanya terasa berat kini berubah menjadi sesak. Ia menggenggam erat ujung roknya, menunduk dalam, berusaha menyembunyikan kegugupan yang tak lagi bisa ia kendalikan.

“Silakan duduk, Angel,” Ujar Bu Desi, menunjuk ke sofa di seberang Luna.

Angel melangkah pelan, langkahnya terdengar mantap, setiap hentakan sepatunya seperti menegaskan keberpihakan yang sudah terbentuk. Ia duduk dengan posisi tegak, menyilangkan kaki, lalu menatap sekilas ke arah Luna dengan senyum tipis—senyum yang bukan ramah, tapi penuh arti.

Luna menunduk makin dalam. Jantungnya berdebar cepat, telapak tangannya dingin. Ia bisa merasakan pandangan Angel yang menelusuri wajahnya, seolah menikmati posisi unggulnya kali ini.

Suasana ruang BK terasa berubah. Udara seolah menebal, membawa ketegangan yang nyaris bisa disentuh.

Bu Desi duduk kembali di hadapan mereka berdua, merapikan berkas di tangannya sebelum membuka pembicaraan dengan suara lembut namun tegas.

“Baik. Sekarang Ibu ingin mendengar dari kalian berdua, ya. Tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di kantin pagi tadi.”

Luna menahan napas. Ia tahu, inilah saatnya kebenaran harus diperjuangkan—meski mungkin tak ada yang mau percaya.

"Apa Ibu sudah melihat buktinya sendiri?" Ungkap Angel. "Kenapa harus dipertanyakan lagi? Jelas-jelas Luna mencuri dompet saya."

Luna meneteskan air matanya dengan gelengan di kepala. "Ibu mohon percaya pada saya. Saya gak pernah mencuri dompet Angel. Meski saya punya tunggakan SPP di sekolah ini, tapi saya tidak pernah melakukan hal tercela semacam itu, Bu." Isaknya.

Bu Desi menatap keduanya bergantian, lalu meletakkan ponselnya di atas meja agar video yang tadi sempat diputar tetap terlihat di sana. "Baik. Ibu akan minta penjelasan darimu Angel." Katanya terpaku pada Angel yang tampak begitu tenang. "Tolong ceritakan hal yang sebenarnya."

Angel mengangguk. Sementara Luna semakin menegang. Tangannya yang sedari tadi berada di pangkuan kini menggenggam kuat, kukunya menancap ke kulit. Kenapa harus minta penjelasan dari Angel?Jelas-jelas ia tidak pernah mencuri dompet gadis itu.

Kalau Angel diminta menjelaskan, Luna tahu arah pembicaraannya tak akan menguntungkan. Gadis itu pandai berbicara, pandai menata kata agar terlihat meyakinkan di depan guru. Pasti apa pun yang ia sampaikan akan terdengar masuk akal—dan justru membuat tuduhan itu semakin kuat.

"Saya sempat melihat seseorang tengah menggeledah tas ku di kelas waktu jam istirahat. Tapi saya ragu, kebetulan saat itu Bela panggil aku dan ajak aku buru-buru ke kantin." Jelas Angel.

"Engga, Bu. Itu bohong!"

"Luna," Angel memicingkan matanya. "Kenapa kamu bicara dulu? Aku kan belum selesai bicara. Kalau bukan kamu orangnya, enggak seharusnya kamu bicara sebelum aku menyebut nama kamu!"

Luna menelan saliva. Sementara, Bu Yanti dan Bu Desi saling berpandangan.

"Dan sewaktu kami pulang, saya curiga kalau Luna yang mencurinya. Karena pertama, Luna kan butuh uang buat bayar SPP, kedua... Ciri-ciri orang yang maling dompet itu sama percis kayak Luna. Dan begitu tas Luna Bela periksa, dompet aku tiba-tiba ada di tasnya."

Luna menggeleng. Air matanya kini mengalir deras, menuruni pipinya tanpa bisa ditahan lagi. Suara isak kecil lolos dari tenggorokannya, mengguncang keheningan ruang BK yang sejak tadi sudah berat oleh tuduhan.

Bu Desi menatapnya dengan raut prihatin, sementara Angel tetap duduk tenang di sofa seberang, menunduk sedikit seolah merasa iba—padahal di sudut bibirnya terselip senyum samar yang hanya bisa ditangkap oleh Luna.

"Ibu semua tahu kan, kalau keluargaku pemilik sekolah ini?" Lanjut Angel. "Kalau saja aku menceritakan hal ini pada Ayah ataupun Ibuku... mungkin hari ini Luna tidak lagi berada disini."

Tangis Luna semakin pecah. Ia menutupi wajah dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan air mata yang terus mengalir. Dada terasa sesak, seperti dihimpit beban yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Luna," Ucap Bu Desi memandang Luna dengan penuh prihatin. "Ibu percaya kamu anak yang baik. Ibu masih perlu bukti lain."

Bu Yanti mengangguk. "Dan video itu masih bukti sementara. Dan untuk sementara ini, Ibu anggap masalah ini selesai. Jika memang video itu benar, maka sekolah tidak akan tinggal diam. Ibu harap kalian paham.”

Angel menunduk patuh, menautkan jemari dengan ekspresi seolah penuh penyesalan. “Iya, Bu,” Jawabnya lembut, namun di balik nada suaranya, ia bisa merasakan hawa kemenangan yang menyengat.

"Silahkan, kalian boleh ke kelas lagi."

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!