Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Maura berjalan menyusuri lorong kantor tempatnya bekerja dengan membawa nampan berisi kopi dan sandwich permintaan atasannya. Ia seorang asisten pribadi, tetapi pekerjaannya tidak hanya mengatur jadwal atasannya. Apa pun ia lakukan, walau kadang beberapa pekerjaan terkesan mengejek harga dirinya.
Sampai di ujung lorong, ia menatap pintu kaca berwarna hitam pekat yang menjulang tinggi di hadapannya. Tidak ada yang bisa melihat ke dalam, namun siapa pun yang ada di dalam bisa melihat luar dengan sangat jelas. Setelah menarik napas panjang, ia meletakkan jarinya di sensor khusus yang ada di daun pintu, lalu masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Pandangannya mengitari seluruh ruangan, tidak ada siapa pun di sana. Keningnya mengerut. "Ke mana perginya? Tidak ada jadwal meeting hari ini," gumamnya.
Ia meletakkan nampan itu di sisi meja yang tidak dipenuhi tumpukan kertas. Begitu akan berbalik sebuah tangan melingkar di perutnya. Aroma yang sangat ia kenali menusuk penciumannya. Tanpa melihat, ia sudah tahu siapa yang sedang memeluknya.
"Saya mohon jangan seperti ini, Pak. Tidak enak kalau sampai dilihat Jessica dan yang lain." Maura menggeliat tidak nyaman, berharap pria itu melepaskannya.
"Tidak ada orang di sini," gumam pria itu seraya meletakkan dagunya di pundak Maura, menghirup dalam-dalam aroma yang sudah lama tidak bisa ia rasakan.
"Tapi, Pak ...." Maura tidak bisa melanjutkan karena tangan nakal atasannya itu mengusap ringan perutnya dan berhenti di dada bagian atas. Matanya terpejam, saliva meluncur di tenggorokan, sedangkan diadanya berdetak menggila dengan napas memburu. Ia sama sekali tidak menikmati sentuhan itu, tetapi sedang berusaha memupuk keberanian untuk melawan.
"Saya bisa melaporkan perbuatan Bapak ke polisi," ujarnya. Pria itu tersenyum kecil, Maura bisa merasakan dari reaksi tubuhnya. "Saya tidak sedang bercanda, Pak. Jangan Bapak pikir saya terlalu lemah untuk melaporkan Bapak!"
"Syut ... jangan banyak bicara. Saya hanya mengijinkanmu bertingkah cerewet ketika sedang di bawahku."
"Pak, saya mohon ....."
"Saya tidak berniat melakukan apa pun, kecuali kamu yang minta. Biarkan tetap seperti ini." Pria itu mengembuskan napas dalam, semakin mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Maura. "Jessica menghubungiku, meminta agar pertunangan dipercepat." Ia memberi tahu.
Tubuh Maura yang semula tegang, kini mengendur. Pasrah, dan jujur saja hatinya sakit.
Marvel Hadwin Maverick, pria kelahiran Italia yang tumbuh besar di indonesia itu sudah lama menguasai hidupnya. Tepatnya, sejak enam tahun lalu, ketika ia melamar sebagai office girl di The Maverick Group. Alih-alih menerimanya sebagai office girl, mereka justru memintanya menjadi asisten pribadi penerus perusahaan itu, yaitu Marvel.
Katanya, "Pekerjaan office girl dan asisten pribadi sama saja. Sama-sama melayani atasan."
Tanpa pikir panjang Maura menerima tawaran itu setelah diiming-imingi gaji fantastis. Namun, ia tidak menyangka nasibnya akan seburuk ini. Menjadi simpanan pria yang sudah memiliki kekasih. Asisten pribadi hanyalah kedok karena kenyataannya ia lebih pantas disebut sebagai jalang.
"Hentikan semua ini, dan menikahlah dengannya," ucap Maura di tengah keheningan seraya menguatkan dadanya yang terasa sesak.
"Kamu tidak berhak mengaturku," gumam pria itu.
"Bukan begitu. Saya hanya tidak mau kita saling menyakiti, hanya karena hubungan ini."
"Tidak akan ada yang berani menyakitimu, tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Kamu tau itu."
"Bukan begitu maksudku ...."
Maura menelan ludah kasar diikuti embusan napas kesal, tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Entah harus dengan cara apa lagi menyadarkan pria ini. Mulutnya sudah berbusa, dan nyaris kehilangan akal. Jika tidak ada hukum di negara ini, mungkin ia sudah membunuhnya dan menenggelamkannya di laut.
"Saya tahu! Tapi Pak Marvel juga harus memikirkan perasaan Jessica, orang tua bapak, dan semua yang mendukung kalian!"
Ucapan bernada tinggi itu berhasil mengendurkan pelukan Marvel dan membuatnya menjauh walau hanya beberapa jengkal. Maura berbalik, tatapan pria itu menghunus tajam matanya, membuatnya sedikit menciut dan salah tingkah. "Kita akan sama-sama tersakiti kalau hubungan ini tidak dihentikan," ucapnya cepat.
Kini rahang pria itu mengetat, sedikit menunduk mensejajarkan wajahnya dengan Maura. "Kamu ingin saya memutuskan Jessica demi dirimu?" tanyanya, membuat kening Maura mengerut, lalu menggeleng cepat.
"Bukan Pak Marvel dan Jessica, tapi kita! Hubungan kita yang harus berakhir." Maura mengalihkan pandangan ke arah lain. "Saya akan segera mengajukan pengunduran diri. Secepatnya," lanjutnya, lirih.
"Berhenti omong kosong!" desis Marvel, lalu tanpa aba-aba meraih wajah Maura dan menciumnya kasar. Wanita itu tidak berkutik, juga tidak membalas ciumannya. Hal itu membuat Marvel geram hingga menarik rambut panjang Maura dan membuatnya mendongak.
Masih tidak ada tanggapan, sebelah tangan pria itu meremas pinggang Maura dan memojokkannya di meja. Perlahan Maura mulai membalas ciuman itu, ia sedikit meringis merasakan gigitan di bibirnya. Masih terjebak dalam gairah yang menggebu, mereka dikejutkan dengan bunyi bell yang ditekan beberapa kali. Marvel ingin mengabaikannya, tetapi Maura menahan dadanya untuk berhenti.
"Ada yang datang," cicit wanita itu.
Kedua tangan pria itu bertumpu di meja, mengapit tubuh Maura. Jarinya meraih remot, lalu menekan tombol di sana, detik kemudian pintu terbuka. Sontak mata wanita itu membelalak dan menepuk pelan dada Marvel.
"Maaf, Pak. Saya ingin mengantarkan—" Laki-laki paruh baya berpakaian office boy itu tercenung menyadari siapa yang berada di pelukan atasannya.
Mendengar suara itu, Maura menelengkan kepala, memastikan tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Ia terpaku pada sosok di depan pintu, jantungnya berdegup cepat. Menggeleng kecil, meyakinkan apa yang ia lihat tidak berarti apa-apa. Sedangkan Marvel malah tersenyum masih berada di posisi yang sama, tanpa menoleh sedikit pun.
"Letakkan di meja, dan cepat keluar," perintahnya.
Office boy itu mengangguk kaku, dan segera melaksanakan perintah. Sebelum benar-benar pergi, sekali lagi ia melihat Maura, lagi-lagi untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.
"Tidak perlu takut. Manusia kelas rendah sepertinya tidak akan berani melakukan apa pun." Marvel mengecup bibir Maura, lalu kembali tersenyum.
Maura menatap wajah pria itu, mengamatinya dengan tatapan sendu. "Yang kamu sebut manusia kelas rendah itu ayahku," ucapnya di dalam hati.