NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kutukan dalam darah

"Bawa dia pergi," perintah Duke Orion. Tatapan matanya yang begitu dingin, tanpa seulas senyum pun, membuat siapa pun tunduk tanpa perlawanan. Hening seketika menyelimuti ruangan itu, seolah waktu pun takut bergerak.

Rosella menggeleng putus asa, air mata mengalir di kedua sudut matanya. Rambutnya yang dulu tersisir rapi kini mulai berantakan, gaun putih lusuh yang ia kenakan menempel di tubuhnya yang gemetar.

"Tidak, Tuan Duke! Kumohon, ampuni aku! Aku akan melakukan apa pun. Jangan biarkan para jenderal itu membawaku pergi!"

Namun sang Duke tetap diam. Tak ada belas kasihan di wajahnya, hanya kehampaan dan ketegasan yang telah menjadi ciri khasnya. Hatinya seperti batu. Atau mungkin sudah lama mati.

"Tuan Putri Rosella yang tidak terhormat," sahut salah satu jenderal dengan senyum miring yang menjijikkan. Valdrosh Duskbane, pria bertubuh besar dengan rambut gondrong tak terurus. Matanya menyapu Rosella dari ujung kepala hingga kaki dengan lirikan penuh nafsu.

"Atas dasar apa kau memohon pada pria yang bahkan tak sudi menyebut namamu dengan hormat? Kau ini apa? Tawanan perang. Itu saja."

Tawa kasar menyusul dari arah lain. "Haha! Benar! Dari pada membusuk di sini, lebih baik puaskan kami di tenda sebelah. Bukankah begitu?!"

"Tidak!" Rosella menjerit, histeris. Tangannya mencengkeram kaki meja dengan sekuat tenaga, mencoba bertahan dari tangan-tangan kasar yang menarik tubuhnya.

"Tuan Duke! Kumohon!"

Namun sang Duke tetap tak berkata apa-apa. Diamnya adalah hukuman, sekaligus penghakiman sunyi yang lebih tajam dari pedang mana pun.

Dengan jeritan terakhir yang tak digubris siapa pun, Rosella diseret keluar dari ruangan. Kuku-kukunya mencakar lantai batu, meninggalkan goresan samar dan darah di belakangnya. Ia tahu, tak akan ada yang menolongnya.

Malam itu menjadi awal dari neraka yang tak berkesudahan.

Rosella, sang putri yang pernah hidup di balik dinding-dinding istana, kini menjadi mainan bagi para serigala berjubah besi. Hari demi hari, tubuhnya direnggut, harga dirinya dicabik, dan jiwanya dipaksa hidup dalam kegelapan yang tak memberi ruang bagi harapan.

Enam bulan. Atau mungkin enam tahun. Rosella tak tahu lagi perbedaan waktu.

Ia tidur di kandang kuda, makan dari sisa-sisa yang dilempar penjaga. Rambutnya seperti benang kusut, tubuhnya tinggal tulang, dan matanya kehilangan cahaya. Tapi ia masih hidup. Meski dunia berusaha mematikan jiwanya, Rosella bertahan.

Hingga pada suatu malam ... malam yang sangat dingin dan hujan turun seperti ratapan langit, Rosella diserang lagi. Kali ini oleh mereka yang sudah terlalu sering menghancurkannya, Veyrund, Kaelric, dan Valdrosh.

Tapi ada yang berbeda malam itu.

Rosella tidak menangis.

Ia tidak berteriak.

Ia tidak memohon.

Ia diam … hingga tangannya meraih gunting besar di sisi kandang.

Darah menyembur, jeritan terdengar, dan tubuh besar Jendral Veyrund tumbang bersimbah darah. Tapi pembalasan kecil itu tak berlangsung lama. Kaelric menghantam wajah Rosella, dan Valdrosh menghujamkan belatinya langsung ke perutnya.

Saat darah hangat mengucur dari perutnya, Rosella jatuh tersungkur, napasnya tersengal di antara hujan dan lumpur. Namun bukan luka itu yang paling menyakitkan, melainkan sesuatu yang lebih dalam—denyut halus kehidupan kecil di dalam rahimnya yang perlahan memudar.

Ia hamil.

Dan sekarang, anak itu ikut mati bersamanya.

Senyum getir merekah di bibir Rosella. Bukan senyum pasrah. Tapi senyum penuh kutukan.

“Bahkan jika aku harus menjadi hantu. Aku akan membalas dendamku pada kalian semua!”

Itulah sumpah terakhir yang mengisi kesadarannya sebelum dunia perlahan lenyap dalam kesunyian yang dingin dan hitam.

Tubuh Rosella terbaring tak bernyawa di tanah yang basah oleh hujan. Darah masih menetes dari luka tusukan di perutnya, menyatu dengan lumpur dan tanah dingin. Matanya yang terbuka separuh tampak kosong, seolah jiwanya telah meninggalkan dunia ini tanpa sempat berpamitan.

“Sudah mati,” gumam Kaelric sambil menyeka darah dari sarung tangannya.

Valdrosh menatap tubuh lemah itu dengan jijik. “Dia menyusahkan sejak awal. Setidaknya sekarang dia diam.”

Kaelric melirik ke sekeliling. “Kalau Duke Orion tahu soal ini, bisa gawat.”

Valdrosh mendengus. “Tidak. Dengan hal sepele begini? Dia bahkan tak akan melirik mayat perempuan kotor ini.”

“Buang saja,” lanjutnya sambil mengangkat tubuh Rosella dengan satu tangan yang kuat. “Ada danau di tepi hutan. Dalam dan sepi. Hewan-hewan di sana akan berterima kasih pada kita.”

Tanpa kata lain, keduanya menunggangi kuda, membawa tubuh tak bernyawa itu dibungkus kain kasar, dilempar seperti barang tak berguna di pelana belakang. Hujan terus mengguyur sepanjang perjalanan menuju hutan liar di utara Ashguard, tempat yang jarang dikunjungi kecuali untuk membuang sisa-sisa yang tidak diinginkan.

Tak ada obrolan di antara mereka, hanya suara tapak kuda dan derai hujan.

Setelah perjalanan beberapa mil, mereka tiba di tepi danau yang diselimuti kabut tipis. Airnya tenang, kelam, seperti cermin kematian. Rumput ilalang bergoyang tertiup angin, dan aroma tanah basah memenuhi udara.

“Di sini saja,” ucap Valdrosh datar.

Keduanya turun dan menarik tubuh Rosella dari atas kuda. Kepalanya terkulai, rambutnya tergerai menyentuh lumpur. Tidak ada upacara. Tidak ada doa. Hanya kehinaan yang terus menempel sampai detik terakhir.

“Siap?” tanya Kaelric.

Valdrosh mengangguk. “Ayo.”

Mereka mengangkat tubuh Rosella, satu di kepala, satu di kaki, lalu berjalan perlahan ke bibir danau. Air menyentuh kaki mereka, dingin dan hening.

Tanpa perasaan, mereka mengayunkan tubuh itu.

Dan ….

Byur!

Tubuh Rosella jatuh ke air dengan suara nyaring, menciptakan gelombang kecil yang memantul perlahan ke segala arah.

Gaunnya mengembang sejenak seperti kelopak bunga layu, lalu perlahan-lahan tubuh itu tenggelam, ditelan oleh kegelapan air dan keheningan hutan.

Tidak ada yang tahu.

Tidak ada yang peduli.

Kecuali … waktu.

~oo0oo~

Hh—Haaa!!”

Suara napas tercekat memenuhi udara. Rosella terbangun, berkeringat, matanya terbelalak. Ia duduk terguncang di atas jerami kasar, menggenggam lehernya sendiri seperti seseorang yang baru saja tenggelam.

Dunia di sekelilingnya kabur. Nafasnya memburu. Ia tersedak udara, seolah paru-parunya belum terbiasa bernapas lagi. Tubuhnya gemetar, basah oleh keringat dingin.

Pandangannya menari tak tentu arah, hingga akhirnya terfokus pada dinding batu abu-abu yang lembap dan lantai yang dipenuhi jerami usang.

Jeruji kayu kecil. Bau besi tua. Rasa lembap menusuk tulang.

“Tempat ini .…” bisiknya pelan. Suaranya parau.

Ia menoleh cepat, seakan mencari sesuatu. Tangannya meraba wajahnya sendiri, lalu perutnya. Tak ada luka. Tak ada darah. Kulitnya masih utuh.

“Tidak mungkin! Aku ... aku sudah mati.”

Tiba-tiba, semua kembali—bagai banjir kenangan yang menabrak kesadarannya sekaligus. Suara tawa para jenderal. Rasa sakit di tubuhnya. Darah. Dan ... bayi di dalam kandungannya.

Rosella memegangi perutnya, tubuhnya membeku.

“Anakku ...,” bisiknya, pelan dan patah.

Air mata jatuh. Tapi kali ini bukan karena ketakutan.

Melainkan karena kesadaran.

Ia hidup kembali.

Ia berdiri pelan, berjalan tertatih ke arah jendela kecil. Dari celah kayu, ia melihat langit masih gelap dan fajar belum menyingsing. Tapi bagi Rosella, inilah awal yang baru.

Ia mengingat tanggalnya, suasananya. Hari kedua belas, bulan Bloomshade. Tahun ke-1589.

Matanya membelalak perlahan.

“Ini … hari pertama aku menjadi tawanan ....”

Tangannya mengepal. Napasnya mulai stabil. Pandangannya berubah, dari kebingungan menjadi keyakinan. Hatinya memanas, bukan oleh ketakutan, tetapi oleh bara dendam yang perlahan menyala kembali.

Dunia telah memberinya kesempatan kedua.

Dan kali ini, Rosella tidak akan menjadi bunga yang diinjak.

Tidak akan menjadi korban yang dibungkam.

Ia akan menjadi duri yang menusuk balik.

“Orion ... Valdrosh ... Kaelric ... Veyrund ....”

Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Tapi kata-katanya bergetar seperti kutukan yang mulai bangkit dari kubur.

“Aku akan membuat kalian semua merasakan neraka yang kalian ciptakan untukku.”

Langkah kaki menggema di lorong batu yang sempit dan gelap. Derak logam dan suara sepatu bot berat mendekat, makin jelas dari balik pintu besi tua yang mengurung Rosella.

Ia menoleh, tak terkejut.

Tak ada lagi ketakutan di matanya.

Tak ada getaran di tubuhnya.

Yang tersisa hanyalah ketenangan yang dingin dan bara dendam yang tak terlihat.

Suara kasar terdengar dari balik jeruji.

“Bangun, tawanan!” bentak salah satu penjaga. “Duke memerintahkanmu untuk menghadap!”

“Jangan sampai kau membuat Yang Mulia menunggu. Kau tahu akibatnya,” timpal penjaga lain sambil memasukkan kunci ke lubang pintu.

Pintu itu berderit terbuka, aroma lembap langsung berganti dengan hawa logam dan kekuasaan.

Rosella tidak menjawab. Ia hanya berdiri perlahan dari jerami tempatnya terbangun tanpa tergesa, tanpa lemah.

Kedua penjaga itu memandangi gadis itu dengan tatapan heran. Entah mengapa … ada sesuatu yang berbeda. Wajah itu sama. Namun sorot matanya … terasa seperti seseorang yang telah melihat kematian, dan kembali dari neraka.

“Cepat!” bentak salah satunya.

Rosella melangkah maju, gaun lusuhnya menyapu lantai batu.

Dalam hati, ia berbisik,

‘Aku akan tersenyum di hadapanmu, Orion ... seperti korban, seperti gadis lemah. Dan saat kau lengah, aku akan menghancurkanmu dari dalam.’

Pintu ditutup di belakangnya.

Langkah kakinya mengiringi gema lorong, tapi yang benar-benar bergema adalah satu hal yang kini tertanam dalam dirinya.

Dendam tidak pernah mati. Ia hanya menunggu waktu untuk bangkit.

.

.

.

Bersambung ....

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!