Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.
Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.
Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!
Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Dia Beneran Buat Kota Baru?
Selama beberapa hari berikutnya aku terkubur dalam tumpukan dokumen yang tak ada habisnya. Laporan keuangan, peta distribusi sumber daya, perhitungan logistik yang rumit, dan proyeksi cuaca yang semakin mengkhawatirkan.
Dinding-dinding ruang kerja yang tadinya terasa seperti benteng pelindung, kini mulai terasa seperti penjara yang mencekik. Udara di dalam ruangan terasa pengap, dipenuhi aroma tinta dan kertas yang sudah berhari-hari tidak berganti.
Aku butuh udara segar. Aku butuh melihat hasil dari semua angka dan strategi yang aku susun dengan mata kepala sendiri, bukan hanya sebagai deretan angka di atas kertas.
"Lila, siapkan kereta. Kita pergi ke Lembah Winevale," perintahku sambil menyingkirkan tumpukan dokumen di hadapanku. "Kapten Baren, Anda ikut dengan kami."
"Baik, Nona." Lila membungkuk hormat, meskipun aku bisa melihat kekhawatiran di matanya. Mungkin dia pikir aku terlalu memaksakan diri.
"Baik, Nona," sahut Kapten Baren dengan nada prajurit seperti biasa.
Kami berangkat menuju lembah Winevale dalam keheningan yang nyaman. Kereta bergoyang pelan di atas jalan berbatu yang baru dibangun.
Tempat yang ditinggalkan karena invasi besar Thalvarian dua puluh tahun yang lalu. Invasi yang meninggalkan luka mendalam tidak hanya di tanah, tapi juga di hati penduduk yang selamat.
Lembah ini dulunya sebuah desa yang makmur dengan kebun anggur luas milik keluarga Hartwin. Anggur merah Winevale pernah menjadi kebanggaan semenanjung selatan, diekspor hingga ke negeri-negeri tetangga. Tapi kemudian bangkrut karena dibakar habis oleh invader kala itu.
Tidak hanya kebun anggurnya, tapi juga rumah-rumah penduduk, gudang-gudang penyimpanan, bahkan gereja kecil yang menjadi pusat komunitas.
Di kehidupan sebelumnya, lembah Winevale menjadi tanah terlantar yang dihuni oleh monster-monster liar. Serigala berbulu hitam, beruang gua yang ganas, dan makhluk-makhluk lain yang tertarik pada aura kematian yang masih mengendap di sana. Tapi di kehidupanku yang sekarang, tempat itu telah menjadi pusat pengungsian Hartwin yang dikelola dengan sistem yang lebih terorganisir.
Apa Cedric bekerja dengan baik? Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku.
Perjalanan ke sana terasa berbeda dari biasanya. Aku melihat para petani di ladang-ladang yang baru dibuka, menyirami gandum muda dengan ramuan sihir untuk mendorong panen cepat seperti yang kuperintahkan.
Ramuan itu mahal, tapi itu investasi yang diperlukan untuk memastikan tidak ada penduduk Hartwin yang kelaparan di musim dingin yang akan datang.
Aku melihat gerobak-gerobak yang penuh dengan kayu berkualitas baik yang dibeli dari para pengungsi dengan harga yang adil, bergerak menuju lembah dalam konvoi yang teratur. Apa yang aku tulis di atas kertas dengan tinta, ternyata benar-benar menjadi kenyataan di hadapan mataku.
Saat kami tiba di Lembah Winevale, pemandangan yang menyambutku membuat napasku tercekat. Jantungku berdebar tidak karuan.
Tempat yang dulunya sunyi dan terlantar, dipenuhi hanya oleh rerumputan liar dan sisa-sisa fondasi yang hancur, kini penuh dengan kehidupan dan aktivitas yang menggembirakan.
Kerangka-kerangka kayu dari bangunan rumah susun bertingkat mulai berdiri dengan kokoh, dikerjakan oleh ratusan pengungsi yang kini memiliki pekerjaan dan gaji yang layak.
Suara palu dan gergaji bersahutan dalam irama yang teratur.
Asap mengepul dari dapur-dapur umum yang besar, menebarkan aroma bubur jagung hangat dan sup sayuran yang menggiurkan di udara sore.
Tawa anak-anak terdengar riang dari tenda-tenda sementara yang didirikan sebagai sekolah darurat, di mana mereka belajar membaca dan menulis sambil bermain.
Apa itu ide ayahku? Atau Cedric? Atau orang lain? Siapapun itu, ini langkah yang cerdas. Dengan begini, anak-anak tidak akan terlalu larut dalam kesedihan maupun mengganggu orang tua mereka yang sedang bekerja.
Aku melebarkan pandanganku. Skala konstruksi ini... terlalu besar untuk sebuah pengungsian.
"Cedric gila... dia benar-benar membuat kota baru? Di ekonomi seperti ini?" Kepalaku tiba-tiba terasa berat dan berdenyut sakit.
Visi yang berputar-putar membuatku hampir kehilangan keseimbangan. "Nona!" Lila segera menopang tubuhku dengan kedua tangannya. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Apakah Nona baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja."
Angin dingin menerpa tubuhku dengan tajam, menembus jubah tebal yang kukenakan. Hari ini tanggal satu September. Musim gugur bahkan belum dimulai secara resmi, tetapi udara di sini sudah terasa dingin.
Aku menarik jubahku lebih erat, tapi tetap tidak bisa menghalau dingin yang aneh ini. Jika di sini saja sudah sedingin ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi mengerikan di wilayah yang masuk dalam Zona Kuning dan Hijau.
Merah? Mati...
Mereka yang khawatir akan keselamatan keluarganya pasti akan mengungsi lebih cepat dari perkiraanku.
Gelombang pengungsi akan datang seperti air bah. Proyek ini harus dipercepat dengan segala cara... tapi si bodoh Cedric itu malah membangun kota yang megah dan ambisius alih-alih perumahan sederhana yang praktis seperti yang aku usulkan dalam proposal awal.
Kalau sudah begini... semua pengungsi yang kehilangan tempat tinggal akan menuju ke Hartwin setelah mendengar berita pembangunan kota baru yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
"Baren, kapan persediaan dari selatan akan datang?" tanyaku sambil berusaha menenangkan napas yang masih tersengal.
"Jika tidak ada halangan cuaca atau serangan bandit di jalan, minggu ini akan sampai, Nona," katanya dengan nada yakin yang menenangkan.
Baguslah. Persediaan medis dan makanan dari gudang-gudang strategis di Silverwood dan kota-kota lain yang sudah kuatur sebelumnya akan mampu memberi makan sebuah kota kecil selama setidaknya satu sampai dua bulan penuh.
Harusnya cukup untuk bertahan sampai panen berikutnya.
Suara derap kuda mendekat dari kejauhan, bergemuruh seperti guntur kecil yang menggema di lembah. Cedric tiba bersama satu skuadron kecil dari pasukan "Taring Hartwin"-nya, sekitar dua puluh prajurit berkuda yang bergerak dalam formasi sempurna.
Mereka tampak gagah dan disiplin dalam seragam biru tua keluarga Hartwin, baju zirah mereka berkilau di bawah sinar matahari pagi, berpatroli di sekitar area konstruksi dengan mata yang waspada memindai setiap sudut.
Kuda-kuda perang mereka bernapas berat setelah perjalanan panjang, uap hangat keluar dari lubang hidung mereka di udara yang sejuk.
Di belakangnya, mengikuti dengan agak canggung seorang pria kurus bertubuh tinggi yang membawa kamera sihir berukuran besar dan buku catatan tebal yang penuh dengan coretan tinta. Seorang jurnalis dari ibu kota, tampak jelas dari pakaiannya yang rapi namun tidak praktis untuk medan seperti ini. Dia terus menerus mencatat sesuatu sambil sesekali mengangkat kameranya untuk mengambil gambar.
"Count Muda," sapaku dengan nada formal, memberinya hormat yang sesuai dengan protokol bangsawan meski hatiku enggan melakukannya.
Dia membalasnya dengan anggukan kaku, turun dari kudanya dengan gerakan yang terlatih. "Elira. Mengejutkan melihatmu di lapangan. Sudah lama kamu tidak keluar." Matanya memindai dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah menilai. "Kukira kau lebih suka duniamu yang terbuat dari kertas dan angka-angka di balik meja yang aman."
"Terkadang, kami perlu melihat kemana uang yang kami hasilkan mengalir dengan mata kepala sendiri," balasku dengan nada tajam, mengabaikan sindiran yang dimaksudkan untuk memancingku. "Dan memastikan setiap koin digunakan dengan bijak, bukan terbuang untuk hal-hal yang tidak berguna."